Sebagai awam, khutbah jumat merupakan salah satu bagian dari momen di mana pengetahuan saya tentang keislaman diperbahrui. Tentu saja saya berharap khutbah jumat tersebut akan mengajak saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik menguatkan keimanan dan ketaqwaan saya yang masih level beginner.
Namun, akhir-akhir ini khutbah jumat yang saya ikuti lebih berasa nuansa politiknya. Beberapa rekan saya pun merasakan hal yang sama.
Tentu ini perspektif saya pribadi. Saya merindukan khutbah jumat yang tidak rasa politik. Karena sesungguhnya banyak ruang lain yang bisa dimanfaatkan bagi penyebaran ide-ide politik.
Situasi yang panas tak perlu dipanaskan lagi dengan khutbah jumat rasa politik. Tak suka dengan seseorang dengan alasan apapun ya monggo saja. Tidak suka pada calon tertentu atau bahkan benci bukanlah sesuatu yang salah. Tapi menjadikan khutbah jumat sebagai sarana untuk menyampaikan ketidaksukaan dengan bahasa-bahasa penuh provokasi juga bukan sesuatu yang dapat dibenarkan.
Khutbah jumat menurut pandangan awam saya tak perlu digunakan untuk menyampaikan ketidaksukaan itu, baik tersirat maupun tersurat, baik secara malu-malu ataupun frontal, apalagi secara provokatif kepada orang, komunitas, partai, atau bahkan pemerintah.
Ya ini pendapat saya yang awam.
Mungkin sebagian orang justru menikmati kondisi saat ini dan menganggap khutbah secara “teriak-teriak” adalah hal yang wajar. Dan melakukan itu adalah jihad yang wajib dilakukan saat ini. Tapi saya yakin banyak pihak juga yang tak nyaman.
Saya termasuk jamaah shalat jumat yang datang ke masjid dengan niat beribadah, berharap mendapat pencerahan. Meskipun hanya mendengar 15 menit, khutbah pasti akan menyegarkan pemahaman keislaman jika diiisi dengan penguatan ruhaniah.
Jika tak diisi dengan masalah politik atau masalah yang akan menimbulkan perdebatan, 15 menit akan jadi waktu yang sangat berharga.
Bayangkan jika 15 menit khutbah diisi dengan anjuran-anjuran kebaikan dan motivasi kehidupan. Ajakan untuk meningkatkan ketaqwaan, meningkatkan kepedulian terhdap sesama, memotivasi agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Pasti tidak ada jamaah yang akan tertidur dan menggerutu setelah selesai shalat jumat. Hati bahagia, jiwa tenang. Ah indahnya.
Ketika suasana politik masuk ke khutbah suasana menjadi tak nyaman. Tiap orang tentu punya tafsiran terhadap sesuatu. Anjuran-anjuran yang sifatnya politis tentu akan tepat jika disampaikan di momen yang tepat. Kampanye politik misalnya. Di situ ya monggo mau bicara apa saja. Asal tak memantik kebencian dan hasutan semua bisa dilakukan. Saling menyindir dan mengkritik program kandidat lain juga silahkan. Namanya juga kampanye.
Di masjid, di momen khutbah, kalau menurut saya ya lebih elok bicara hal lain saja. Membuat suasana adem ayem gemah ripah lohjinawi kan sangat bagus. Khutbah yang berisi nasihat dan anjuran taqwa akan lebih berkesan. Menyehatkan badan dan menyegarkan pemikiran.
Saya masih menantikan khutbah jumat yang tidak rasa politik. Kritik terhadap pemerintah pun semestinya, menurut pandangan saya, tak dilakukan di momen khutbah.
Kalau mau berdiskusi panjang lebar, atau menyampaikan gagasan atau pandangan yang akan memunculkan perdebatan ya lebih baik dilakukan setelah shalat jumat. Ada ruang pertukaran gagasan, yang setuju atau tidak setuju pun punya waktu untuk saling beradu argumentasi. Rasa-rasanya itu lebih menarik. Dibanding keras-keras, kritik sana sini, mendoakan ketidakbaikan bagi orang lain di momen yang sakral.
Ini hanya pendapat saya yang awam. Orang yang ingin mendapatkan khutbah jumat yang adem ayem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H