Mohon tunggu...
Angger Wiji Rahayu
Angger Wiji Rahayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi menjadi penulis. Karena dunia yang kita lihat hanyalah representasi. www.anggerwijirahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bagian 18 : Dongeng Ibu

8 Februari 2012   13:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini diisi acara perkenalan. Masing-masing ternyata juga baru memulai dalam penulisan naskah monolog. Semua pelaku seni, dan telah mengembangkan seni teater sejak masih kuliah di daerah masing-masing. Aku yang paling bontot sepertinya dan punya pengalaman sedikit. Semuanya pernah membuat pentas teater menjadi heboh dengan karya-karya mereka.

Sungguh aku beruntung dapat kesempatan ini. Akhir-akhir ini aku sangat menyukai kegiatan tulis-menulis. Sesekali aku berpuisi dipentas mingguan komunitas seni. Sebenarnya tetap setiap minggu sih aku tampil, dari situ aku banyak belajar banyak hal. Bahwa aku tak bisa hanya tampil didepan saja jika aku mau merubah apa yang menjadi inginku.

Bagi sebagian orang mungkin anak-anak teater ini anak-anak gila. Bagiku dan bagi teman-teman disini, teater adalah kehidupan. Pentasnya, gelapnya suasana, suaranya yang menggema, bahasa langitnya, ochestra yang mengiringi, ceritanya yang menyentuh serta persiapannya yang meletihkan. Semuanya satu kompleksitas cerita yang tak habis-habisnya.

Dulu aku penrnah kepincut dengan seni tari, waktu masih kecil. Sepertinya bahagia sekali melihat orang menari dan melenggok-lenggokkan badannya diatas panggung. Berdandan cantik, dan menggunakan pakaian yang indah-indah. Dipadu dengan gerak tubuh yang memikat hati. Aku pernah merengek kepada ibu untuk ikut kelas menari waktu kecil. Aku dititipkan dikelas menari anak-anak pejabat pemerintah. Tarian pertama yang kupelajari adalah tari piring.

Karena aku masih pemula dan kecil, aku disuruh menggunakan piring plastik untuk belajar. Aku melihat beberapa anak lainnya yang sudah mahir diperbolehkan menggunakan piring dari keramik untuk belajar. Saat itu aku menangis-nangis pada ibu untuk menggunakan piring dari keramik itu juga. Karena aku pikir belajar harus totalitas, pecah berarti aku melakukan kesalahan dan harus bekerja keras agar bisa.

Pelatih dan beberapa temanku tidak memperbolehkanku untuk begitu. Aku menangis dan mengamuk-ngamuk kala itu. Ibu mengerti tabiatku yang pekerja keras dan tentu saja keras kepala ini. Ibu akhirnya memohon kepada pelatihku untuk memberiku sebuah piring keramik. Aku kegirangan, dan aku belajar tari piring dengan piring keramik. Memang aku belum fasih dengan gerakan kaki, atau terlalu gemulai, tapi aku tidak menjatuhkan piring keramik tersebut. Menarikan tari piring dengan baik. Besoknya, aku tak mau lagi kembali ke tempat tari tersebut.

‘kenapa gak mau menari lagi Le?’, ungkap ibu tersenyum.

‘gak mau ah bu, gak ada yang percaya sama Lea’, ungkapku polos.

Ibu memberikanku sebuah senyum dan memelukku dengan mesra. Mungkin ibu geli waktu itu melihat tingkah polaku yang kekanak-kanakan sekali.

‘yah, ibu gak maksa sih. Besok kita lihat teater deh, mau gak? Temen ibu besok ada latihan, mau gak lihat?’,

‘apa itu teater bu?’, kataku.

‘pementasan gestur suara, intonasi, pencahayaan, cerita, lakon dalam satu panggung begitu nak. Seperti drama yang penuh artistik dan nilai seni. Menari piring juga teater’, celoteh ibu.

‘besok kita datang bu? Le pengen lihat bu’, kataku antusias padahal sebenarnya aku tidak tau arti yang ibu katakan padaku.

‘iya tidurlah dulu nanti ibu dongengkan sejarahnya lahir’, kata ibu kepadaku.

Tak ada satupun yang dapat mengalahkan dongeng ibu. Dongeng ibu merupakan sebuah cerita yang penuh misteri dan kita akan menjelajah hidup dengan penuh rasa optimis.

Ibu bercerita jika kata teater atau sebenarnya drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti gerak. Kata Ibu, teater sebagai sebuah tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima sebelum masehi. Ini hasil dari temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya ‘Aeschylus’ yang hidup antara tahun 525-456 sebelum masehi. Isi ceritanya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.

Dulu teater atau drama-drama lahir bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama. Lama kelamaan upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang. Akhirnya upacara keagamaan seringkali menonjolkan penceritaan seperti drama atau teater.

Ibu lebih mendefinisikan teater sebagai seni untuk berdoa. Memohon kepada Tuhan dengan cara yang artistik, bukan hanya melalui sembahyang yang biasanya dilakukan oleh agama. Kata ibu, dalam teater doa yang dipanjatkan juga dipanjatkan semua orang. Selain kepada Tuhan kata ibu, efeknya juga mengena pada manusia secara langsung. Teater menggerakkan manusia untuk berdoa pada Tuhan. Dikabulkan atau tidak bagi ibu itu adalah tugas Tuhan, kita tak mampu memaksakan.

Besoknya ibu mengajakku ke sebuah latihan teater, kulihat semua orang sibuk latihan. Ibu memperkenalkanku pada seorang pelatih teater, namanya Om Santosa. Lebih sering dipanggil Om Santos. Kebetulan pula kepalanya yang sedikit botak plontos.

Om Santos menyambutku dengan ramah, dan memberikanku sebuah kepercayaan untuk memainkan peran seorang anak yang hilir mudik lalu lalang dalam pementasan. Aku dinisbahkan menjadi Safitri, seorang anak dari pelacur yang hidup ditempat lokalisasi. Safitri membawa boneka kemana-mana, dan hilir mudik melihat adegan dalam lokalisasi. Peranku tidak begitu banyak bicara, tapi aku lebih bermain gestur waktu itu.

Dalam lakon tersebut, aku memainkan sosok anak dengan karakter kepolosannya. Setiap latihan ibu selalu mendampingi. Sejak saat itulah sebenarnya ayah mulai marah-marah jika aku mulai menyukai teater. Entah apa alasannya. Sebelum aku berangkat training ini ayah pernah bercerita kepadaku bahwa ibu dulu pernah berpacaran dengan laki-laki yang juga seniman dari teater. Aku tersenyum kala itu, berarti kecemburuan yang selama ini melanda. Atau ayah merasa disingkirkan dari hidup ibu dan aku lantaran bukan aktor teater pula.

Hingga suatu hari pementasan, aku berharap sekali ayah menontonku. Ini pementasan perdanaku. Kala itu aku masih berusia 10 tahun. Aku gelisah menunggu ayah, ayah harus mengantar sebuah lukisan kepada langganannya malam itu juga. Tapi ayah berjanji akan datang dalam pementasan perdanaku waktu itu. Aku gelisah dengan sangat waktu itu. Bagaimanapun juga aku sangat mengingnkan ayah hadir pada pementasan perdanaku waktu ibu. Saat aku telah berganti kostum, ayah belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku mondar mandir keluar. Hingga om Santos, yang juga sebagai sutradara waktu itu, menyarankanku untuk melihat ayah dari bilik belakang yang dekat dengan parkiran. Supaya aku stay dibelakang panggung. Jika waktunya aku harus pentas, semua tidak kelabalakn mencariku. Ibu akhrinya menemaniku dibalik panggung, dan menyakinkanku ayah pasti datang melihat pementasanku.

‘mungkin ayah sedang dijalan sayang’, kata ibu menyakinkanku.

‘ayah pasti datang bu?’, kataku.

‘iya sayang, ayah pasti datang dan akan melihat pementasanmu nak’, ibu lebih menyakinkanku.

Ibu sibuk memencet tuts-tuts telepon menghubungi ponsel ayah. Aku lihat, sepertinya ibu ribut lagi dengan ayah. Suara ibu memang tidak keras, tapi raut muka ibu yang berubah menyakinkanku bahwa mereka sedang ribut. Setiap kali mereka ribut, memang tidak pernah didepanku atau hingga aku mendengar. Tapi aku selalu merasakan apa yang mereka rasakan pula. Situasi jadi tegang dan aku akhirnya harus mengalah. Aku tak pernah tahan melihat raut muka ibu yang berpura-pura sedih karena harus menutupi kebohongannya didepanku.

Aku menguatkan hati kala itu, walau aku kecewa berat. Rasanya pulang nanti aku tak mau bicara pada ayah untuk berapa lama. Waktu pementasan dimulai, aku mementaskan lakonku dengan baik. Aku dipuji banyak orang dan Om Santos memberiku sebuah buket bunga mawar warna merah. Tak kulihat ayah, entah karena pada waktu itu situasi gelap, dan aku tak dapat melihat sosok ayah.

Saat aku pulang, ayah tak ada dirumah. Aku langsung masuk kamar dan tidur. Tengah malam aku mendengar suara mobil masuk garasi. Aku berpikir itu pasti ayah baru pulang. Ingin rasanya bangun dan melabrak ayah, karena lalai dengan janjinya. Tapi aku melihat ibu gelisah disampingku. Mungkin ibu juga ingin melabrak ayah secepatnya seperti yang aku inginkan. Ibu hanya tidur dan merapatkan pelukannya padaku. Malam ini ayah tak berani masuk kamarku.

Saat pagi aku bangun, dan menuju kamar mandi, disamping meja makan aku melihat dua buah kanvas yang tertutup dengan kain putih. Aku penasaran, kenapa kanvas itu berada di ruang makan. Aku buka kain putihnya, kulihat sebuah panggung pentas dengan aku sebagai pemainnya ada digambarnya. Persis seperti kostum yang kupakai, interior panggung juga dengan detail tergambar dalam lukisan tersebut. Pencahayaannya, hingga detail kostum setiap pemain.

Lukisan satunya lagi, adalah aku dengan kostum yang kupakai semalam, sedang memegang boneka dan melebarkan tanganku. Yah, itu adalah gerakan menari yang kulakukan pada saat aku pentas jadi Safitri yang melihat adegan yang tidka pantas untuk dilihatnya. Aku begitu cantik dalam lukisan tersebut.

Aku bergegas mencari ayah, tapi ayah sudah tak ada di kamar. Aku berlari ke bengkel, tapi ayah juga tak ada di bengkel. Ibu tersenyum melihatku dan mengatakan bahwa ayah sedang ada urusan keluar. Sejak saat itu aku menyakinkan diriku bahwa inilah bakat yang aku punya. Inilah tempat yang memang untukku, tempat untukku berkarya. Walau sejak saat itu ayah tak mengizinkanku dan tetap membujukku untuk menjadi seorang model. Tapi dari lukisan itu aku yakin, ayah selalu mendukungku untuk menjadi pekerja seni dalam teater.

Aku mengakhiri ceritaku dengan tersenyum. Semua teman-teman yang lain, tak ada satupun yang mencela mendengarkan aku menceritakan mengenai sejarah pertama kali aku mulai berkenalan dengan teater. Termasuk Sarah, tak sedikitpun menyinggung apa yang sedang aku ungkapkan. Ini sejarah terpanjang diantara kawan-kawan yang menceritakan mengenai sejarah berkenalan dengan teater.

‘ceritanya indah, seindah orangnya. Pantasan saja Lea keren, keluarganya juga keren’, celoteh Andi setelah aku bercerita.

‘Aplause dulu buat Lea’, ungkap Pak Saleh, fasilitator kami yang notabene adalah maestro penulis monolog.

Semua bertepuk tangan kepadaku. Bayu menatapku dalam sekali, dan menyunggingkan sebuah senyuman yang indah untukku. Persis seperti senyum Sandi kepadaku. Kami melanjutkan acara selanjutnya sesuai dengan jadwal acara yang sudah disusun. Aku takjub sekali dengan Pak Saleh yang telah menelorkan banyak sekali karya monolog yang bagiku sangat keren dan artistik. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menceritakan pengalaman ini. Kubagi dengan orang yang belum aku kenal. (J50K 1516)

Bagian 18

Dongeng Ibu

Pagi ini diisi acara perkenalan. Masing-masing ternyata juga baru memulai dalam penulisan naskah monolog. Semua pelaku seni, dan telah mengembangkan seni teater sejak masih kuliah di daerah masing-masing. Aku yang paling bontot sepertinya dan punya pengalaman sedikit. Semuanya pernah membuat pentas teater menjadi heboh dengan karya-karya mereka.

Sungguh aku beruntung dapat kesempatan ini. Akhir-akhir ini aku sangat menyukai kegiatan tulis-menulis. Sesekali aku berpuisi dipentas mingguan komunitas seni. Sebenarnya tetap setiap minggu sih aku tampil, dari situ aku banyak belajar banyak hal. Bahwa aku tak bisa hanya tampil didepan saja jika aku mau merubah apa yang menjadi inginku.

Bagi sebagian orang mungkin anak-anak teater ini anak-anak gila. Bagiku dan bagi teman-teman disini, teater adalah kehidupan. Pentasnya, gelapnya suasana, suaranya yang menggema, bahasa langitnya, ochestra yang mengiringi, ceritanya yang menyentuh serta persiapannya yang meletihkan. Semuanya satu kompleksitas cerita yang tak habis-habisnya.

Dulu aku penrnah kepincut dengan seni tari, waktu masih kecil. Sepertinya bahagia sekali melihat orang menari dan melenggok-lenggokkan badannya diatas panggung. Berdandan cantik, dan menggunakan pakaian yang indah-indah. Dipadu dengan gerak tubuh yang memikat hati. Aku pernah merengek kepada ibu untuk ikut kelas menari waktu kecil. Aku dititipkan dikelas menari anak-anak pejabat pemerintah. Tarian pertama yang kupelajari adalah tari piring.

Karena aku masih pemula dan kecil, aku disuruh menggunakan piring plastik untuk belajar. Aku melihat beberapa anak lainnya yang sudah mahir diperbolehkan menggunakan piring dari keramik untuk belajar. Saat itu aku menangis-nangis pada ibu untuk menggunakan piring dari keramik itu juga. Karena aku pikir belajar harus totalitas, pecah berarti aku melakukan kesalahan dan harus bekerja keras agar bisa.

Pelatih dan beberapa temanku tidak memperbolehkanku untuk begitu. Aku menangis dan mengamuk-ngamuk kala itu. Ibu mengerti tabiatku yang pekerja keras dan tentu saja keras kepala ini. Ibu akhirnya memohon kepada pelatihku untuk memberiku sebuah piring keramik. Aku kegirangan, dan aku belajar tari piring dengan piring keramik. Memang aku belum fasih dengan gerakan kaki, atau terlalu gemulai, tapi aku tidak menjatuhkan piring keramik tersebut. Menarikan tari piring dengan baik. Besoknya, aku tak mau lagi kembali ke tempat tari tersebut.

‘kenapa gak mau menari lagi Le?’, ungkap ibu tersenyum.

‘gak mau ah bu, gak ada yang percaya sama Lea’, ungkapku polos.

Ibu memberikanku sebuah senyum dan memelukku dengan mesra. Mungkin ibu geli waktu itu melihat tingkah polaku yang kekanak-kanakan sekali.

‘yah, ibu gak maksa sih. Besok kita lihat teater deh, mau gak? Temen ibu besok ada latihan, mau gak lihat?’,

‘apa itu teater bu?’, kataku.

‘pementasan gestur suara, intonasi, pencahayaan, cerita, lakon dalam satu panggung begitu nak. Seperti drama yang penuh artistik dan nilai seni. Menari piring juga teater’, celoteh ibu.

‘besok kita datang bu? Le pengen lihat bu’, kataku antusias padahal sebenarnya aku tidak tau arti yang ibu katakan padaku.

‘iya tidurlah dulu nanti ibu dongengkan sejarahnya lahir’, kata ibu kepadaku.

Tak ada satupun yang dapat mengalahkan dongeng ibu. Dongeng ibu merupakan sebuah cerita yang penuh misteri dan kita akan menjelajah hidup dengan penuh rasa optimis.

Ibu bercerita jika kata teater atau sebenarnya drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti gerak. Kata Ibu, teater sebagai sebuah tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima sebelum masehi. Ini hasil dari temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya ‘Aeschylus’ yang hidup antara tahun 525-456 sebelum masehi. Isi ceritanya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.

Dulu teater atau drama-drama lahir bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama. Lama kelamaan upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang. Akhirnya upacara keagamaan seringkali menonjolkan penceritaan seperti drama atau teater.

Ibu lebih mendefinisikan teater sebagai seni untuk berdoa. Memohon kepada Tuhan dengan cara yang artistik, bukan hanya melalui sembahyang yang biasanya dilakukan oleh agama. Kata ibu, dalam teater doa yang dipanjatkan juga dipanjatkan semua orang. Selain kepada Tuhan kata ibu, efeknya juga mengena pada manusia secara langsung. Teater menggerakkan manusia untuk berdoa pada Tuhan. Dikabulkan atau tidak bagi ibu itu adalah tugas Tuhan, kita tak mampu memaksakan.

Besoknya ibu mengajakku ke sebuah latihan teater, kulihat semua orang sibuk latihan. Ibu memperkenalkanku pada seorang pelatih teater, namanya Om Santosa. Lebih sering dipanggil Om Santos. Kebetulan pula kepalanya yang sedikit botak plontos.

Om Santos menyambutku dengan ramah, dan memberikanku sebuah kepercayaan untuk memainkan peran seorang anak yang hilir mudik lalu lalang dalam pementasan. Aku dinisbahkan menjadi Safitri, seorang anak dari pelacur yang hidup ditempat lokalisasi. Safitri membawa boneka kemana-mana, dan hilir mudik melihat adegan dalam lokalisasi. Peranku tidak begitu banyak bicara, tapi aku lebih bermain gestur waktu itu.

Dalam lakon tersebut, aku memainkan sosok anak dengan karakter kepolosannya. Setiap latihan ibu selalu mendampingi. Sejak saat itulah sebenarnya ayah mulai marah-marah jika aku mulai menyukai teater. Entah apa alasannya. Sebelum aku berangkat training ini ayah pernah bercerita kepadaku bahwa ibu dulu pernah berpacaran dengan laki-laki yang juga seniman dari teater. Aku tersenyum kala itu, berarti kecemburuan yang selama ini melanda. Atau ayah merasa disingkirkan dari hidup ibu dan aku lantaran bukan aktor teater pula.

Hingga suatu hari pementasan, aku berharap sekali ayah menontonku. Ini pementasan perdanaku. Kala itu aku masih berusia 10 tahun. Aku gelisah menunggu ayah, ayah harus mengantar sebuah lukisan kepada langganannya malam itu juga. Tapi ayah berjanji akan datang dalam pementasan perdanaku waktu itu. Aku gelisah dengan sangat waktu itu. Bagaimanapun juga aku sangat mengingnkan ayah hadir pada pementasan perdanaku waktu ibu. Saat aku telah berganti kostum, ayah belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku mondar mandir keluar. Hingga om Santos, yang juga sebagai sutradara waktu itu, menyarankanku untuk melihat ayah dari bilik belakang yang dekat dengan parkiran. Supaya aku stay dibelakang panggung. Jika waktunya aku harus pentas, semua tidak kelabalakn mencariku. Ibu akhrinya menemaniku dibalik panggung, dan menyakinkanku ayah pasti datang melihat pementasanku.

‘mungkin ayah sedang dijalan sayang’, kata ibu menyakinkanku.

‘ayah pasti datang bu?’, kataku.

‘iya sayang, ayah pasti datang dan akan melihat pementasanmu nak’, ibu lebih menyakinkanku.

Ibu sibuk memencet tuts-tuts telepon menghubungi ponsel ayah. Aku lihat, sepertinya ibu ribut lagi dengan ayah. Suara ibu memang tidak keras, tapi raut muka ibu yang berubah menyakinkanku bahwa mereka sedang ribut. Setiap kali mereka ribut, memang tidak pernah didepanku atau hingga aku mendengar. Tapi aku selalu merasakan apa yang mereka rasakan pula. Situasi jadi tegang dan aku akhirnya harus mengalah. Aku tak pernah tahan melihat raut muka ibu yang berpura-pura sedih karena harus menutupi kebohongannya didepanku.

Aku menguatkan hati kala itu, walau aku kecewa berat. Rasanya pulang nanti aku tak mau bicara pada ayah untuk berapa lama. Waktu pementasan dimulai, aku mementaskan lakonku dengan baik. Aku dipuji banyak orang dan Om Santos memberiku sebuah buket bunga mawar warna merah. Tak kulihat ayah, entah karena pada waktu itu situasi gelap, dan aku tak dapat melihat sosok ayah.

Saat aku pulang, ayah tak ada dirumah. Aku langsung masuk kamar dan tidur. Tengah malam aku mendengar suara mobil masuk garasi. Aku berpikir itu pasti ayah baru pulang. Ingin rasanya bangun dan melabrak ayah, karena lalai dengan janjinya. Tapi aku melihat ibu gelisah disampingku. Mungkin ibu juga ingin melabrak ayah secepatnya seperti yang aku inginkan. Ibu hanya tidur dan merapatkan pelukannya padaku. Malam ini ayah tak berani masuk kamarku.

Saat pagi aku bangun, dan menuju kamar mandi, disamping meja makan aku melihat dua buah kanvas yang tertutup dengan kain putih. Aku penasaran, kenapa kanvas itu berada di ruang makan. Aku buka kain putihnya, kulihat sebuah panggung pentas dengan aku sebagai pemainnya ada digambarnya. Persis seperti kostum yang kupakai, interior panggung juga dengan detail tergambar dalam lukisan tersebut. Pencahayaannya, hingga detail kostum setiap pemain.

Lukisan satunya lagi, adalah aku dengan kostum yang kupakai semalam, sedang memegang boneka dan melebarkan tanganku. Yah, itu adalah gerakan menari yang kulakukan pada saat aku pentas jadi Safitri yang melihat adegan yang tidka pantas untuk dilihatnya. Aku begitu cantik dalam lukisan tersebut.

Aku bergegas mencari ayah, tapi ayah sudah tak ada di kamar. Aku berlari ke bengkel, tapi ayah juga tak ada di bengkel. Ibu tersenyum melihatku dan mengatakan bahwa ayah sedang ada urusan keluar. Sejak saat itu aku menyakinkan diriku bahwa inilah bakat yang aku punya. Inilah tempat yang memang untukku, tempat untukku berkarya. Walau sejak saat itu ayah tak mengizinkanku dan tetap membujukku untuk menjadi seorang model. Tapi dari lukisan itu aku yakin, ayah selalu mendukungku untuk menjadi pekerja seni dalam teater.

Aku mengakhiri ceritaku dengan tersenyum. Semua teman-teman yang lain, tak ada satupun yang mencela mendengarkan aku menceritakan mengenai sejarah pertama kali aku mulai berkenalan dengan teater. Termasuk Sarah, tak sedikitpun menyinggung apa yang sedang aku ungkapkan. Ini sejarah terpanjang diantara kawan-kawan yang menceritakan mengenai sejarah berkenalan dengan teater.

‘ceritanya indah, seindah orangnya. Pantasan saja Lea keren, keluarganya juga keren’, celoteh Andi setelah aku bercerita.

‘Aplause dulu buat Lea’, ungkap Pak Saleh, fasilitator kami yang notabene adalah maestro penulis monolog.

Semua bertepuk tangan kepadaku. Bayu menatapku dalam sekali, dan menyunggingkan sebuah senyuman yang indah untukku. Persis seperti senyum Sandi kepadaku. Kami melanjutkan acara selanjutnya sesuai dengan jadwal acara yang sudah disusun. Aku takjub sekali dengan Pak Saleh yang telah menelorkan banyak sekali karya monolog yang bagiku sangat keren dan artistik. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menceritakan pengalaman ini. Kubagi dengan orang yang belum aku kenal. (J50K 1516)

Bagian 18

Dongeng Ibu

Pagi ini diisi acara perkenalan. Masing-masing ternyata juga baru memulai dalam penulisan naskah monolog. Semua pelaku seni, dan telah mengembangkan seni teater sejak masih kuliah di daerah masing-masing. Aku yang paling bontot sepertinya dan punya pengalaman sedikit. Semuanya pernah membuat pentas teater menjadi heboh dengan karya-karya mereka.

Sungguh aku beruntung dapat kesempatan ini. Akhir-akhir ini aku sangat menyukai kegiatan tulis-menulis. Sesekali aku berpuisi dipentas mingguan komunitas seni. Sebenarnya tetap setiap minggu sih aku tampil, dari situ aku banyak belajar banyak hal. Bahwa aku tak bisa hanya tampil didepan saja jika aku mau merubah apa yang menjadi inginku.

Bagi sebagian orang mungkin anak-anak teater ini anak-anak gila. Bagiku dan bagi teman-teman disini, teater adalah kehidupan. Pentasnya, gelapnya suasana, suaranya yang menggema, bahasa langitnya, ochestra yang mengiringi, ceritanya yang menyentuh serta persiapannya yang meletihkan. Semuanya satu kompleksitas cerita yang tak habis-habisnya.

Dulu aku penrnah kepincut dengan seni tari, waktu masih kecil. Sepertinya bahagia sekali melihat orang menari dan melenggok-lenggokkan badannya diatas panggung. Berdandan cantik, dan menggunakan pakaian yang indah-indah. Dipadu dengan gerak tubuh yang memikat hati. Aku pernah merengek kepada ibu untuk ikut kelas menari waktu kecil. Aku dititipkan dikelas menari anak-anak pejabat pemerintah. Tarian pertama yang kupelajari adalah tari piring.

Karena aku masih pemula dan kecil, aku disuruh menggunakan piring plastik untuk belajar. Aku melihat beberapa anak lainnya yang sudah mahir diperbolehkan menggunakan piring dari keramik untuk belajar. Saat itu aku menangis-nangis pada ibu untuk menggunakan piring dari keramik itu juga. Karena aku pikir belajar harus totalitas, pecah berarti aku melakukan kesalahan dan harus bekerja keras agar bisa.

Pelatih dan beberapa temanku tidak memperbolehkanku untuk begitu. Aku menangis dan mengamuk-ngamuk kala itu. Ibu mengerti tabiatku yang pekerja keras dan tentu saja keras kepala ini. Ibu akhirnya memohon kepada pelatihku untuk memberiku sebuah piring keramik. Aku kegirangan, dan aku belajar tari piring dengan piring keramik. Memang aku belum fasih dengan gerakan kaki, atau terlalu gemulai, tapi aku tidak menjatuhkan piring keramik tersebut. Menarikan tari piring dengan baik. Besoknya, aku tak mau lagi kembali ke tempat tari tersebut.

‘kenapa gak mau menari lagi Le?’, ungkap ibu tersenyum.

‘gak mau ah bu, gak ada yang percaya sama Lea’, ungkapku polos.

Ibu memberikanku sebuah senyum dan memelukku dengan mesra. Mungkin ibu geli waktu itu melihat tingkah polaku yang kekanak-kanakan sekali.

‘yah, ibu gak maksa sih. Besok kita lihat teater deh, mau gak? Temen ibu besok ada latihan, mau gak lihat?’,

‘apa itu teater bu?’, kataku.

‘pementasan gestur suara, intonasi, pencahayaan, cerita, lakon dalam satu panggung begitu nak. Seperti drama yang penuh artistik dan nilai seni. Menari piring juga teater’, celoteh ibu.

‘besok kita datang bu? Le pengen lihat bu’, kataku antusias padahal sebenarnya aku tidak tau arti yang ibu katakan padaku.

‘iya tidurlah dulu nanti ibu dongengkan sejarahnya lahir’, kata ibu kepadaku.

Tak ada satupun yang dapat mengalahkan dongeng ibu. Dongeng ibu merupakan sebuah cerita yang penuh misteri dan kita akan menjelajah hidup dengan penuh rasa optimis.

Ibu bercerita jika kata teater atau sebenarnya drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti gerak. Kata Ibu, teater sebagai sebuah tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima sebelum masehi. Ini hasil dari temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya ‘Aeschylus’ yang hidup antara tahun 525-456 sebelum masehi. Isi ceritanya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.

Dulu teater atau drama-drama lahir bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama. Lama kelamaan upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang. Akhirnya upacara keagamaan seringkali menonjolkan penceritaan seperti drama atau teater.

Ibu lebih mendefinisikan teater sebagai seni untuk berdoa. Memohon kepada Tuhan dengan cara yang artistik, bukan hanya melalui sembahyang yang biasanya dilakukan oleh agama. Kata ibu, dalam teater doa yang dipanjatkan juga dipanjatkan semua orang. Selain kepada Tuhan kata ibu, efeknya juga mengena pada manusia secara langsung. Teater menggerakkan manusia untuk berdoa pada Tuhan. Dikabulkan atau tidak bagi ibu itu adalah tugas Tuhan, kita tak mampu memaksakan.

Besoknya ibu mengajakku ke sebuah latihan teater, kulihat semua orang sibuk latihan. Ibu memperkenalkanku pada seorang pelatih teater, namanya Om Santosa. Lebih sering dipanggil Om Santos. Kebetulan pula kepalanya yang sedikit botak plontos.

Om Santos menyambutku dengan ramah, dan memberikanku sebuah kepercayaan untuk memainkan peran seorang anak yang hilir mudik lalu lalang dalam pementasan. Aku dinisbahkan menjadi Safitri, seorang anak dari pelacur yang hidup ditempat lokalisasi. Safitri membawa boneka kemana-mana, dan hilir mudik melihat adegan dalam lokalisasi. Peranku tidak begitu banyak bicara, tapi aku lebih bermain gestur waktu itu.

Dalam lakon tersebut, aku memainkan sosok anak dengan karakter kepolosannya. Setiap latihan ibu selalu mendampingi. Sejak saat itulah sebenarnya ayah mulai marah-marah jika aku mulai menyukai teater. Entah apa alasannya. Sebelum aku berangkat training ini ayah pernah bercerita kepadaku bahwa ibu dulu pernah berpacaran dengan laki-laki yang juga seniman dari teater. Aku tersenyum kala itu, berarti kecemburuan yang selama ini melanda. Atau ayah merasa disingkirkan dari hidup ibu dan aku lantaran bukan aktor teater pula.

Hingga suatu hari pementasan, aku berharap sekali ayah menontonku. Ini pementasan perdanaku. Kala itu aku masih berusia 10 tahun. Aku gelisah menunggu ayah, ayah harus mengantar sebuah lukisan kepada langganannya malam itu juga. Tapi ayah berjanji akan datang dalam pementasan perdanaku waktu itu. Aku gelisah dengan sangat waktu itu. Bagaimanapun juga aku sangat mengingnkan ayah hadir pada pementasan perdanaku waktu ibu. Saat aku telah berganti kostum, ayah belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku mondar mandir keluar. Hingga om Santos, yang juga sebagai sutradara waktu itu, menyarankanku untuk melihat ayah dari bilik belakang yang dekat dengan parkiran. Supaya aku stay dibelakang panggung. Jika waktunya aku harus pentas, semua tidak kelabalakn mencariku. Ibu akhrinya menemaniku dibalik panggung, dan menyakinkanku ayah pasti datang melihat pementasanku.

‘mungkin ayah sedang dijalan sayang’, kata ibu menyakinkanku.

‘ayah pasti datang bu?’, kataku.

‘iya sayang, ayah pasti datang dan akan melihat pementasanmu nak’, ibu lebih menyakinkanku.

Ibu sibuk memencet tuts-tuts telepon menghubungi ponsel ayah. Aku lihat, sepertinya ibu ribut lagi dengan ayah. Suara ibu memang tidak keras, tapi raut muka ibu yang berubah menyakinkanku bahwa mereka sedang ribut. Setiap kali mereka ribut, memang tidak pernah didepanku atau hingga aku mendengar. Tapi aku selalu merasakan apa yang mereka rasakan pula. Situasi jadi tegang dan aku akhirnya harus mengalah. Aku tak pernah tahan melihat raut muka ibu yang berpura-pura sedih karena harus menutupi kebohongannya didepanku.

Aku menguatkan hati kala itu, walau aku kecewa berat. Rasanya pulang nanti aku tak mau bicara pada ayah untuk berapa lama. Waktu pementasan dimulai, aku mementaskan lakonku dengan baik. Aku dipuji banyak orang dan Om Santos memberiku sebuah buket bunga mawar warna merah. Tak kulihat ayah, entah karena pada waktu itu situasi gelap, dan aku tak dapat melihat sosok ayah.

Saat aku pulang, ayah tak ada dirumah. Aku langsung masuk kamar dan tidur. Tengah malam aku mendengar suara mobil masuk garasi. Aku berpikir itu pasti ayah baru pulang. Ingin rasanya bangun dan melabrak ayah, karena lalai dengan janjinya. Tapi aku melihat ibu gelisah disampingku. Mungkin ibu juga ingin melabrak ayah secepatnya seperti yang aku inginkan. Ibu hanya tidur dan merapatkan pelukannya padaku. Malam ini ayah tak berani masuk kamarku.

Saat pagi aku bangun, dan menuju kamar mandi, disamping meja makan aku melihat dua buah kanvas yang tertutup dengan kain putih. Aku penasaran, kenapa kanvas itu berada di ruang makan. Aku buka kain putihnya, kulihat sebuah panggung pentas dengan aku sebagai pemainnya ada digambarnya. Persis seperti kostum yang kupakai, interior panggung juga dengan detail tergambar dalam lukisan tersebut. Pencahayaannya, hingga detail kostum setiap pemain.

Lukisan satunya lagi, adalah aku dengan kostum yang kupakai semalam, sedang memegang boneka dan melebarkan tanganku. Yah, itu adalah gerakan menari yang kulakukan pada saat aku pentas jadi Safitri yang melihat adegan yang tidka pantas untuk dilihatnya. Aku begitu cantik dalam lukisan tersebut.

Aku bergegas mencari ayah, tapi ayah sudah tak ada di kamar. Aku berlari ke bengkel, tapi ayah juga tak ada di bengkel. Ibu tersenyum melihatku dan mengatakan bahwa ayah sedang ada urusan keluar. Sejak saat itu aku menyakinkan diriku bahwa inilah bakat yang aku punya. Inilah tempat yang memang untukku, tempat untukku berkarya. Walau sejak saat itu ayah tak mengizinkanku dan tetap membujukku untuk menjadi seorang model. Tapi dari lukisan itu aku yakin, ayah selalu mendukungku untuk menjadi pekerja seni dalam teater.

Aku mengakhiri ceritaku dengan tersenyum. Semua teman-teman yang lain, tak ada satupun yang mencela mendengarkan aku menceritakan mengenai sejarah pertama kali aku mulai berkenalan dengan teater. Termasuk Sarah, tak sedikitpun menyinggung apa yang sedang aku ungkapkan. Ini sejarah terpanjang diantara kawan-kawan yang menceritakan mengenai sejarah berkenalan dengan teater.

‘ceritanya indah, seindah orangnya. Pantasan saja Lea keren, keluarganya juga keren’, celoteh Andi setelah aku bercerita.

‘Aplause dulu buat Lea’, ungkap Pak Saleh, fasilitator kami yang notabene adalah maestro penulis monolog.

Semua bertepuk tangan kepadaku. Bayu menatapku dalam sekali, dan menyunggingkan sebuah senyuman yang indah untukku. Persis seperti senyum Sandi kepadaku. Kami melanjutkan acara selanjutnya sesuai dengan jadwal acara yang sudah disusun. Aku takjub sekali dengan Pak Saleh yang telah menelorkan banyak sekali karya monolog yang bagiku sangat keren dan artistik. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menceritakan pengalaman ini. Kubagi dengan orang yang belum aku kenal. (J50K 1516)

Bagian 18

Dongeng Ibu

Pagi ini diisi acara perkenalan. Masing-masing ternyata juga baru memulai dalam penulisan naskah monolog. Semua pelaku seni, dan telah mengembangkan seni teater sejak masih kuliah di daerah masing-masing. Aku yang paling bontot sepertinya dan punya pengalaman sedikit. Semuanya pernah membuat pentas teater menjadi heboh dengan karya-karya mereka.

Sungguh aku beruntung dapat kesempatan ini. Akhir-akhir ini aku sangat menyukai kegiatan tulis-menulis. Sesekali aku berpuisi dipentas mingguan komunitas seni. Sebenarnya tetap setiap minggu sih aku tampil, dari situ aku banyak belajar banyak hal. Bahwa aku tak bisa hanya tampil didepan saja jika aku mau merubah apa yang menjadi inginku.

Bagi sebagian orang mungkin anak-anak teater ini anak-anak gila. Bagiku dan bagi teman-teman disini, teater adalah kehidupan. Pentasnya, gelapnya suasana, suaranya yang menggema, bahasa langitnya, ochestra yang mengiringi, ceritanya yang menyentuh serta persiapannya yang meletihkan. Semuanya satu kompleksitas cerita yang tak habis-habisnya.

Dulu aku penrnah kepincut dengan seni tari, waktu masih kecil. Sepertinya bahagia sekali melihat orang menari dan melenggok-lenggokkan badannya diatas panggung. Berdandan cantik, dan menggunakan pakaian yang indah-indah. Dipadu dengan gerak tubuh yang memikat hati. Aku pernah merengek kepada ibu untuk ikut kelas menari waktu kecil. Aku dititipkan dikelas menari anak-anak pejabat pemerintah. Tarian pertama yang kupelajari adalah tari piring.

Karena aku masih pemula dan kecil, aku disuruh menggunakan piring plastik untuk belajar. Aku melihat beberapa anak lainnya yang sudah mahir diperbolehkan menggunakan piring dari keramik untuk belajar. Saat itu aku menangis-nangis pada ibu untuk menggunakan piring dari keramik itu juga. Karena aku pikir belajar harus totalitas, pecah berarti aku melakukan kesalahan dan harus bekerja keras agar bisa.

Pelatih dan beberapa temanku tidak memperbolehkanku untuk begitu. Aku menangis dan mengamuk-ngamuk kala itu. Ibu mengerti tabiatku yang pekerja keras dan tentu saja keras kepala ini. Ibu akhirnya memohon kepada pelatihku untuk memberiku sebuah piring keramik. Aku kegirangan, dan aku belajar tari piring dengan piring keramik. Memang aku belum fasih dengan gerakan kaki, atau terlalu gemulai, tapi aku tidak menjatuhkan piring keramik tersebut. Menarikan tari piring dengan baik. Besoknya, aku tak mau lagi kembali ke tempat tari tersebut.

‘kenapa gak mau menari lagi Le?’, ungkap ibu tersenyum.

‘gak mau ah bu, gak ada yang percaya sama Lea’, ungkapku polos.

Ibu memberikanku sebuah senyum dan memelukku dengan mesra. Mungkin ibu geli waktu itu melihat tingkah polaku yang kekanak-kanakan sekali.

‘yah, ibu gak maksa sih. Besok kita lihat teater deh, mau gak? Temen ibu besok ada latihan, mau gak lihat?’,

‘apa itu teater bu?’, kataku.

‘pementasan gestur suara, intonasi, pencahayaan, cerita, lakon dalam satu panggung begitu nak. Seperti drama yang penuh artistik dan nilai seni. Menari piring juga teater’, celoteh ibu.

‘besok kita datang bu? Le pengen lihat bu’, kataku antusias padahal sebenarnya aku tidak tau arti yang ibu katakan padaku.

‘iya tidurlah dulu nanti ibu dongengkan sejarahnya lahir’, kata ibu kepadaku.

Tak ada satupun yang dapat mengalahkan dongeng ibu. Dongeng ibu merupakan sebuah cerita yang penuh misteri dan kita akan menjelajah hidup dengan penuh rasa optimis.

Ibu bercerita jika kata teater atau sebenarnya drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti gerak. Kata Ibu, teater sebagai sebuah tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima sebelum masehi. Ini hasil dari temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya ‘Aeschylus’ yang hidup antara tahun 525-456 sebelum masehi. Isi ceritanya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.

Dulu teater atau drama-drama lahir bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama. Lama kelamaan upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang. Akhirnya upacara keagamaan seringkali menonjolkan penceritaan seperti drama atau teater.

Ibu lebih mendefinisikan teater sebagai seni untuk berdoa. Memohon kepada Tuhan dengan cara yang artistik, bukan hanya melalui sembahyang yang biasanya dilakukan oleh agama. Kata ibu, dalam teater doa yang dipanjatkan juga dipanjatkan semua orang. Selain kepada Tuhan kata ibu, efeknya juga mengena pada manusia secara langsung. Teater menggerakkan manusia untuk berdoa pada Tuhan. Dikabulkan atau tidak bagi ibu itu adalah tugas Tuhan, kita tak mampu memaksakan.

Besoknya ibu mengajakku ke sebuah latihan teater, kulihat semua orang sibuk latihan. Ibu memperkenalkanku pada seorang pelatih teater, namanya Om Santosa. Lebih sering dipanggil Om Santos. Kebetulan pula kepalanya yang sedikit botak plontos.

Om Santos menyambutku dengan ramah, dan memberikanku sebuah kepercayaan untuk memainkan peran seorang anak yang hilir mudik lalu lalang dalam pementasan. Aku dinisbahkan menjadi Safitri, seorang anak dari pelacur yang hidup ditempat lokalisasi. Safitri membawa boneka kemana-mana, dan hilir mudik melihat adegan dalam lokalisasi. Peranku tidak begitu banyak bicara, tapi aku lebih bermain gestur waktu itu.

Dalam lakon tersebut, aku memainkan sosok anak dengan karakter kepolosannya. Setiap latihan ibu selalu mendampingi. Sejak saat itulah sebenarnya ayah mulai marah-marah jika aku mulai menyukai teater. Entah apa alasannya. Sebelum aku berangkat training ini ayah pernah bercerita kepadaku bahwa ibu dulu pernah berpacaran dengan laki-laki yang juga seniman dari teater. Aku tersenyum kala itu, berarti kecemburuan yang selama ini melanda. Atau ayah merasa disingkirkan dari hidup ibu dan aku lantaran bukan aktor teater pula.

Hingga suatu hari pementasan, aku berharap sekali ayah menontonku. Ini pementasan perdanaku. Kala itu aku masih berusia 10 tahun. Aku gelisah menunggu ayah, ayah harus mengantar sebuah lukisan kepada langganannya malam itu juga. Tapi ayah berjanji akan datang dalam pementasan perdanaku waktu itu. Aku gelisah dengan sangat waktu itu. Bagaimanapun juga aku sangat mengingnkan ayah hadir pada pementasan perdanaku waktu ibu. Saat aku telah berganti kostum, ayah belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku mondar mandir keluar. Hingga om Santos, yang juga sebagai sutradara waktu itu, menyarankanku untuk melihat ayah dari bilik belakang yang dekat dengan parkiran. Supaya aku stay dibelakang panggung. Jika waktunya aku harus pentas, semua tidak kelabalakn mencariku. Ibu akhrinya menemaniku dibalik panggung, dan menyakinkanku ayah pasti datang melihat pementasanku.

‘mungkin ayah sedang dijalan sayang’, kata ibu menyakinkanku.

‘ayah pasti datang bu?’, kataku.

‘iya sayang, ayah pasti datang dan akan melihat pementasanmu nak’, ibu lebih menyakinkanku.

Ibu sibuk memencet tuts-tuts telepon menghubungi ponsel ayah. Aku lihat, sepertinya ibu ribut lagi dengan ayah. Suara ibu memang tidak keras, tapi raut muka ibu yang berubah menyakinkanku bahwa mereka sedang ribut. Setiap kali mereka ribut, memang tidak pernah didepanku atau hingga aku mendengar. Tapi aku selalu merasakan apa yang mereka rasakan pula. Situasi jadi tegang dan aku akhirnya harus mengalah. Aku tak pernah tahan melihat raut muka ibu yang berpura-pura sedih karena harus menutupi kebohongannya didepanku.

Aku menguatkan hati kala itu, walau aku kecewa berat. Rasanya pulang nanti aku tak mau bicara pada ayah untuk berapa lama. Waktu pementasan dimulai, aku mementaskan lakonku dengan baik. Aku dipuji banyak orang dan Om Santos memberiku sebuah buket bunga mawar warna merah. Tak kulihat ayah, entah karena pada waktu itu situasi gelap, dan aku tak dapat melihat sosok ayah.

Saat aku pulang, ayah tak ada dirumah. Aku langsung masuk kamar dan tidur. Tengah malam aku mendengar suara mobil masuk garasi. Aku berpikir itu pasti ayah baru pulang. Ingin rasanya bangun dan melabrak ayah, karena lalai dengan janjinya. Tapi aku melihat ibu gelisah disampingku. Mungkin ibu juga ingin melabrak ayah secepatnya seperti yang aku inginkan. Ibu hanya tidur dan merapatkan pelukannya padaku. Malam ini ayah tak berani masuk kamarku.

Saat pagi aku bangun, dan menuju kamar mandi, disamping meja makan aku melihat dua buah kanvas yang tertutup dengan kain putih. Aku penasaran, kenapa kanvas itu berada di ruang makan. Aku buka kain putihnya, kulihat sebuah panggung pentas dengan aku sebagai pemainnya ada digambarnya. Persis seperti kostum yang kupakai, interior panggung juga dengan detail tergambar dalam lukisan tersebut. Pencahayaannya, hingga detail kostum setiap pemain.

Lukisan satunya lagi, adalah aku dengan kostum yang kupakai semalam, sedang memegang boneka dan melebarkan tanganku. Yah, itu adalah gerakan menari yang kulakukan pada saat aku pentas jadi Safitri yang melihat adegan yang tidka pantas untuk dilihatnya. Aku begitu cantik dalam lukisan tersebut.

Aku bergegas mencari ayah, tapi ayah sudah tak ada di kamar. Aku berlari ke bengkel, tapi ayah juga tak ada di bengkel. Ibu tersenyum melihatku dan mengatakan bahwa ayah sedang ada urusan keluar. Sejak saat itu aku menyakinkan diriku bahwa inilah bakat yang aku punya. Inilah tempat yang memang untukku, tempat untukku berkarya. Walau sejak saat itu ayah tak mengizinkanku dan tetap membujukku untuk menjadi seorang model. Tapi dari lukisan itu aku yakin, ayah selalu mendukungku untuk menjadi pekerja seni dalam teater.

Aku mengakhiri ceritaku dengan tersenyum. Semua teman-teman yang lain, tak ada satupun yang mencela mendengarkan aku menceritakan mengenai sejarah pertama kali aku mulai berkenalan dengan teater. Termasuk Sarah, tak sedikitpun menyinggung apa yang sedang aku ungkapkan. Ini sejarah terpanjang diantara kawan-kawan yang menceritakan mengenai sejarah berkenalan dengan teater.

‘ceritanya indah, seindah orangnya. Pantasan saja Lea keren, keluarganya juga keren’, celoteh Andi setelah aku bercerita.

‘Aplause dulu buat Lea’, ungkap Pak Saleh, fasilitator kami yang notabene adalah maestro penulis monolog.

Semua bertepuk tangan kepadaku. Bayu menatapku dalam sekali, dan menyunggingkan sebuah senyuman yang indah untukku. Persis seperti senyum Sandi kepadaku. Kami melanjutkan acara selanjutnya sesuai dengan jadwal acara yang sudah disusun. Aku takjub sekali dengan Pak Saleh yang telah menelorkan banyak sekali karya monolog yang bagiku sangat keren dan artistik. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menceritakan pengalaman ini. Kubagi dengan orang yang belum aku kenal. (J50K 1516)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun