Aku selalu membayangkan ada sebuah Negeri Senja tempat langit selalu merah keemas-emasan dan setiap orang di negeri ini lalu lalang dalam siluet. Dalam bayanganku negeri senja itu tak pernah mengalami malam, tak pernah mengalami pagi, dan tak pernah mengalami siang. Senja adalah abadi di negeri senja, matahari selalu dalam keadaan merah membara dan siap terbenam, tapi tak pernah terbenam sehingga seluruh diding gedung, tembok gang, dan kaca-kaca jendela berkilat selalu kemerah-merahan. Orang-orang bisa terus menerus berada di pantai selam-lamanya, dan orang-rang bisa terus menerus minum kopi sambal memandang langit semburat yang keemas-emasan. Kebahagiaan terus menerus bertebaran di Negeri Senja seolah-olah tidak akan pernah berubah lagi… (seorang wanita dengan parfum L’eau D’Issey, 245)
Ia melanjutkan:
Negeri senja adalah sebuah negeri yang sangat indah karena lempengan cahaya emas secara abadi bertempelan di mana-mana. Orang-orang tidak bertengkar, orang-orang tidak saling membenci, orang-orang jatuh cinta setiap hari. Lelaki dan perempuan selalu tampak indah di Negeri Senja yang seperti selalu menawarkan agar setiap orang saling mencintai sampai akhir masa… (seorang wanita dengan parfum L’eau D’Issey, 245)
SGA adalah pengagum senja kelas kakap. Kekagugamannya tentang senja begitu teguh. Ia pencinta senja garis keras. Bayangkan saja ia sampai mengidamkan Negeri Senja. Kalau itu ada, saya mau pindah kewarganegaraan menjadi penduduk Negeri Senja.
Coba saja lihat di Negeri Senja begitu menyenangkan. Orang-orang tidak bertengkar, orang-orang tidak saling membenci, orang-orang jatuh cinta setiap hari. Lelaki dan perempuan selalu tampak indah di Negeri Senja yang seperti selalu menawarkan agar setiap orang saling mencintai sampai akhir masa.
Kalau membaca itu rasanya negeri itu tak mungkin ada. Kalau kita buka media sosial saja kita akan menyaksikan beragam pertengkaran. Entah karena berbeda pilihan politik, pemahaman agama, dan lain-lain. Begitu banyak rasa benci yang menyebar di timeline media sosial kita. Jika menonton tivi pun demikian. Beruntung masih ada beberapa stasiun televisi yang ‘sepertinya’—sepertinya lho tak ikut-ikutan dan memilih menyiarkan tayangan lain di luar berita politik. Masih ada yang menghibur.
Sinetron-sinetron India yang ditayangkan salah satu tv secara istiqomah misalnya. Yang saya heran, kenapa setiap ada pertengkaran, maka zoom in tokohnya sedemikian lebay. Hehe. Laku? Jelas. Coba saja seharian menonton chanel tivi tersebut. Akan hadir sinetron India dengan beragam judul.
Ada lagi tv yang konsisten menyiarkan lagu-lagu kenangan, dangdut pantura dsb. Yang saya juga heran, lagunya sebentar, komentarnya bisa satu jam sendiri. Laku. Luar biasa laku. Saya tak memungkiri saya pun terhibur. Dibanding nonton dagelan politik. Saya lebih terhibur nonton jenis hiburan ini.
Balik lagi ke senja. Di Jakarta rasanya tak semua orang menikmati senja dengan khusu. Karena kita harus berlari. Ya minimal mengejar transportasi publik. Tak ada waktu lagi menikmati indahnya senja sambal ngopi-ngopi seperti yang dibilang oleh SGA tersebut.
Kalau kata Joko Pinurbo,
setelah punya rumah, apa cita-citamu?Â
kecil saja: ingin sampai rumah saat senja
supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.