Menjadi orangtua itu tidak mudah. Tidak semudah membaca berbagai teori. Â Tidak ada resep mujarab yang bisa diterapkan dalam pola pengasuhan anak. Berbagai buku tentang bagaimana menjadi orangtua dsb tetap tidak operasional ketika kita menghadapi anak yang punya ingin, punya kehendak, dan punya pikirannya sendiri. Maka, membaca berbagai buku-buku parenting saja tidak cukup.
Anak kami berusia 4 tahun. Dia sudah mulai bersekolah. Saya dan istri bekerja. dan kami tak punya asisten rumah tangga. Semua pekerjaan di kerjakan berdua, meski bobot terbesar ada pada istri saya. Saya, yang selalu berantakan, membantu sebisanya soal rumah dia atur semua. Saya nurut saja. Sementara soal pengasuhan anak, kami urus berdua. Dari bangun pagi hingga terlelap, anak kami yang menggemaskan itu kami urus berdua.
Berdarah-darah dan berurai air mata, itu sudah jelas. Berdebat dan berbeda pandangan, sudah pasti berbeda visi seringkali. Berbeda cara, itu tidak bisa dipungkiri. Maka, kami selalu diskusi.Â
Ngobrol sana sini untuk mencari solusi semua kami obrolkan. Ngobrol berdua menurut kami sangat ampuh. Rumah tangga adalah ruang dialog jadi semua perlu didialogkan. Tidak bisa ambil keputusan sendiri tanpa diskusi.
Tidak mudah. Sangat tidak mudah. Membesarkan anak, pasti ada saja dramanya. Anak kami di usianya yang sangat dini sudah sekolah. Bukan kami pro sekolah anak di usia dini. Tidak. Kami berpendapat, anak kecil tugasnya bermain. Tapi, kami tak punya pilihan. Kami berdua bekerja.Â
Siapa yang akan mengasuh anak kami di rumah? Maka sejak setahun lalu kami bergerilya mencari day care atau taman kanak-kanak yang ramah anak. Yang mau menemani anak kami selama kami berdua bekerja.Â
Bukan soal menitip anak, tetapi menemani anak. Berat, tapi itu pilihan terbaik. Â Kami mencari tempat yang tidak memaksa anak kami untuk belajar di usianya yang sangat belia. Tempat di mana dia tetap bisa bermain sepuasnya sampai lelah dan bersosialisasi dengan teman-temannya.Â
Tempat di mana dia berusaha mengenal berbagai kebiasaan. Itu yang kami inginkan. Kami pun berkeliling. Istri saya yang lebih rajin browsing dan mendatangi berbagai day care dan kemudian melistnya untuk dikunjungi. Di saat libur saya ikut mengunjungi tempat yang menjadi target.
Apakah mudah mendapatkan tempat yang sesuai dengan imajinasi? Sulit sekali ternyata. Banyak tempat di daerah kami berfokus pada kegiatan belajar bagi anak. Anak-anak kecil diajak menghapal, belajar mengenal huruf, dan mengaji juga melalukan berbagai kegiatan yang menurut kami begitu memberatkan anak.Â
Duh, bukan itu mau kami. Banyak juga day care -- yang biasanya satu paket dengan TK-- yang kami kunjungi menyatakan bahwa para orangtua justru minta mereka mengajari anak-anaknya membaca, agar mudah ketika masuk di SD. Kasihan sekali beban anak-anak ini. Padahal di usia itu anak, ini menurut kami, harusnya dibebaskan saja mengeksplorasi banyak hal.Â
Soal apakah dia sudah mau belajar membaca, serahkan pada anaknya saja, karena banyak juga anak yang sudah semangat mengenal huruf bahkan membaca dan berhitung di usia dini. Tugas orangtua lah yang mengenalkan anak pada ragam aksara. Mengenalkan saja bukan memaksanya belajar.
Oya, salah satu hal yang jadi pertimbangan kami adalah biaya. Jelas kami bukan orang yang berlimpah. Jadi variabel biaya jadi salah satu pertimbangan. Dan 'jeng-jeng' sekolah yang memberikan ruang bagi visi dan imajinasi di mana anak tetap bermain, tiada belajar serius, adalah sekolah-sekolah mahal. Duh. Pendidikan (berkualitas) mahalnya ampun-ampunan.
Kembali ke penelusuran, Â kami menemukan day care plus TK yang berfokus pada penguatan keagamaan. Kami muslim, kami sepakat penguatan keagamaan sangat penting. Tapi kami merasa penguatan keagaman tersebut adalah tugas kami, di ruang keluarga. Pembiasaannya ada di ranah keluarga.Â
Jadi kami cari tempat yang tidak terlalu memberatkan aspek itu dalam pembelajarannya. Tapi di sekitar rumah kami, daycare atau TK memang didominasi oleh lembaga yang berbasis keagamaan.Â
Yang jadi agak "ngeri" lebih memfokuskan pada agama sebagai ritual dan menegasikan perbedaan. Jatuhnya sangat ekslusif. Ini kesan yang kami berdua tangkap. Dan kita tentu bisa berbeda pendapat.
