Akhir Maret 2016, Ratusan sopir taksi berseteru dengan tukang ojek online. Baku hantam saling pukul tak terelakan. Tak peduli sesama pencari sesuap nasi. https://www.youtube.com/watch?v=O4-ftUpMhgE
Sedikit kita alihkan cara berpikir pendek mereka. Yuk berpikir secara mikro ekonomi bagaimana melihat fenomena ini. Secara sederhana, para sopir taksi ini berpikir, lahan pendapatan halal yang mereka peroleh selama ini berkurang drastis akibat keberadaan ojek online. Konsumen yang selama ini menggunakan taksi harus menelpon dan menggunakan pulsa untuk mengorder taksi, kini mempunyai pilihan dengan menaiki ojek.
Bayangin coba, bagaimana bisa sampai tujuan di daerah kota besar seperti Jakarta dengan tepat waktu? Apa harus dengan naik taksi jika kita hanya sendiri? Rasanya tak mungkin. Mungkin ojeklah jadi pilihan transportasi terakhir. Kalau dulu kita harus ke pangkalan untuk mencari ojek, kini pun lebih mudah tanpa menelpon seperti memesan taksi. Cukup menyapu layar gadget anda, membuat sebuah order pemesanan ojek. Tinggal tunggu, dan “berangkaaattt !!”.
Bukan serta merta, posisi ojek online ini bisa menggantikan posisi angkutan taksi atau angkutan umum lainnya. Gampangnya, kalau sedang hujan deras-derasnya, atau bahkan kita tidak terlalu memungkinkan untuk berboncengan dengan roda dua, apakah masih memaksa menggunakan layanan ojek online ini?. Bukan hanya ojek yang “online“-kan, tapi kini sudah merambah taksi online. Nah, makin jadi deh geramnya sopir taksi.
Saya pun membaca status sosial media seorang teman kuliah yang kini sedang melanjutkan studi Ph.D di negeri Bavaria. Dalam statusnya ia menuliskan bahwa kasus ini sebenarnya hanya sebuah preferensi konsumen. Oke, kita buka kembali buku pengatar ilmu ekonomi kita tentang preferensi konsumen. Preferensi konsumen bisa diartikan kesukaan, pilihan atau sesuatu hal yang lebih disukai konsumen. Persepsi konsumen inilah yang pada ujungnya membentuk preferensi.
Preferensi konsumen itu bersifat independen terhadap pendapatan dan harga, ini berarti entah seseorang mau bergaji berapa atau berapapun harga angkutan umum, konsumen berhak memilih. Pendapatan seseorang tidak menentukan apa dia menyukai naik ojek, naik taksi, atau taksi online bahkan menyewa jet pribadi layaknya Syahrini. Terkadang seseorang dapat memiliki preferensi untuk produk “Taksi” lebih dari produk “Ojek Online” maupun “Taksi Online”, tetapi ternyata sarana keuangannya hanya cukup untuk membeli produk “Ojek / Taksi Online” saja.
Menurut Nicholson (Microeconomics Theory: Basic Principles and Extensions, 1989), hubungan preferensi konsumen diasumsikan memiliki tiga sifat dasar, antara lain:
a. Kelengkapan (Completeness)
Jika Taksi dan Ojek merupakan dua kondisi/situasi, maka tiap orang selalu harus bisa melakukan spesifikasi apakah Taksi lebih disukai daripada Ojek, Ojek lebih disukai daripada Taksi, atau Taksi dan Ojek sama-sama disukai. Dengan dasar ini tiap orang diasumsikan tidak pernah ragu dalam menentukan pilihan, sebab mereka tahu mana yang baik dan mana yang buruk, dan dengan demikian selalu bisa menjatuhkan pilihan diantara dua alternatif.
b. Transitivitas (Transitivity)
Jika seseorang mengatakan ia lebih menyukai Taksi daripada Ojek, dan lebih menyukai Taksi daripada Angkot, maka ia harus lebih menyukai Taksi daripada Angkot. Dengan demikian seseorang tidak bisa mengartikulasikan preferensinya yang saling bertentangan.
c. Kontinuitas (Continuity)
Jika seseorang mengatakan ia lebih menyukai Taksi daripada Ojek, ini berarti segala kondisi di bawah Taksi tersebut disukai daripada kondisi di bawah pilihan Ojek.
Menurut Jeremy Bentham dalam buku tersebut mengatakan bahwa barang atau jasa yang lebih diminati menyuguhkan kepuasan yang lebih besar daripada barang atau jasa yang kurang diminati. Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan sehingga mereka para konsumen puas. So, kepuasan yang diterima tidak hanya ditentukan oleh bentuk atau jenis angkutan tersebut, tetapi juga oleh sikap psikologis (phsycological attitudes), tekanan kelompok (group pressures), pengalaman pribadi dan lingkungan.