Maksudnya, nanti piring saya yang isinya lauk misalnya, digeser terus memutar. Yang mau ambil tinggal ambil. Itu milik saya, jadi milik bersama. Gitu juga milik orang lain, jadi milik saya kalau saya kepingin. Nggak ada sungkan-sungkanan. Nggak ada rikuh sejenisnya. Wong udah biasa begini jadi sama-sama tau dan nggak perlu dikasih tau sudah tau sendiri kebiasaannya."
Mbak Novi sebagai salah satu pemudi aktif di dusun juga membenarkan hal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa tradisi Riyoyo dapat menjadi jembatan kekerabatan yang berusaha dijalin oleh setiap individu dalam masyarakat agar tercipta guyub rukun dan kemakmuran di tengah masyarakat yang majemuk.Â
Kemudian, selain sebagai penunjang kemakmuran, Riyoyo juga merupakan perekat silahturahmi. Ia mengatakan jika masyarakat dusun yang muda-muda pasti keluar dari dusun untuk mondok, mengenyam pendidikan, atau bahkan menikah dan memiliki rumah sendiri di luar desa.Â
Para orang tua dan mbah-mbah yang sudah berumur menghabiskan waktu di sawah sebagai petani dari pagi yang rata-rata jam tujuh hingga sore sebelum asar jam empatan. Hanya ketika Riyoyo mereka bisa terlihat dan terlibat percakapan antara satu sama lain.Â
Sangat berbeda seperti saat salat Idul Fitri yang khusyuk dan saat masyarakat melakukan tradisi sungkem setelah Riyoyo yang biasanya dimulai dari anggota keluarga hingga akhirnya memutari satu desa dan terus berlanjut sampai ke mana-mana. Saat itu sulit rasanya untuk berinteraksi dengan yang bukan anggota keluarga, papar Novi.
"Jelas sulit, kalau cucu saya lagi ke sebelah sama anak saya, tetangga sebelah malah lagi ke belakang sama orang tuanya. Riyoyo inilah memang saat yang tepat kalau mau bertemu yang biasanya nggak pernah bertemu atau yang sehari-hari bertemu tapi jarang tresehan." Mbah Supar juga mengutarakan hal yang serupa.
Untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang hanya ada setahun sekali ini, jalanan dusun yang diaspal digelari gelaran karpet yang diisi kerumunan dan makanan bawaan orang-orang yang hadir. Novi mengungkapkan bahwa, "Sebenernya, kalau sekali nggak hadir itu sayang banget, kebersamaannya itu loh.Â
Kalau bisa mah hadir terus supaya lebih kerasa juga lebarannya. Apalagi di dusun kami emang beda tradisinya dari tempat-tempat lain yang punya tradisi Riyoyo. Kalau daerah lain pakai kupat, kami pakai masakan-masakan yang emang mau disuguhkan nanti ke tamu, kan banyak tuh tamunya sampai setiap ada tamu etikanya ditawari sarapan ke dalem. Kalau daerah lain biasanya di masjid atau mushola, kami juga ngadain yang di jalanan sampai rela tutup akses jalan supaya bisa kumpul bareng-bareng, duduk dempet-dempetan ngobrolin semuanya sambil nyusun makanan dan nunggu saatnya makan bersama."
Nah, setelah mereka duduk bersebelahan, kemudian menyusun makanan di tengah-tengah gelaran karpet itulah masyarakat memanjatkan doa kepada Allah SWT sambil dipimpin oleh seorang perwakilan dari kubu bapak-bapak. RT 3 sendiri dipimpin oleh Pak Mujinah selaku Bapak RT sekaligus imam masjid ketika tarawih. Setelah prosesi doa selesai, mereka bebas untuk menghabiskan makanan yang telah tersaji di depan mata.