Mohon tunggu...
Angger Christina
Angger Christina Mohon Tunggu... Pengusaha -

Ordinary Woman with Extra Ordinary Life

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wajah

23 Maret 2015   23:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:11 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah itu masih saja muncul dalam ingatanku. Jelas, sejelas aroma wangi tubuhnya yang juga masih tercium di hidungku. Semilir sepoi angin pantai ini mengingatkanku pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Ketika hati masih bergelora dengan idealisme sebagai pejuang pergerakan perempuan. Saat semangat masih membara untuk mengibarkan seruan persamaan hak-hak perempuan.

Wanita pemilik wajah ayu itu bernama Ajeng. Seorang wanita jawa yang lemah lembut. Tutur katanya halus, sehalus kulitnya yang kuning langsat itu. Nrimo, itu kesan pertama saat aku mengenalnya dalam sebuah seminar perempuan di sebuah hotel di tepi pantai di ujung selatan kota Jogja.

Siapa sangka, kalau malam itu menjadi malam pertama dan terakhir aku bertemu dengannya. Setelah sessi terakhir malam itu, dia mengajakku duduk di tepi pantai itu. Dibawah temaram cahaya rembulan, kami bercerita. Wajahnya terlihat makin ayu dibelai cahaya rembulan malam itu. Dia bercerita banyak hal tentang pahitnya masa lalu yang dia jalani. Kehidupan yang memaksa dia harus mengambil sebuah keputusan untuk menggugat cerai suaminya. Suami yang tidak pernah mencintai dan dicintainya. Sesekali tersungging senyuman getir di sudut bibirnya, namun matanya masih tetap memandang jauh ke laut, ke deburan ombak yang bergulung dan pecah di bibir pantai.

Mataku tak pernah lepas menatap wajah ayunya. Aku cuma bisa berpikir, lelaki macam apa suaminya ini sampai-sampai tidak bisa mencintai wanita seayu dan selembut ini. Wajah wanita itu berubah menjadi sayu, sedih. Dia bercerita tentang bagaimana dia harus menikah dengan lelaki itu dulu. Semua demi orang tuanya yang mulai resah karena takut anak perempuannya menjadi perawan tua di desanya. Demi sang ibu yang mendadak menjadi sakit-sakitan, akhirnya dia menerima perjodohan itu. Menikah dengan seorang pejabat pemerintahan yang kaya raya. Tahun demi tahun berlalu setelah dia memutuskan untuk menikah dengan lelaki itu baru dia sadar kalau ternyata dia menikahi seorang temperamental. Sifat nrimonya sebagai seorang wanita ternyata sudah sampai pada ambang batas. Dia menahan diri untuk tidak berontak, sampai pada suatu saat dalam sebuah pertengkaran besar yang terjadi dengan suaminya, wajah ayunya nyaris hancur karena dengan kasar dihantamkan ke tembok oleh suaminya.

Ngeri, mendengar ceritanya saja aku sudah bergidig. Entah berapa banyak lagi kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, sampai akhirnya wanita ayu ini memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. Mengingat suaminya adalah orang yang sangat mempunyai pengaruh, dia meminta shelter kepada LSM pembela perempuan. Dan selama proses perceraian dan kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya, wanita ayu ini akan tinggal dalam shelter untuk perlindungan korban dan saksi.

Aku melihat bulir air mata meleleh dari sudut mata indahnya. Mata yang sedari tadi hanya menatap jauh ke lautan di hadapan kami, ke deburan obak yang bergulung dan pecah di bibir pantai. Angin bertiup menyentuh kulit kami. Dingin, dan ditengah dinginnya angin malam ini, aroma wangi tubuhnya pun tercium dengan tegas. Waktu sudah tengah malam, aku mengajaknya masuk kembali ke hotel. Kami berjalan menapaki pasir pantai. Sepi di sepanjang perjalanan yang kami tempuh, dan entah dari mana datangnya sebuah pukulan keras menghantam punggung dan tengkukku. Gelap.

Pagi itu aku terbangun di sebuah kamar rumah sakit. Kepalaku terasa nyeri, perih, sakit sekali. Ibuku duduk disebelah tempat tidurku sambil memegang tanganku. Ibu bilang sudah dua hari aku tidak sadarkan diri. Aku ditemukan tergeletak di pantai dalam keadaan tak sadarkan diri dengan kepala belakang yang bocor akibat pukulan benda keras. Aku teringat Ajeng.

“Temenku bu? Ajeng? Bagaimana keadaannya?” Tanyaku cemas.

“Yang tabah ya nduk... Ajeng tidak tertolong. Dia sudah meninggal saat kalian ditemukan.”

Ya Tuhan, setega itukah? Wajah seayu itu harus menanggung semua ini. Menderita selama pernikahannya dan harus meninggal karena pembunuhan berencana yang sudah diatur mantan suaminya demi sebuah dendam.

Ah...ini sudah tahun ke sepuluh, dan aku masih sangat jelas mengingat wajah itu. Wajah ayu yang semakin indah diterpa jutaan cahaya rembulan malam itu. Wajah ayu yang ternyata hanya bisa kunikmati keindahannya malam itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun