Ramadan kali ini jelas berbeda dengan tahun-tahun lalu. Situasi yang dialami saat ini mungkin tidak terjadi sekali seumur hidup. Selama sebulan ini sebagian besar dari kita menyepi di masing-masing rumah. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah.
Perubahan cepat ini mengagetkan banyak orang. Urusan Ramadan di rumah pun demikian. Jika biasanya di awal Ramadan suasana begitu ramai karena silaturahmi, nyekar ke makam para sesepuh, ataupun bersiap untuk menyambut tarawih malam pertama, untuk tahun ini berbagai seremoni yang menyenangkan tersebut harus dihentikan sementara.
Ada upaya menahan diri yang sesungguhnya. Jika di Ramadan-ramadan lalu kecenderungan membeli apapun untuk berbuka dan sahur maka saat ini mungkin hanya memanfaatkan apa yang ada di rumah. Jika biasanya setiap menjelang berbuka kita berburu berbagai hal yang dapat dimakan ketika berbuka maka sekarang waktunya berhenti untuk menghindari kerumunan.
Sekarang setiap orang harus menjaga jarak. Mulut tertutup, dalam arti sebenarnya karena menggunakan masker, juga dalam arti batiniah menahan diri untuk tidak bicara hal-hal buruk. Tangan yang selalu dicuci dengan sabun juga dalam arti batiniah di mana jari-jari ini tidak mudah untuk mengetik apapun konten yang bersifat memitnah, mencaci, menghina dan hal buruk lainnya.
Ramadan ini jelas berbeda. Ada waktu panjang untuk merenungi diri. Memperbaiki banyak hal. Mendekatkan diri dengan keluarga tercinta di rumah; membaca dengan baik berbagai buku yang sebelumnya hanya dibeli tapi tak pernah dibaca; membaca al Quran, mencoba mengkhatamkannya, dan memahami tafsirnya; menjadi imam (bagi laki-laki) ketika tarawih; berusaha shalat tepat waktu karena tak terganggu banyak kesibukan di luar; menonton banyak acara daring (termasuk pengajian daring; dan lain sebagainya.
Yang sedih memang kita tidak bisa secara leluasa bertemu dengan orangtua atau sanak saudara. Berbuka puasa bersama mereka ataupun nanti shalat ied bersama dan saling bersilaturahmi. Pasti terasa ada yang kosong dalam Ramadan kali ini terkait perjumpaan-perjumpaan dengan orang-orang terkasih.
Tapi, beberapa tokoh agama sudah menyebutkan, dari pada menyebabkan hal buruk, lebih baik menahan diri untuk tidak bertemu. Bukan kah hal tersebut juga termasuk esensi dari berpuasa? Berupaya sekuat tenaga menahan diri dari berbagai hal yang menjerumuskan diri.
Selain fungsi pribadi tentu berpuasa memiliki fungsi sosial. Dalam konteks pandemi hari-hari ini maka menahan diri untuk tidak keluar rumah, yang kemungkinan akan menyebabkan keburukan bagi orang lain, menjadi bagian dari ibadah.
Bagi yang memiliki rezeki berlebih, momen Ramadan menjadi bagian penting untuk berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan. Apalagi akibat Covid-19 banyak orang yang kehilangan pekerjaan atau pun penghasilannya menurun. Maka ini menjadi momen tepat bagi siapapun yang masih memiliki rezeki untuk berbagi. Momen Ramadan menjadi momen memperkuat silaturahmi dan solidaritas.
Situasi new normal ini akan kita alami selama satu bulan penuh. Sampai saat ini belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Satu hal yang pasti kontribusi kita untuk menjaga jarak, tetap diam di rumah, menjaga kebersihan diri merupakan bagian penting yang terus menurus perlu dilakukan. Konsistensi untuk melakukan hal-hal tersebut akan sangat baik untuk terus memutus rantai penyebaran Covid-19 dan menjadi selemah-lemahnya iman.
Apalagi kita tahu, tidak semua orang bisa seberuntung kita yang memiliki kesempatan untuk tetap bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Ingatlah, ada orang-orang yang tetap harus bekerja demi mendapatkan rezeki yang baik. Ada petugas kesehatan yang berlelah-lelah di berbagai fasilitas kesehatan melakukan jihadnya yang mulia agar para pasien semakin banyak yang sehat dan membaik.