Mohon tunggu...
Gede Anggha Indrawan
Gede Anggha Indrawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang tertarik di bidang penulisan. Selain itu saya juga memiliki minat pada bidang musik, film, buku dan juga game, jadi hal yang dibahas di blog ini kurang lebih seputar itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Berpikir Seperti Sherlock Holmes, Emang Bisa?

29 Desember 2023   11:57 Diperbarui: 29 Desember 2023   16:44 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi kalian yang menggemari film dengan genre detektif dan misteri pasti sudah tidak asing lagi dengan Sherlock Holmes. Karakter yang pernah diperankan oleh Robert Downey Jr dan Benedict Cumberbatch ini menjadi sangat ikonik karena cara berpikirnya yang sangat unik, namun juga bisa dikatakan cukup sederhana. Sebagian dari kalian mungkin bertanya "apakah kita juga bisa berpikir seperti Sherlock Holmes?". Yuk, kita bahas.

SIAPA ITU SHERLOCK HOLMES?

Sebelum kita membahas cara berpikir dari karakter satu ini, ada baiknya untuk memperkenalkan siapa karakter ini sebenarnya. Sherlock Holmes merupakan tokoh detektif fiksi klasik karya Sir Arthur Conan Doyle. Sherlock Holmes pertama kali diperkenalkan pada novel beliau yang berjudul "A Study in Scarlet".

Karakter ini telah menjadi ikon kecerdas dan analitis dalam dunia literatur. Cara berpikir unik Holmes sering dijuluki sebagai "metode deduktif". Cara berpikirnya ini telah menginspirasi banyak pembaca dan penggemar misteri.

Dalam mengungkap kasus-kasusnya yang rumit, Holmes menggunakan kemampuan observasi tajam dan penalaran logis yang luar biasa. Ia menganut filosofi bahwa setiap detail, sekecil apapun, dapat memberikan petunjuk penting untuk memecahkan misteri.

Nah, setelah berkenalan dengan Sherlock Holmes saatnya kita membahas cara Sherlock Holmes berpikir.

METODE DEDUKTIF

Ada dua cara berpikir yang sering kita terapkan di kehidupan sehari-hari, yaitu berpikir deduktif dan juga induktif. Kedua metode ini telah digagas oleh para filsuf dari berbagai zaman.

Salah satu tokoh yang berkontribusi besar dalam dua cara berpikir ini adalah Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkenal hingga zaman sekarang. Pada karyanya yang terkenal, "Organon," beliau mengembangkan konsep deduksi (deduktif) dan induksi (induktif) ini.

Selain Aristoteles, tokoh lain yang juga berpengaruh pada cara berpikir ini adalah Rene Descrates. Beliau mengembangkan metode deduktif dalam mencari suatu kebenaran yang pasti. Descartes menganggap deduktif merupakan metode penalaran yang lebih unggul dan lebih dapat dipercayai daripada induktif.

Meskipun digagas secara bersamaan, kedua metode berpikir ini merupakan sesuatu yang berbeda. Berpikir deduktif merupakan cara berpikir yang diawali dari pembuktian pernyataan yang bersifat umum yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang bersifat khusus (Agustina, 2019:4).

Sementara itu berpikir induktif menurut Qomara (2019:9), Penalaran induktif merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. 

Sederhananya, berpikir deduktif adalah cara berpikir dari petunjuk-petunjuk umum yang digunakan untuk menarik kesimpulan yang khusus. Cara berpikir deduktif juga mengatakan bahwa pentunjuk-petunjuk umum yang terbukti kebenarannya akan menghasilkan kesimpulan yang pasti benar. Sedangkan, berpikir induktif adalah cara berpikir yang cenderung menggeneralisasi. Hasil kesimpulan yang ditarik oleh cara berpikir ini juga harus dibuktikan kebenarannya. 

Pada kisah Sherlock Holmes, sang tokoh utama menggunakan cara berpikir deduktif dimana ia menarik kesimpulan dari petunjuk-petunjuk yang ia temui di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melalui observasi. Karena itu lah Holmes dapat dengan mudah mengetahui ciri-ciri fisik sang pembunuh melalui petunjuk-petunjuk yang ada di TKP, seperti yang terjadi pada kisah "A Study in Scarlet".

Cara berpikir seperti ini sering Holmes sebut sebagai berpikir terbalik, dimana ia dihadapkan pada suatu hasil atau kejadian dan ia harus menguak penyebab dibaliknya melalui fakta-fakta yang ada di lapangan. Menurutnya cara berpikir ini adalah sesuatu yang sederhana, tapi saat berguna di bidang pekerjaannya sebagai detektif.

Selain cara berpikirnya yang unik, Holmes juga dibekali dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan bidang pekerjaannya, seperti pengetahuan tentang jejak, abu cerutu, racun, dan lain-lain. Pengetahuan ini diperoleh Holmes dari eksperimen dan hasil observasi yang panjang. Hasil eksperimennya ini menjadi dapat menjadi refernsi yang membantunya untuk menghasilkan kesimpulan melalui deduksi.

BAGAIMANA BERPIKIR SEPERTI SHERLOCK HOLMES DI DUNIA NYATA?

Banyak dari kita akan bertanya "Bisakah kita berpikir setajam Sherlock Holmes di dunia nyata?". Sayangnya, jawaban atas pertanyaan itu adalah tidak. Kita tidak bisa berpikir setajam Sherlock Holmes di dunia nyata, karena pada dasarnya kisah yang dihasilkan oleh Sir Arthur Conan Doyle ini adalah karya fiksi yang dibuat berdasarkan konsep berpikir di dunia nyata. Tidak ada manusia yang dapat menggambarkan suatu adegan pembunuhan dengan begitu  persis hanya dengan celingak-celinguk sebentar di TKP. Akan tetapi, kita masih bisa menerapkan konsep berpikir deduktif di dunia nyata, walaupun tidak setajam dan semahir Holmes. 

Kebanyakan dari kita melakukan proses berpikir induktif di kehidupan sehari-hari. Kita terlalu sering melakukan generalisasi akan suatu hal, padahal kebenaran akan hal tersebut belum 100% benar.

Contoh cara berpikir induktif (generalisasi) di kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:

Indra jago matematika,

Indra jago Bahasa Inggris,

Indra jago IPA,

Maka dari itu, Indra adalah ranking 1 di kelasnya.

Cara berpikir seperti ini sebenarnya kurang cocok digunakan karena kebenarannya cenderung tidak pasti sehingga harus dibuktikan lebih lanjut. Berbeda dengan cara berpikir deduktif  yang kebenarannya lebih terjamin. Berikut cara berpikir deduktif di kehidupan sehari-hari:

Petunjuk 1: Penyakit maag memiliki tanda-tanda seperti perut kembung, mual hingga muntah, dan nyeri pada ulu hati

Petunjuk 2: Yuda mengeluh bahwa perutnya kembung, merasa mual, dan merasa nyeri pada ulu hati

Kesimpulannya, Yuda menderita sakit maag. 

Cara berpikir ini lebih baik karena kesimpulannya diambil dari data-data yang sudah valid. Pada kasus Yuda, dengan menyimpulkan bahwa ia mengalami sakit maag melalui gejalanya, kita bisa membantunya untuk mengatasi sakit yang dideritanya.

Contohnya seperti memberinya makan dan obat pereda maag. Selain itu kita juga bisa mencegah sakit maag miliknya kambuh lagi dengan cara melarangnya makan yang pedas-pedas, mengingatkan agar tidak telat makan, dan tidak memberinya buah yang memiliki rasa asam

Untuk menerapkan proses berpikir ini kita juga memerlukan pengetahuan yang luas sebagai referensi untuk mendukung proses berpikir deduktif kita. Selain itu, diperlukan kemampuan observasi yang harus diasah setiap harinya agar kita bisa menemukan petunjuk-petunjuk atau fakta-fakta kecil terkait permasalahan yang kita alami, sehigga memperlancar proses deduksi kita.

Orang yang membaca hanya untuk iseng pasti hanya memperoleh pengetahuan se-kadarnya, berbeda dengan Holmes yang mau membebani pikirannya hingga ke hal-hal kecil. ― Sir Arthur Conan Doyle, A Study in Scarlet 

KESIMPULAN

Cara berpikir deduktif seperti Sherlock Holmes dapat kita lakukan di dunia nyata. Akan tetapi, deduksi kita tidak akan pernah setajam Sherlock Holmes.

Melalui cara berpikir deduktif ini, kita dapat mempermudah proses kita dalam menemukan solusi atas permasalahan yang kita temui di kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, saya ucapkan Terima Kasih.

***

Referensi:

Agustina, Indah. (2019). PENTINGNYA BERPIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0. https://www.researchgate.net/publication/341788018

Doyle, A. Conan. (1887). A Study in Scarlet. London: Ward Lock & Co

Qomara, Aji. (2019). KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS PESERTA DIDIK DALAM MEMECAHKAN MASALAH TRIGONOMETRI DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN CARL GUSTAV JUNG. Sarjana thesis, Universitas Siliwangi.

Image by Freepik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun