Kita begitu mudah menyebarkan kebencian-kebencian. Kebencian ke saudara, ke teman kerja, ke orang yang cuma kita kenal di media sosial, atau yang tak pernah kita kenal sekalipun. Seringkali terpancing ingin komentar.
Bayangkan jika kita punya banyak grup whatsapp dan setiap saat narasi kebencian itu datang. Kita merasa perlu terlibat dan berdiskusi, dan akhirnya kita sibuk mengurusi hal-hal tersebut. Lelah yang didapat. Terpancing ingin komentar.
Kita pusing dengan status, kicauan, dan apapun itu yang berasal dari orang lain. Memikirkannya dan mendiskusikannya. Kita sakit. Orang lain biasa aja. Kita repot. Panas. Orang lain adem ayem.
Kita lupa, kita tak seragam. Kita beragam. Kita lupa diperintahkan untuk saling mengenal, bukan saling memusuhi. Kita lupa menjadi rahmat bagi semesta alam. Tak toleran terhadap perbedaan. Berbeda berarti salah dan harus dimusuhi.
Kita sering lupa. Dan lupa itu disengaja. Karena kita sibuk. Tak bisa ada yang mengganggu. Kita sibuk dengan pikiran sendiri. Menerjemahkan sendiri pikiran-pikiran itu. Menghakimi orang dengan pikiran itu. Dan lupa memikirkan diri kita sendiri. Diri yang juga penuh kekurangan-kekurangan.
#tulisan ini sebagai bahan renungan pribadi. Sesungguhnya bukan Kita kata ganti yang pas, tetapi Saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H