Mohon tunggu...
Angga Siswanto
Angga Siswanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

saya orangnya simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pemuda Ayam Sayur

8 April 2015   20:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia bukan tak perduli. Ketika mendengarkan gemuruh pekik mahasiswa yang menuntut kesungguhan pemerintah dalam menghapuskan korupsi dan bersungguh-sungguh dalam mengantasi penderitaan rakyat yang disebabkan oleh ketidak menentuan perekonomian, politik dan hukum di negeri ini.
Tapi minggu lalu pemilik rumah kontrakannya mengingatkan agar dia melunasi uang kost yang sudah lebih dari satu bulan tertunda.

Dikeluarkannya surat dari ibunya di kampung yang diterimanya beberapa bulan yang lalu, bahwa keadaan ekonomi di kampung sudah semakin sulit. Sementara pencurian dan perampokan semakin menjadi-jadi.
Tujuh ekor kambing milik orang tuanya yang biasanya digunakan orang tuanya untuk mengatasi keadaan darurat untuk membiayai kuliahnya pun digondol maling sekaligus. Karena itu ibunya menyarankan agar dia pulang kampong dan membatalkan niatnya untuk melanjutkan kuliah yang sudah dijalaninya selama hampir tiga tahun.

Dikeluarkannya hasil ujian kenaikan tingkat selama dua tahun berturut-turut dengan prestasi yang sangat membanggakan. Karena itu dia ingin bertahan. Betapa pun sulitnya. Dengan harapan setelah memperoleh gelar sarjana muda ia akan berusaha mencari pekerjaan. Pikirannya galau.

Sejak sebulan lalu ia terpaksa menjadi tukang parkir liar. Hasilnya hanya cukup untuk makan saja. Itu pun harus main kucing-kuncingan dengan preman tukang parker liar lainnya.
Beberapa kali ia nyaris bentrok dengan mereka. Tapi dia sengaja selalu mengalah. Bukan karena takut menghadapi mereka. Kemampuan bela dirinya yang dipelajarinya sebelum meninggalkan kampung halaman cukup mampu untuk menghabisi mereka sekalipun. Tapi dia sadar bila itu terjadi, akan tamatlah cita-cita yang sedang diperjuangkannya.

Dan sore tadi, ketika membuka pintu kosnya, sepucuk surat tergeletak dilantai. Sepertinya sengaja diselipkan dari bawah pintu. Itu surat dari Rina, kekasihnya. Isinya sangat pendek :

”Bang. Sepertinya hubungan kita tak perlu lagi dilanjutkan. Sudah hampir dua bulan ini abang gak pernah berkunjung ke rumah. Pasti abang sudah punya cewek lain.
Lagi pula sikap kita dalam menghadapi hidup ini pun sangat berbeda.
Kami bersama teman-teman sekampus sibuka membela kepentingan rakyat dengan melakukan demo setiap hari.
Abang justru tidak perduli sama sekali.
Teman-teman seperjuangan bilang abang adalah jenis ayam sayur yang tak punya nyali sama sekali.
Dan itu bukanlah tipe laki-laki yang kuharapkan sebagai pendampingku kelak. Ma’afkan aku. Rina”.

“Ya sayang. Kita lebih baik putus. Masa depanku masih tak menentu.
Dan aku pastikan, bila aku gagal dalam memperjuangkan cita-citaku, aku tak akan pernah datang melamarmu. Karena aku juga tak rela kamu menderita bersamaku kelak.
Yang pasti, kamu salah besar bila menuduhku memiliki kekasih yang lain. Apalagi menganggap aku tak perduli dengan kondisi Negara saat ini.
Aku pun sudah sangat muak dengan prilaku penguasa yang zolim dan merampok uang milik rakyat dengan melakukan korupsi bersama-sama antar lembaga.
Hatiku juga perih ketika melihat fakta betapa hukum pun dipermainkan untuk kepentingan mereka.
Jiwaku juga menjerit menyaksikan berbagai kecurangan yang mereka lakukan. Tapi aku belum bisa berbuat apa-apa. Karena permasalahan hidup yang menderaku sa’at ini”. Bisiknya dalam hati.

Pagi itu kembali ia menyusuri jalanan ibu kota.
Mencari lahan kosong untuk mengumpulkan uang sebagai tukang parkir liar lagi.
Baru mendapatkan tiga mobil, ketika dilihatnya iring-iringan mahasiswa meneriakkan yel-yel mengkritisi kebijakan pemerintah.
Dan itu adalah teman-teman sekampusnya.

Sementara dihadapan mereka sekumpulan aparat keamanan siap menghadang dengan wajah beringas.
Masyarakat berlarian menghindar.
Dia justru melakukan langkah sebaliknya.
Dia menyongsong teman-teman sekampusnya.
Lalu bergabung bersama mereka.

Tentu saja kehadirannya disambut hangat oleh teman-temannya.
Apalagi dia berdiri paling depan menghadapi aparat keamanan yang dengan bengis menghantam mereka.

Kekacauan pun tak terhindarkan.
Jerit kesakitan bersahut-sahutan diantara teriakan yel-yel dan nyanyian yang membakar semangat para mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun