Mohon tunggu...
Angga Yuda Pradana
Angga Yuda Pradana Mohon Tunggu... pegawai negeri -

belajar memahami hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kurang Dewasanya Onliner dalam Menyikapi Dinamika Politik

16 Mei 2014   07:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 9 Juli 2014 nanti. Pergerakan politik yang kiat dinamis menjelang pilpres tersebut kian terlihat. Lobi-lobi partai politik untuk menentukan arah koalisi mendukung salah satu capres terus dilakukan. Gerakan politik para elit tersebut secara massif diberitakan melalui media televisi maupun online. Menjadi suguhan yang menarik ketika semua tingkah polah mereka selalu menjadi bahan diskusi sampai dengan bahan celaan atau umpatan.

Jika sebagai bahan diskusi ilmiah yang membahas tentang pergerakan politik yang dipandang dari sisi keilmuan semisal ilmu komunikasi politik maka diskusi tersebut sangat membangun dan hasilnya  bisa dijadikan bahan rujukan dalam pembelajaran di bangku kuliah untuk memberikan gambaran kecerdasan berpolitik. Namun jika yang terjadi adalah celaan atau umpatan antara masing-masing pendukung yang secara vulgar dipertontonkan di media sosial atau portal-portal media online maka menandakan kurang cerdasnya para pro dan kontra dalam menanggapi situasi politik yang terjadi di tingkat elit.

Kefanatikan yang melebihi batas membuat para pendukung salah satu capres tidak lagi bisa berfikir secara rasional. Memandang kondisi yang terjadi tidak secara objektif, berat sebelah dan terlalu tendensius. Berita-berita yang disajikan dalam portal media online bila memperlihatkan hal yang tidak berkenan di hati para pendukung maka secara membabi buta dihujat dan terkadang sampai mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak pantas untuk didengar. Berbeda bila berita yang disajikan lebih memperlihatkan sisi baik dari capres yang didukungnya, maka segera dielu-elukan capres tersebut pada kolom komentar yang dapat secara bebas mereka isi.

Pertarungan antara masing-masing pendukung makin seru ketika mereka dipertemukan dalam tempat yang sama dalam satu momen berita yang sajikan dalam media online maupun dalam media sosial seperti facebook maupun twitter. Perang kata-kata antara mereka tepapar apa adanya tanpa filter sekalipun. Kebebasan mereka dalam mengeluarkan kefanatikannya maupun kebenciannya secara bebas diperlihatkan. Bagi para pembaca yang bersifat netral, artinya mereka yang tidak bersikap fanatik kepada salah satu capres, silang debat kusir yang pastinya tidak berujung itu dianggap tidak dewasanya para pro dan kontra dalam menyikapi perbedaan pandangan dalam berpolitik.

Lebih memprihatinkan lagi bila beberapa dari mereka yang memberikan komentar kita kenal dan merupakan orang yang memiliki pendidikan tinggi. Ilmu yang diperolehnya tidak bisa memberikan pemahaman yang bijak bahwa berkomentar negatif hingga mengumpat lawan bicaranya adalah perbuatan yang tidak tepuji. Umpatan yang dikatakannya bagai bumerang yang akan berbalik kepada dirinya sendiri. Pandangan orang yang mengenalnya tentu akan menjadi berbeda, dari yang melihatnya sebagai orang intelek menjadi “in telek” (telek = kotoran ayam).

Mungkinkah memang seperti ini cermin rakyat Indonesia apalagi yang berada pada level akar rumput dengan mudah tersulut emosinya bahkan di media online? Sudah hilangkah apresiasi bangsa lain yang mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah? Jika menyikapi berita yang ada mereka terima mentah-mentah tanpa melakukan tracing kepada sumber berita yang otentik dan melakukan evaluasi terlebih dahulu apakah sumber berita yang ada benar-benar orang yang secara kepribadian dan pendapat-pendapatnya selama ini dapat dipercaya. Sungguh disayangkan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi yang dalam perjalanan demokrasinya tidak melalui jalan yang mudah dengan sejarahnya yang panjang, semakin kesini semakin memperlihatkan sikap yang kekanak-kanakkan dalam memandang perbedaaan yang ada.

Seharusnya masyarakat semakin cerdas. Buanglah ego kelompok sektoral. Berfikir lebih jernih dan kalem dalam menyikapi perbedaan yang ada dalam dinamika politik. Yang dibawah jotos-jotosan yang di tingkat elit makan malam bareng sambil nyruput kopi diiringi lantunan tembang “sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan”. Nah tu yang diributin malah lagi dinner bareng layaknya kawan karib. Selayaknya kawan karib yang kadang ada berbeda pendapat tapi kalau diajak makan tetap ayok saja, apalagi dibayarin. Makanya yang dibawah ga usah gontok-gontokan. Malu-maluin aja kaya anak taman kanak-kanak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun