Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru dan Masa Depan Bangsa

26 Mei 2016   09:39 Diperbarui: 26 Mei 2016   10:20 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan merupakan suatu keniscayaan. Guru harus adaptif menghadapi perubahan yang semakin tak tentu arah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat perlu diimbangi oleh semangat guru untuk selalu memperbahrui wawasan dan kompetensinya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas guru merupakan hal yang sangat besar urgensinya.

Upaya guru secara personal untuk berusaha meningkatkan untuk meningkatkan kapasitas diri secara berkelanjutan merupakan hal yang paling mendasar. Para guru harus ditantang dan diberikan target untuk senantiasa meningkatkan kapasitasnya. Guru tak boleh malas meningkatkan kapasitas diri. Para guru harus sadar mereka berada di garda terdepan yang langsung berhadapan dengan anak-anak bangsa yang butuh mendapatkan pencerahan. 

Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus mampu menjaring anak-anak bangsa terbaik untuk dididik dan dipersiapkan menjadi guru yang berkualitas. Adanya Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen GTK Kemdikbud) sesungguhnya menjadi harapan baru. Melalui Dirjen GTK Kemdikbud ini, program pelatihan bagi guru harus diupayakan terus menerus. Organisasi profesi guru secara kritis harus mengawal beragam program peningkatan kapasitas guru yang dijalankan oleh pemerintah.

Peningkatan kapasitas guru merupakan tugas bersama. Pemerintah, perguruan tinggi, maupun organisasi profesi harus bersinergi untuk mengoptimalkan program peningkatan kapasitas guru. Sinergisitas kelembagaan memang masih menjadi permasalahan di negeri ini. Koordinasi antar lembaga masih menjadi hal yang sulit dilakukan. Kolaborasi menjadi kata kunci.

Di level yang lebih mikro, sekolah maupun dinas pendidikan di tiap daerah pun harus secara aktif menjaring dan mendorong guru-guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik ke jenjang selanjutnya. Para guru harus diberi kemudahan ketika melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Negeri ini harus banyak belajar dari Finlandia untuk mempersiapkan guru yang mumpuni. Finlandia merupakan salah satu negara yang berhasil melakukan transformasi pendidikan. Di negeri tersebut, para guru yang mengajar di sekolah merupakan lulusan dari universitas-universitas terbaik.

Pasi Sahlberg (2010) dalam The Secret to Finland’s Success: Educating Teachersmengungkapkanbahwa guru yang unggul (excellent teacher) adalah salah satu elemen kunci keberhasilan Finlandia di bidang pendidikan.

Calon guru sekolah dasar di Finlandia harus melalui seleksi ketat. Proses tersebut berlangsung sangat kompetitif. Hanya yang terbaik yang akan diterima menjadi guru. Profesi guru sangatlah menjanjikan di negeri tersebut. Prestisenya tidak kalah dengan profesi di bidang kesehatan, hukum, maupun ekonomi.

Di Indonesia sesungguhnya profesi guru sudah banyak diminati. Apalagi kesejahteraan guru relatif membaik khususnya bagi mereka yang mendapatkan sertifikasi. Namun lagi-lagi kesejahteraan tersebut tidak dinikmati semua guru. Guru honorer masih jauh dari sejahtera.

Jangan bayangkan juga mereka mendapat jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan ataupun BPJS Ketenagakerjaan. Mereka harus ‘ikhlas’ dan nrimo dengan gaji yang mereka terima. Guru-guru honorer harus menikmati gaji seadanya, jauh di bawah upah minimum. Seringkali gaji tersebut terlambat didapat. Satu dua bulan tak dapat gaji dianggap biasa.

Seringkali juga guru honorer mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari sekolah. Untuk guru honorer yang masih muda mereka harus siap diberikan beragam tugas tanpa adanya kompensasi yang layak. Hal tersebut dianggap pengabdian saja. Guru honorer dituntut profesional bekerja namun tak diperlakukan layaknya seorang profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun