Seorang teman yang bekerja di Asian Development Bank pernah menggunakan jasa “taksi online”, alasannya sih sepele karena teman-teman sekantornya memakai jasa taksi online tersebut. Saat turun, ia pun lupa membawa laptop yang berisi update data makro ekonomi Indonesia terbaru. Sementara ia kebingungan berhubungan dengan operator penyedia taksi online meski ada track record order pemesanan taksinya. Wal hasil, ia pun “ampun” memakai jasa taksi online tersebut.
Inilah yang membuat konsumen angkutan kita mempunya ragam pilihan / preferensi. Boleh lah bagi para pembaca yang mau skripsi untuk menganalis persaingan ini. Karena teori utilitas, pendekatan kurva indeference perlu digunakan untuk melihat fenomena ini. Ini yang nantinya akan membantu pemerintah mengatur kebijakan moda transportasi yang ada di Indonesia tercinta ini.
Jika kita mau jalan-jalan di kota-kota besar tanpa ada deadline kerja, cuma mau nge-mall dan hang out ngapain berpanas-panas ria naik ojek. Bagi sopir taksi, mungkin mereka kehilangan beberapa konsumen yang butuh kecepatan tapi dia pergi sendirian. Apakah sopir taksi itu menerima penumpang sendirian tiap hari? Tidak kan? Apa semua penduduk di kota besar menginstall aplikasi Ojek Online? Apa seorang Syahrini dan Cinta Laura mau muka nya terkena debu karena naik ojek???
Sama-sama nyari nafkah bang, rejeki mah Allah yang atur. Ga usah berebut penumpang deh….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H