Akhirnya, yang penting sehat dan bahagia, sebut mereka, sambil tertawa. Ada juga tetangga yang sudah berpindah keyakinan, awalnya percaya COVID-19 itu nyata, sekarang merasa bahwa COVID-19 hanya konspirasi belaka. Cara pemerintah mengelola informasi, menangani pasien, memperbanyak tes, menghentikan kerumunan membuat mereka lebih skeptis.
Beberapa tetangga lebih giat mencari sumber penghasilan lain. Ada yang berjualan pakaian, makanan atau kebutuhan rumah tangga. Adaptasi dan strategi baru tersebut dilakukan untuk bertahan hidup. Tidak ada yang dapat diandalkan kecuali diri sendiri, mungkin demikian yang ada di benak mereka. Hidup mesti terus berjalan meskipun sulit. Setiap orang punya cara untuk melawan pandemi.
Namun yang memprihatinkan, di saat warga yang kesulitan mencari penghidupan bertarung mencari penghidupan, kita masih saja menyaksikan perilaku elit yang tidak sensitif dan memalukan. Dua kasus yang menimpa Menteri yang sedang ditangani KPK menunjukkan ketidakpekaan elit kepada masyarakat yang serba sulit. Yang amat miris salah satu kasusnya terkait dana bansos yang seharusnya dinikmati warga yang hidupnya terhimpit.
Membaca kasus tersebut saya teringat salah satu teman yang bekerja di dinas sosial di salah satu kabupaten yang selama pandemi tidak pernah libur karena harus mendistribusikan dana bansos ke masyarakat. Beberapa kali ia harus bedrest karena kelelahan. Ia dan teman-teman di garda terdepan harus berjibaku dengan segala risiko. Namun, di saat mereka berjuang ada yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi.
Situasi ketika ada kalangan yang memanfaatkan situasi masyarakat yang terjepit tersebut sebetulnya pernah jadi catatan sejarah. Ravando (2020) dalam buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1919 mengutip dari Harian Sin Po, 27 Desember 1918 "Moesti ingat itoe beras boeat toeloeng orang jang tida mampoe, akan tetapi sebaliknja kaloe timbanganja dikoerangin apa itoe namanja toeloeng? Kesian toch orang miskin!".Â
Di masa tersebut ada juga orang-orang yang curang dan memanfaatkan situasi. Situasi yang tidak jauh berbeda dengan saat ini. Yang mengerikan yang curang saat ini adalah otoritas tertinggi yang harusnya mengayomi mereka yang terpinggirkan.
Melihat situasi tersebut, jelas saja sebagian masyarakat bergerilya secara mandiri. Mencari penghidupan lebih baik dengan caranya sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), jika mengutip Bung Karno. Hidup harus terus berjalan, apapun yang terjadi, ada atau tidak pandemi COVID-19. Masyarakat memilih saling membantu bergotong royong di antara sesamanya. Ada banyak cerita di sekitar kita yang menunjukkan masyarakat begitu tangguh dengan caranya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H