Mohon tunggu...
anggar septiadi
anggar septiadi Mohon Tunggu... -

let's being an absurd

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pendidikan dan Manusia

1 Februari 2012   08:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:12 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa menjadi tunggal? Disini peran konsep hegemoni Gramsci bisa mengambil peran. Gramsci yakin bahwa tiap kelompok dominan pasti menghegemoni kelompok minor untuk terus menancapkan dominasinya. Caranya beragam, mulai dari yang represif, persuasif hingga adiktif. Dan pada tahap tertentu, karena gerilya-nya upaya hegemonik tersebut bisa menjadi sebuah kewajaran bagi kelompok minor. Semisal, adanya anggapan bahwa dengan pendidikan tinggi berkualitas, dan mahal kita akan mendapat kerja yang strategis .

Dan pada akhirnya menghasilkan logika permisif: bukan mempertanyakan kenapa biaya menjadi mahal, kenapa akses menuju pendidikan semakin runcing. Tapi lebih mengarah kepada tindakan menyelamatkan diri dalam mekanisme kapitalisme berwujud, “orang tua kerja keras banting tulang buat menyekollahkan anaknya setinggi mungkin supaya mendapat penghidupan yang lebih baik,” padahal orang tua tak seharusnya banting tulang, orang tua justru harus memperbanyak produksi anak, karena education is for all.

Terkhir adalah Paulo Freire, yang beranggapan bahwa pendidikan merupakan ajang pembebasan manusia menemukan jalur aktualisasi kemanusiannya. Dengan pendidikan, Freire ingin manusia menjadi manusia yang utuh bukan malah terkooptasi oleh kepentingan dominan. Dan untuk membongkar silang sengkarut tersebut Freire memberikan gagasan praksis tentang pendidikan. yakni berupaya mendekontruksi kepentingan dominan itu menjadi kepentingan yang manusiawi. Dalam buku-bukunya ia selalu mengingatkan bahwa pendidikan harus kontekstual., artinya ada kondisi dialektis antar diri dan lingkungan yang ia hadapi.

Manusia dituntut untuk aktif sebagai subjek dalam proses pendidikan, bukan hanya sebagai objek yang pasif, agar kondisi ketertindasan berhenti seiring munculnya manusia-manusia purna yang otonom terhadap dirinya sendiri. Dan dalam upaya, transformasi struktur sosial tersebut Freire juga menyarankan agar manusia berserikat di luar medan pendidikan demi mengkonsesuskan kepentingan-kepentingan kemanusiaannya.

Penulis bersama tiga pemikiran tersebut percaya, dalam upaya menuju tatanan sosial yang bermartabat dan manusiawi, pendidikan kritis bisa jadi salah satu jawaban konkret. Karena semua bertumpu pada aktifitas manusia yang semestinya menjadi subjek yang aktif memberi makna dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun