Ayah sudah didepan pintu ketika kami masih menangis. Ayah langsung memeluk kami dan ikut menangis pula. Rara memeluk ayah erat sekali. Aku membiarkan ayah dan Rara berpelukan, aku membiarkan rasa kami tumpah dalam satu rasa, yaitu Ibu. Tak akan pernah habis menceritakan mengenai ibu.
‘ayah, ada apa dengan ibu?’, Rara memulai pembicaraan pada ayah.
‘boleh Rara mendengar? Ibu lebih dari ibu yah bagi Rara’, ungkap Rara mendalam.
Aku hanya tertegun. Tak bisa kubayangkan bagaimana seharusnya ibu bahagia mendapati kami merindukannya sedalam ini.
‘ayah tak tau harus memulai darimana nak. Tapi ayah harus menceritakan pada kalian semuanya’, kata ayah pilu.
‘ibu pergi bukan karena tak sayang dengan kalian. Ibu pergi karena ibu berobat nak, ibu terkena kanker rahim’, kata ayah pilu.
Aku berhenti menangis dan tertegun. Terdiam, ibu sakit dan sendiri.
‘ibu dimana yah? Mengapa harus pergi dariku?’, aku bertanya dalam kepiluan. Hatiku remuk dan aku merasa menuduh ibu yang bukan-bukan di bandara kemarin.
‘ibu di Belanda nak, ibu bersama nenek nak. Mereka melukis di Belanda dan ibu berobat untuk melawan kankernya’, ungkap ayah memelukku.
Aku tak mampu mengatakan apapun. Ibu berjuang sendiri disana sedangkan aku tak serius mencari ibu. Aku lunglai dan tau lagi, semua terasa putih dan semakin lama semakin gelap. Rara dan ayah histeris, tapi aku tak tau lagi.
---
Aku melihat Rara sedang tidur disofa, dan kulihat ruangan bercat putih coklat bersih dengan tangan berselang infuse. Ternyata aku sedang berada di rumah sakit. Kulihat jam di dinding, menunjukkan pukul 19.05. Cukup lama aku tak sadarkan diri. Aku yakin karena dari kemarin aku tidak mengkonsumsi apapun, apalagi aku baru saja dari perjalanan dan keletihan membantu Sarah melahirkan.
Kuambil ponsel yang tergeletak disamping meja kamarku, aku ingat Bayu seharusnya sudah sampai. Ada 10 panggilan tak terjawab dan lima sms Bayu. Aku segera memencet nomor Bayu.
‘Bay, kamu dah sampai?’
‘iya Le, aku nginep ditempat temanku. Kamu dimana? Kenapa telponku tak diangkat?’, cerocos Bayu.
‘aku tadi pingsan, sekarang di RS Tiara Sella, kamar VIP 45A, kamu kesini ya’, ungkapku.
‘kamu kenapa Le? Aku segera kesana’, ungkap Bayu cemas.
Rara bangun dari tidurnya mendengar percakapanku dengan Bayu.
‘hei kamu sudah bangun? Kamu belum boleh banyak pikiran Le?’, cerocos Rara. Aku tersenyum melihatnya dan tak mengatakan apapun.
‘kata doketr typusmu kambuh, kamu gak boleh stress Le, jika gak penyakit lain cepat datang ke tubuh kamu’, kata Rara menambahkan.
‘ayo minum air putih ya’, bujuk Rara.
‘sedikit aja Le, aku gak suka rasanya’, kataku.
Memang sejak dari dulu aku tidak terlalu menyukai air putih, rasanya sering membuatku mual. Kadang mereka heran, aneh dengan rasa air putih yang aku ungkapkan. Kataku, air putih itu kadang berasa tanah ataupun lumpur yang pekat. Mungkin, satu-satunya orang yang mengatakan hal tersebut hanya aku saja. Aku lebih menyukai air yang berasa manis, seperti teh, susu ataupun minuman-minuman berasa lainnya.
‘ayo Le, habiskan air putih ini, kalau ginjalmu gak mau cepet rusak pula’, kata Rara sambil menjelit ke arahku.
Aku takut juga kalau Rara sudah begitu cerewetnya. Aku mengambil gelasnya dan meminumnya pelan-pelan dengan menutup hidungku. Tiba-tiba perawat dan dokter masuk untuk mengecek kondisiku.
‘malam mbak, sudah bangun ya?’, sapa dokter ramah.
Aku langsung tersenyum dan langsung membaca namanya, namanya dr. Sandi.
‘dokter besok saya sudha boleh pulang?’, tanyaku.
‘ya, kita periksa ini dulu ya’, dokter memeriksaku tubuhku dan mengajakku ngobrol.
‘kamu harus makan ya, dan memaksakan menelan makanan. Pelan-pelan saja’, lanjut dokter.
‘tapi besok saya boleh pulang dok?’, tanyaku mendesak.
‘ya kita lihat hasil laboratorium besok ya. Kalo typusnya sudah berkurang, kamu boleh istrirahat dirumah saja. Tapi saya prediksi lusa kamu baru boleh pulang ya’, kata dokter senyum.
‘dok, apakah kanker rahim itu bisa diobati?’, tanyaku menanyakan penyakit ibu.
‘tidak ada sakit yang tidak bisa diobati sesungguhnya. Karena jiwa ini punya obat sendiri untuk tubuhnya, yaitu semangat hidup dan kemanuan yang keras’, cerita dokter panjang lebar.
‘kamu istirahat dulu yang paling penting. Nanti kamu memikirkan yang lainnya, sugesti diri kamu untuk sehat. Oke Alea, saya permisi’, kata dokter.
‘terima kasih dok’, aku dan Rara mengatakannya bersamaan.
Rara langsung mengambil nasi yang sudah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit. ‘ayo, sekarang waktu makan dan minum obat, terus tidur lagi’, kata Rara.
‘bentar ya Ra, plis, aku masih mual minum tadi’, pintaku memelas.
Tok tok, pintu diketuk. Aku yakin itu Bayu. Aku tak siap, ataukah aku senang. Aku berharap itu benar Bayu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H