Ia dan suaminya mengenal tamu mereka ini. Lantaran berita yang orang itu bawa membuat kesopanan kedua suami-istri itu menghilang hingga lupa menawakan minum pada tamu mereka yang sedang berdiri dengan tegang seolah lupa cara duduk.
Serta-merta perempuan itu merasakan keterasingan—dirinya merasa tak berkepemilikan atas bumi yang ia pijak, dengan teras rumahnya sendiri, dengan aroma kayu yang melapuk, dengan harum kenanga, pada melati yang diletak di dalam pot di ujung halaman rumah mereka yang tiap hari kemarin ia siram dan rawat. Pada apa saja, lebih-lebih lagi pada negaranya.
“Mereka tidak lagi menjaga negara”, ujar suaminya waktu mereka duduk di teras yang sama ini pada waktu dan petang yang berbeda, “ melainkan adalah segerombolan kepanjangan tangan negara yang memihak pengusaha rakus dan kaya. Dan, kita, Rakyat kecil adalah turis atas semesta uang yang mereka jaga”
Suaminya menoleh pada perempuan itu, matanya nyalang menahankan amarah. Laki-laki itu mengulangi kabar yang tamu mereka barusan sampaikan ketika perempuan itu masih berada di dalam rumah tatkala ia seharusnya melanjutkan menjahit dengan tenang, mengembalikan kancing kemeja kuning milik sang suami yang tanggal serta sekaligus memasak sedandang air minum mereka untuk dua hari nanti.
Laki-laki itu setengah berteriak ketika meneruskan kabar itu pada dirinya yang mulai merasakan takut sekaligus keterasingan, “Ini saatnya mengayunkan arit, hutan yang agung baru saja dilucuti oleh mesin-mesin berisik dan berukuran raksasa!! Mereka hendak pula menggusur ladang kita!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H