Makanya, untuk nilai-nilai agama. Kami sepakat. Itu diberikan di rumah. Melalui contoh, bukan ujaran-ujaran. Berat memang. Soal agama kami harus jadi teladan. Bukan orang lain di luar rumah. Tapi itu harus dilakukan. Kami ingin anak kami bisa bergaul dengan banyak orang tanpa sekat agama.
Kami akhirnya dapat sekolah, yang kami anggap cocok. Dilalahnya, ibunya diterima mengajar di salah satu sekolah. Sekolah tersebut memiliki day care dan TK. Para yang anaknya bersekolah di situ mendapatkan apresiasi, berupa subsidi biaya. Biayanya menjadi lebih ringan (meskipun tetap berat bagi kami).Â
Tapi, karena visinya sesuai dengan visi kami. Juga anak kami berkesempatan berjumpa dengan beragam kalangan, maka kami tak pikir panjang, bismillah, memasukan anak kami di situ.
Berbagai drama kami rasakan. Anak kami masih usia 4 tahun. Tak biasa berinteraksi dengan banyak orang. Selalu menempel dengan kami dan keluarga. Awal masuk selalu menangis. Tapi, tidak pernah menolak berangkat ke sekolah. Kami, terutama istri saya, sangat berat sekali mengawali hari-hari awal anak kami bersekolah.Â
Istri saya yang bebannya lebih besar. Karena pada saat yang sama saya ditugaskan ke Papua Barat selama dua minggu untuk penelitian. Kami hanya diskusi melalui sms dan telpon, karena sinyal sangat terbatas. Istri saya, disamping harus beradptasi dengan tugas di sekolah barunya, yang begitu banyak, juga harus mengawal putra kami.Â
Apakah tanpa emosi? Seperti yang disampaikan di buku-buku parenting? Jelas tidak. Ia kadang tak bisa mengontrol emosinya. Tarik ulur. Saya juga sama saja. Menghadapi anak kecil memang berat. Kami konsultasi secara intensif dengan guru dan akhirnya ke konselor sekolahnya.Â
Ada masa di mana anak kami bangun di pagi hari dan selalu mengulang-ulang bahwa ia ingin ditemani bundanya. Dan menangis panjang, baru berhenti di sekolahnya. Di situ emosi diaduk-aduk. Kesabaran diuji. Dia sering menangis.Â
Tapi, di sekolah gurunya bilang, bahwa anak kami baik-baik saja. Belum berinteraksi dengan intensif, tapi bisa mengikuti instruksi. Semua kami obrolakan bersama agar mendapat solusi. Agar anak kami merasa nyaman meskipun harus ke sekolah.
Ibunya, intensif berdiskusi dengan gurunya. Juga bertanya sana sini ke guru lain yang anaknya seusia anak kami. Dapatlah kami berbagai kisah. Tentang perjuangan mereka mengawal anak-anaknya di usia dini. Berbagai tangisan dan drama. Berbagai kesulitan juga kesenangan. Harus lega hati, harus santai, dan percaya anak bisa. Ya, kuncinya itu. Kami coba terapkan. Jangan tegang, agar anak juga tidak tegang. Itu kata mereka. Santai aja. Tetap kami tidak santai. Tidak mudah mengatur emosi.Â
Di sini, kami sadar, kedewasaaan diri sangat lah penting. Makanya, menikah itu tidak mudah. Apalagi membesarkan anak. Saya jadi kesal jika banyak anjuran di media sosial untuk menikah muda. Menikah itu bukan soal cepat-cepatan. Tapi soal banyak hal. Banyak variabel yang harus disiapkan. Mentalitas harus tangguh, disamping juga kemampuan finansial.
Setelah pergulatan panjang. Sekarang anak kami sudah bersekolah selama  empat bulanan. Anak kami sudah sangat menikmati lingkungan barunya. Ada kalanya merengek, namun tidak "seheboh" dulu. Kami selalu berusaha mendampingi dia. Mengajak dia ngobrol. Memintanya bercerita soal banyak hal. Apa saja.Â
Agar dia terbiasa bicara apa adanya kepada kami. Mengeluakan unek-uneknya tentang apapun. Dia bisa bicara soal teman-temannya, menyebutkannya satu persatu. Tentang ketakutannya, kekesalannya, ketidakmauannya, keinginannya, bekal yang diinginkan, mainan yang diinginkan dsb. Dia kami biasakan bercerita.Â
Apa saja. Apakah selesai persolan? Oh tentu tidak. Ini bukan FTV yang selalu selesai dengan happy ending. Ada berbagai pergulatan yang harus dilakukan dalam membesarkan anak. Itu jelas tidak mudah. Tapi kami sangat menikmati.Â
Sambil memutar otak, mencari strategi, berdoa, tanya sana sini, membaca buku, dan lainnya. Kehidupan memang arena pembelajaran terbaik. Kita dibenturkan, dibenturkan, dan dibentuk-- seperti yang disampaikan Tan Malaka.
Yang saya tulis ini baru satu bagian dari tugas orangtua, dan masih begitu banyak tugas lainnya. Jadi orangtua memang sulit. Tapi jadi orangtua juga sangat menyenangkan. Jadi orangtua adalah anugerah. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan ini. Semoga kami tetap kokoh menemani anak kami menghadapi dunia yang semakin tidak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H