Mohon tunggu...
angger woro
angger woro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Bola

Hancurnya Mimpi-mimpi Anak Bangsa

24 November 2015   20:09 Diperbarui: 25 November 2015   06:56 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakbola Indonesia telah membunuh impianku dan anak-anak lain di negeri ini.

Beberapa waktu yang lalu, saya menyempatkan diri membaca buku Soccer Modern Tactics karya Alessandro Zuali. Buku setebal 140 halaman yang membahas tentang bagaimana taktik sepakbola modern menurut Alessandro Zuali dan 10 pelatih besar Italia. Pada pembahasan awal di buku tersebut saya menemukan satu hal  menarik. Sebuah pertanyaan Zuali kepada salah satu pelatih terbaik di Italia Marcello Lippi, Yang kemudian mengingatkan masa-masa saat saya menimba ilmu sepakbola beberapa tahun yang lalu. 

“apa yang anda harapankan dari tim anda ketika sedang melakukan penyerangan?,”  tanya Alessandro Zuali.

Sebenarnya, Saya berharap jawaban taktikal akan dilontarkan pelatih berumur 67 tahun ini, mengingat tujuan awal saya ialah menambah pengetahuan taktikal dari buku tersebut. Tetapi, hal itu tidak terjadi pada jawaban Lippi.

“Semuanya tergantung pada karakter penyerangku. Saya rasa penting berbicara tentang ini. Memang benar, saya memberikan tim suatu intruksi untuk melakukan penyerangan. Tapi saya tidak berharap pemainku sepenuhnya mengikuti arahanku selama permainan. Ketika kamu melatih pemain seperti Zidane, Del Piero, Vieri dll. Kamu tidak dapat membuat mereka berfikir bahwa gol, hanya akan datang dari apa yang  pelatih inginkan,” Jawab Marcello Lippi.

Memang suatu hal yang wajar, apabila seorang Zinedine Zidane tidak membutuhkan arahan yang begitu detail tentang bagaimana skema permainan yang akan diterapkan pelatih. Tapi, hal ini menjadi sebuah kejanggalan ketika treatment dari Marcello Lippi diterapkan pada anak-anak berusia belasan tahun yang bahkan menendang bola saja tak tepat sasaran. Perlakuan yang kurang tepat ini saya alami selama 10 tahun menjadi murid sekolah sepakbola di daerah Bantul Yogyakarta. Salah satu SSB yang terbaik di provinsi DIY menurut saya, SSB yang tak pernah absen menjadi juara kompetisi lokal di berbagai kelompok usia, dan selalu mengirimkan murid kebanggaan untuk ikur serta pada turnamen bertaraf nasional seperti Popnas maupun Piala Suratin.

Sudah menjadi impian saya sedari kecil untuk bisa bermain sepakbola layaknya David Beckham. Ya, meskipun kostum andalan yang sering saya kenakan ketika bermain sepakbola ialah jersey legenda AC Milan Zvonimir Boban. Sedikit terlihat Absurd memang, seorang anak penggila David Beckham tapi tak punya  jersey mantan pemain Manchester United tersebut.

Tentu kita sering mendengar, seorang bijak yang mengatakan gapailah impianmu dengan usaha keras disertai doa. Ungkapan itu benar-benar saya pegang teguh sedari kecil, perjuangan bermula sejak saya duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Tiada hari tanpa sepakbola, bermain ataupun membicarakan sepakbola selalu menjadi rutinitas pada masa itu. Lingkungan di mana tempat saya tinggal memang sangat kental dengan budaya sepakbola, betapa tidak, jika lapangan sepakbola hanya berjarak beberapa jengkal dari rumah, masyarakat sekitar pun begitu gemar memainkan olahraga yang sudah membesarkan nama Cristiano Ronaldo ini. Setiap sore banyak orang berbondong-bondong datang ke lapangan dari mulai anak-anak hingga para orang tua. Pria dewasa bermain bola penuh satu lapangan sedangkan anak-anak memanfaat sepetak tanah di tepi garis lapangan yang masih cukup untuk didirikan gawang dari ranting pohong yang ditancapkan ke tanah.

Jika musim kemarau tiba, saya dan teman-teman bisa memanfaatkan tanah kosong bekas ladang jagung dan ketela pohon yang terletak di dekat lapangan, lahan kosong tak terpakai karena mayoritas petani di sana mengandalkan air hujan untuk menyirami tanaman mereka. Kami mendirikan gawang semi permanen, di tanah merah tak berumput itu, gawang terbuat dari bambu, yang akan dibongkar oleh pemilik tanah jika sudah memasuki musim penghujan. Tergambar jelas keceriaan anak-anak usia belasan tahun di sana. Berlari tanpa alas kaki, menendang bola, dan menangis karena pertikaian sudah menjadi hal yang lumrah kami alami.

Pada usia 9 tahun, saya lolos seleksi untuk bergabung di sekolah sepakbola Persiba. Teman baru, semangat yang lebih menggebu-gebu. Tak tampak lagi kaki-kaki telanjang berlarian disini. Tak tampak juga, David Beckham pakai jersey Boban di lapangan dengan rumput lebat seperti ini, yang terlihat ialah seorang bocah dengan langkah tegap, mengenakan kostum orange berlambang kuda jingkrak di dadanya, dan punggung tak bernomer, bertuliskan SSB Persiba. Semangat kejayaan sepakbola Indonesia, tergambar jelas memalui langkah-langkah kecil dari kaki sekumpulan bocah-bocah penggila sepakbola.

Tidak ada jalan pintas bagi sebuah negara untuk menjadi kuat di dunia sepakbola, dan itu harus dimulai dari pembinaan sepakbola usia dini. Kita tidak sedang bermain sepakbola jalanan, apa yang kita lakukan pada saat itu berdasarkan arahan pelatih. Saya merasa mendapatkan pelatihan yang baik perihal teknik dasar sepakbola. dengan menggunakan ukuran bola yang lebih kecil dari ukuran bola dewasa, pelatih memfokuskan tentang penguasaan bola sebagai latihan dasar. Menarik bola dengan telapak kaki, kemudian merubah arah ke kanan ataupun ke kiri, mendapat porsi lebih yang saya santap dengan teman-teman di setiap minggunya. Belakangan ini saya tahu dari beberapa literasi sepakbola, tujuan latihan ini untuk membentuk mental pemain belia, agar mampu  mempertahankan bola  semaksimal mungkin. Hal ini, menjadi modal utama sebelum anak-anak belajar mengumpan dan melakukan tembakan.

Keresahan saya mulai muncul saat usia menginjak umur 16 tahun, usia di mana para murid sudah harus menggunakan satu lapangan penuh, bukan setengah lapangan lagi. Porsi teknik yang diberikan tak seimbang dengan porsi taktikal, penjelasan taktikal sangat minim, bahkan jarang kami peroleh, saat latihan maupun dalam sebuah pertandingan. kami diperlakukan seperti Zinedine Zidane di usia yang masih muda. Jarang sekali kami, meperagakan skema pressing dengan blok pertahanan tinggi ataupun rendah, kita juga tidak dijelaskan bagaimana peran-peran pemain pada tiap-tiap posisi. Jangankan belajar counter Pressing ataupun pressing trap persoalan kompaksi permainan saja masih kacau balau. Seorang Zidane pun tak akan menjadi bintang besar jika masa remajanya hanya dihabiskan dengan latihan teknik.

Pantas saja jika Timnas Indonesia sangat sulit berprestasi, pembekalan sepakbola yang mereka dapatkan sangat minim. Pada tingkat Asia Tenggara saja, Timnas Garuda tak bisa berbuat banyak saat melawan negara-negara yang memiliki kemampuan teknik yang sebanding. Skuad Garuda hanya bisa mendominasi jika mendapat lawan macam Timor Leste yang teknik pemainnya jauh di bawah pemain Indonesia.  

Apa yang saya dapatkan, selama 10 tahun di sekolah sepakbola adalah sebuah gambaran buruknya sistem pembinaan pemain usia muda di Indonesia. SSB persiba, merupakan sekolah sepakbola yang resmi dibawah naungan PSSI. Sudah menjadi sebuah kewajiban PSSI untuk mengontrol kinerja pengurus cabangnya dalam mendidik para pemain belia. Dan, menjadi sebuah tanggung jawab bagi PSSI untuk memastikan metode pelatihan pemain-pemain mudanya berada pada lintasan yang benar.

Saya tidak sepenuhnya menyalahkan sistem pembinaan sepakbola usia muda di Indonesia. Tapi yang pasti, sistem ini sedikit banyak punya andil dalam menggagalkan perjuangan dan mimpi saya untuk menjadi pemain besar. Mungkin, juga mimpi anak-anak lain di negeri ini.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun