Mohon tunggu...
Anggi Luki
Anggi Luki Mohon Tunggu... Editor - Karyawan

Orang yang suka dengan ketenangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Seperti Edelweis

20 September 2023   19:22 Diperbarui: 20 September 2023   20:21 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siap bu."

Aku mencium tangan ibu dengan lembut dan tak lupa kedua pipinya, habis itu aku pergi meninggalkan meja makan.

Di luar rumah.

"Dorrr.. lama ya?" Ucapku pada seseorang yang menungguku sedari tadi di depan rumah.

"Kagak, aman weh." Ucapnya.

Perkenalkan orang ini adalah Kinan, dia sahabatku sejak aku duduk dibangku SMP hingga kuliah, pertemanan kami dimulai dengan cara yang tidak di sengaja. Aku dan dia menjadi akrab satu sama lain semenjak saat itu. Aku merasa, dia itu adalah orang yang bisa diandalkan, dia selalu bertingkah seperti Ayah, kakak, hingga sahabat. Maklum, sejak saat TK Ayah sudah pergi ke surga lebih dulu, tapi aku merasa duniaku tetap baik-baik saja, aku punya Ibu yang wonder women banget ngebesarin aku dan kak Aries tanpa seorang ayah, hidupku jadi terasa lebih indah lagi saat aku punya sahabat seperti Kinan yang super duper baik, mashaallah. Dia paham, saat aku sedih maupun bahagia.

Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun juga berlalu. Aku selalu merasa bersyukur bahwa dunia selalu memperlakukanku dengan sama, aku merasa kebahagiaanku ini memiliki mereka bertiga akan selalu abadi. Namun sayangnya seusai ulang tahun Ibu, selang beberapa bulan. Ibu pergi untuk selama-lamanya meninggalkanku dan kak Aries, seketika saat itu aku merasa duniaku berubah dari yang lucu menjadi menyeramkan. Aku melihat seolah rumah terasa ramai namun saat itu untuk pertama kalinya hatiku merasa sepi.

"Ibu.... Ibu, kenapa ibu pergi ninggalin aku Bu. Kenapa? Apa aku nakal, apa aku jahat. Makanya ibu ninggalin aku? Jawab Bu, jawab bu." Tangisku pecah tak kala harus menerima kenyataan sepahit ini. Kak Aries selalu mencoba menenangkanku, meski aku tahu hatinya juga hancur.

Beberapa bulan semenjak kepergian Ibu, aku lebih suka mengurung diri, seolah-olah jika mendapat pertanyaan dari orang lain tentang Ibu pun aku seolah tak ingin menanggapi hingga pada suatu hari, kak Aries juga harus pergi untuk kerja di luar kota dan merantau, rumah terasa sepi dan aku merasa kenapa dunia begitu cepat berubah setelah kepergian Ibu. 

Kinan, ya harapanku saat itu Kinan. Aku harap Kinan juga tak pergi dari hidupku, hingga pada akhirnya aku sadar bahwa pengharapan terbesar itu bukan lagi berada pada manusia, Ya karena manusia itu bukan Edelweis yang bersifat abadi. Kinan punya kehidupannya sendiri dan aku tidak selalu bisa mengandalkannya dalam hidupku, semenjak ia punya kekasih ia lebih fokus kepada kebahagiaannya dan orang yang disayangnya.

Dari pengalaman hidup yang mungkin sepahit itu, aku sadar bahwa kehidupan itu tak sama dengan Edelweis yang abadi, yang mana bahagia akan ada masanya berubah menjadi sedih dan juga sebaliknya, dari itu semua membuatku sadar sebaik-baikya harapan adalah bukan kepada manusia namun lebih kepada yang menciptakan kita semua.

Sepenggal kisah dari aku-Alata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun