Malamnya di televisi, dalam sebuah siaran berita, seorang reporter cantik dengan raut kuyu dan prihatin mengabarkan duka langsung dari lokasi, "Hujan deras tadi siang menenggelamkan sebuah pemukiman kumuh di bantaran sungai musi. Hingga sampai saat ini kami belum dapat mengetahui berapa jumlah kerugian yang diderita warga."
Reporter cantik itu menarik satu nafas sebentar, kemudian melanjutkan laporannya dengan syahdu. "Tadi kami mendapat informasi bahwa pemerintah kota setempat, paling lambat esok pagi, akan menurunkan beberapa tim untuk membantu evakuasi war--"
Hening.
Seseorang mematikan televisi.
Di luar mendung, hujan masih turun rintik-rintik. Ia berbaring nyaman di atas kursi malas yang berkilau setelah menandaskan sebungkus mie kuah instan yang diberi potongan-potongan sosis. "Dingin selalu bikin perut jadi lapar", gumamnya pada diri sendiri sambil mengelus perutnya yang digelantungi lemak.
Perutnya masih lapar. Buru-buru ia beranjak dari kursi kulit made in Italy itu menuju dapur. Semua orang sedang pergi. Tak ada yang bisa diandalkan untuk membuatkan makanan hangat untuk dirinya.
Belum seberapa jauh melangkah, tiba-tiba handphonenya berdering. Sungkan-sungkanan, diraihnya. Ia menekan tombol loudspeaker.
Diseberang sana.
"Pak, tiga pemukiman kumuh porak poranda terseret banjir. Kita harus melakukan tindakan segera. Kalau tidak, akan berbahaya buat posisi bapak."
"Ya sudah, terserah kamu saja"
"Oke pak, tapi besok bapak siap untuk konferensi pers?"
"Bisa. Dimana?"
"Di lokasi banjir"
Setengah hatinya menolak. Demi jabatan ia menyanggupi.
Tak ada lagi percakapan.
Tiba-tiba laparnya hilang. Direbahkannya pantat di kursi mahal itu. Diraihnya remote yang tergeletak disebelahnya. TV menyala, menyiarkan peristiwa banjir, tapi tak lama. Saluran berganti film Hollywood.
Ia bergumam sendiri, "Untung punya TV berlangganan"