Sepulang dari yoga, aku melanjutkan menuliskan naskah. Beberapa naskah awal untuk pementasan teater akhirnya masih tersimpan di file dokumen. Aku membuka dokumen baru, dan menuliskan naskah monolog singkat. Aku tak tau bagaimana aku bisa tergelitik menuliskannya dalam satu hari saja. padahal beberapa hari yang lalu aku kesulitan sekali menulis. Namun, aku masih membutuhkan Rara sebagai editorku. Sebagai orang yang tau mana subjektivitas dan mana objektivitas. Kira-kira begini yang aku tuliskan.
Naskah Monolog
Perempuan dalam Angkot
Karya : Alea Nareswari
Lampu redup. Seorang perempuan muda dipinggir jalan sedang menunggu angkot yang melaju kearah rumahnya. Pada saat itu pukul sembilan malam lewat lima belas menit. Sang perempuan menggunakan setelan rok mini, pakaian resmi kerjanya. Sang perempuan merupakan seorang pramuniaga sebuah departement store. Menenteng sebuah sandal jepit dalam sebuah kantong hitam dan membawa bekal. Setelah memandang penonton, Sang Perempuan berteriak.
Saya mencintai negeri ini. Lebih dari diri saya sendiri. Saya seorang perempuan. Mana ada perempuan seperti saya yang dihargai karena mencintai negerinya sendiri. Semua arus perjuangan ini dihargai karena seseorang laki-laki dan memimpin.
Dulu saya pernah bercita-cita menjadi seorang legislator. Pernah bercita-cita sebagai eksekutor. Duduk dibangku kehormatan, menerjemahkan keinginan rakyat, mengawasi kebenaran. Tapi apa buktinya, siapa yang diterjemahkan keinginannya, kebenaran mana yang diawasinya?
MENGACUNGKAN ROK MINI
Ini rok mini toh. Katanya gara-gara ini loh. Gara-gara ini, katanya anakku, aku, ibuku, temanku, keponakanku, nenekku, iparku, mertuaku, yang menggunakan ini layak diperkosa. Mana-mana kebenaran yang diawasi?
Gara-gara ini saja, anakku harus kehilangan waktu bermainnya. Dicabik-cabik harga dirinya. Dimana, dimana negara ini? Saya mencintai negeri ini, lebih dari diri saya sendiri. Coba saya teriak begini.
KEADILAN. KEADILAN. KEADILAN HARUS DIPERJUANGKAN. AYO SERENTAK TERIAK KEADILAN, KEADILAN, KEADILAN.
Siapa yang tidak sepakat? Semua sepakat, keadilan harus diperjuangkan.
(Sang perempuan mengacungkan rok mini, aransemen musik mengalun)
SANG PEREMPUAN MENIRUKAN KOMENTAR SANG PEJABAT.
“Ya, kalau tidak mau diperkosa jangan pakai rok mini ya.”
(Sang Perempuan mengomentari apa yang diucapkan sang pejabat)
Saya bosan mendengar umpatan seperti ini. Saya aneh mendengar umpatan ini. Terdengar aneh bukan. Keadilan yang bagaimana? Saya pikir ini tidak layak. Bagaimana rok mini bisa ditukar dengan kejahatan. Atau saya yang tidak tau bahwa keadilan itu seperti apa? Karena saya seorang perempuan. Atau karena saya hanya seorang perempuan pramuniaga.
Pada suatu kali seorang perempuan muda diperkosa ramai-ramai dalam angkot. Kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang. Kaca film angkot tertutup warna hitam sehingga tidak terlihat oleh banyak orang. Pada waktu itu, sang perempuan muda ingin kembali kerumahnya, sehabis bekerja. Sang perempuan muda menggunakan rok mini, seperti punyaku ini. Tapi ternyata akhir hayatnya menyedihkan sekali. Besoknya beramai-ramai media memberitakannya.
Saya sebagai seorang perempuan memang menjadi was-was setelah kejadian itu. Betapa tidak, pertama saya setiap hari harus bolak-balik menggunakan angkutan umum untuk menuju lokasi kerja saya dengan alat transportasi yang jauh dari keamanan dan kenyamanan. Kedua karena saya perempuan. Karena saya perempuan, yang tubuh saya hanya dianggap barang kejahatan saja. Ketiga, karena pakaian saya yang dianggap tidak manusiawi ini.
Besoknya baru beramai-ramai razia dilakukan. Besoknya lagi beramai-ramai jendela kaca angkot tidak boleh gelap lagi. Besoknya beramai-ramai baru terlihat bagaimana kondisi transportasi dinegeri yang saya cintai ini. Bahkan besoknya lagi, lagi cibiran-cibiran muncul.
SANG PEREMPUAN MENIRUKAN SENTILAN PEJABAT LAINNYA.
“perempuan yang menggunakan rok mini layak diperkosa”
(Sang Perempuan menceritakan keluh kesahnya)
Glek. Bagaimana mungkin seorang pemimpin mengatakan itu kepada masyarakatnya. Apakah serendah itu perempuan dimata para pemimpin itu. Sepertinya negeri ini dipenuhi sarang-sarang pengghuni pemerkosa mungkin. Semua orang menjadi pemerkosa jika melihat rok mini. Bedebah. Para bedebah ini melukai hati rakyatnya sendiri.
Setelah diperkosa, keesokan harinya tercuat isu pengelolaan alat transportasi yang aman, nyaman dan murah untuk masyarakat. Nah, ini nih bagi saya masalahnya. Para pejabat bedebah ini tidak mampu mengatur transportasi di Indonesia. Saya rasa karena banyak sekali korupsi-korupsi dibawah dan disana sini. Dasar Para Bedebah.
Saya ini mencintai negeri ini, lebih dari diri saya sendiri. Bagaimana dengan saya, kami, nasib para perempuan-perempuan ini. Untuk keluar rumah saja, kami tidak terlalu berani. Untuk naik angkot, metromini saja kami harus terlalu was-was.
(Kemudian sang perempuan teriak ketakutan. Lampu meredup)
SUNGGUH INI BAHAYA, BAHAYA MELANDA KAMI KAUM PEREMPUAN. INI BAHAYA SANGAT LATEN. BAHAYA BAHAYA BAHAYA.
Tidak ada keadilan. Karena setelah kasus perkosaan itu tidak lagi terdengar bagaimana kelanjutan nasib kami para perempuan pengguna angkot. Bagaimana nasib anak perempuan kami jika berangkat sekolah. Saya juga was-was meninggalkan adik perempuan saya.
BAHAYA. BAHAYA. BAHAYA.
Siapa yang ingin diperkosa? Ayo tunjuk tangan. Ayo katakan, siapa yang ingin diperkosa? Taukah kamu bagaimana rasanya? Taukah kamu bagaimana sakitnya? Ketika seluruh tubuhmu digerayangi suatu hal yang tak kau ingin. Bedebah. Mengapa pula bumi ini disesaki oleh para bedebah.
Dasar Bedebah. Mungkin sang pejabat ini harus diperkosa dulu. Biar tidak korupsi, biar tau rasanya diperkosa. Biar tau rasanya sakit kelaminnya harus dipaksa ereksi. Dasar bedebah.
(suasana hening, sang perempuan keletihan dan menangis dilantai)
Adik perempuan saya diperkosa sehabis pulang dari tempat kerjanya. Itu adik saya Bedebah. Hari itu langit runtuh baginya, tak ada tawa tak ada canda. Hanya ketakutan yang merayap. Bedebah. Tau kau rasanya melihatnya? Tau kau rasanya? Dasar bedebah.Tak ada keadilan baginya. Tak ada.
(sang perempuan berdiri, masih sambil menangis)
Taukah kau apa yang dikatakan oleh para penegak hukum itu?
MENIRUKAN PERKATAAN SANG PENEGAK HUKUM.
“usia adik anda tidak dalam usia anak-anak lagi. Jadi harus menggunakan KUHP, tidak bisa hukuman minimal mbak.”
(Sang perempuan teriak dan bicara emosi dalam memangis)
Lalu tau apa yang terjadi? Bedebah itu membayar Sang Pengacara, Sang Jaksa, Sang Hakim. Sedangkan kami? Apa yang kami punya? Jaksa yang sudah dibayar oleh negara, tapi masih dibayar lagi dengan recehan sampah. Hanya satu setengah tahun penjara. Ya, hanya satu setengah tahun penjara. Belum lagi remisi-remisi, belum lagi membayar Sang Sipir. Bedebah semua.
(Sang perempuan marah)
Dengan dalih adik saya menggunakan rok mini, dan memancing hukuman bagi bedebah itu dikurangi. Tau kau rasanya? Tau tidak?
Kami kembali kerumah dengan perasaan terluka. Besoknya saya mendengar ucapan orang bahwa adik saya tidak perawan lagi.
MENIRUKAN SUARA LAKI-LAKI YANG MENCEMOOH.
“Dia sudah tidak perawan lagi, menjadi aib bagi kampung ini. Dia harus cepat-cepat dikawinkan, nanti malah menggoda suami orang. Atau tidak boleh lagi tinggal disini”
Hahahahahahahahahaha........
Memang ini negeri para bedebah. Bangsat.
(Sang Perempuan menutup pertunjukannya dengan menjatuhkan tubuhnya).
Bengkulu, 18 Januari 2012
Aku menyelesaikan satu naskah monolog singkat itu. Tentunya dengan berbagai kelemahan disana sini. Aku telpon Rara dan mengajaknya ngegosip di kedai kopi biasa. Kudengar suaranya ngos-ngosan seperti sedang bercinta. Aku tersenyum, sepertinya sore ini Rara sedang menikmati lingerie baru lagi. (J50K 1057)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H