[caption caption="Martabak Bro (sumber foto: koleksi pribadi)"][/caption]Hari itu hujan cukup deras. Sedari pagi. Setelah menuruti keinginan Vina mengelilingi deretan ruko Perumahan Taman Galaxy lagi dan lagi, akhirnya ia menyuruhku menghentikan mobil. Wajahnya, yang hanya bisa kulihat dari spion karena tidak diperbolehkan ikut turun apalagi bergabung bersama mereka, terlihat gugup sekali. Harus sebegitunya kah bertemu dengan pacar sendiri? Gumamku saat itu.
Perlahan, hujan mulai reda. Bosan dan agak lapar menggerakkan keberanianku keluar dari mobil. Toh Henri jugas tidak tahu wajahku seperti apa. Kayaknya sih.
Ada banyak penjual makanan di dekat tempat aku memarkir mobil, tapi aku sedang tidak ingin makan berat. Kulihat lagi sekeliling, di tenda-tenda yang menyerupai foodcourt, ada penjual mie ayam bangka, dimsum, bakso, yang sebetulnya sangat menggoda dan tidak terlalu berat, tapi entah kenapa aku malah milih martabak. Ada satu penjual martabak gerobakan yang sudah lama mangkal di situ, dan aku pernah membelinya. Rasanya lumayan.
Tapi selain makanan, aku juga butuh tempat untuk menunggu Vina, jadi akhirnya kupilih Martabak Bro. Lucunya, walaupun Martabak Bro ini letaknya tidak jauh dari rumahku, tapi selama ini aku tidak tahu. Dan bahkan semestinya, ketika sedang melewati daerah situ, aku bisa melihat papan logo Martabak Bro dari jauh karena diletakkan cukup tinggi. Entahlah, sepertinya aku terlalu fokus menghadap ke depan ketika menyetir.
Malam dua hari yang lalu, Vina berpanjang lebar menceritakan rencananya bertemu Henri, kekasihnya yang kebetulan sedang pulang dari Taiwan karena libur semester. Hampir setengah jam berbuih-buih di telepon, tapi Vina malah sama sekali tidak menceritakan hal-hal yang justru paling ingin aku ketahui, seperti kenal di mana, berapa lama pacaran, dan apa yang terjadi pada hubungan mereka akhir-akhir ini. Inti yang hendak ia sampaikan sudah dapat ditebak di kalimat-kalimat awal obrolan kami,
“Aku mau menyelesaikan semuanya besok, seperti yang udah bilang ke kamu pas kita ngopi di Rumah Kopi Nusantara tempo lalu. Duh, semoga tidak gugup deh. Udah hampir dua tahun gak ketemu, grogi juga jadinya. Kamu temenin aku, ya.”
Terpaksa kukorbankan jadwal mengantar balon daganganku saat itu. Berhubung sudah tergila-gila, peluang sekecil apapun tetap akan kucoba. Ku iyakan saja permintaan Vina, dengan konsekuensi satu pelangganku marah karena pesanannya tidak diantar tepat waktu. Baru tiba jam 9 malam. Molor 4 jam dari yang kujanjikan.
Berjam-jam menunggu Vina, hariku benar-benar diselamatkan oleh Martabak Bro, lebih tepatnya oleh Mas Ilham, ownernya yang kebetulan sedang berada di situ. Bisa dibilang malah menjadi berkah tersendiri, karna andai saja Vina tidak memintaku menemaninya, belum tentu aku punya kesempatan ini. Kesempatan belajar banyak tentang bisnis dan mendengarkan dari orangnya langsung, sekaligus menemukan martabak super enak yang letaknya tidak jauh dari rumah. Oh ya, ketika mengunjungi sebuah tempat, dan sendirian, aku tak canggung menghampiri siapapun yang aku temui untuk diajak bicara. Paling gampang sih dengan cara klasik, meminjam korek, walaupun setelahnya aku merasa wagukarena bukan perokok. Tak jarang orang melihatku aneh, tetapi makin ke sini aku makin bisa menebak orang mana yang asyik diajak ngobrol walau baru kali pertama bertemu.
Resep dari ahli per-martabak-an
Setelah menaruh sajadah ke mobil, Mas Ilham kembali menghampiri meja tempat kami duduk. Dia pergi sebentar untuk Sholat Maghrib ketika saya bilang hendak memesan Martabak Red Velvet. Sebetulnya ia menyarankan Martabak Telur Cheese karena, menurutnya, martabak telur sudah dikenal sejak lama, sehingga tidak sulit bagi masyrakat untuk membandingkan rasa martabak telur yang enak dan yang tidak.
Mas Ilham ingin saya membandingkan martabak telur di Martabak Bro dengan martabak telur di tempat lain. Tapi martabak telur yang ini sudah dikombinasikan dengan keju. Benar saja, uedan, lumeran keju yang menyelinap di sela-sela martabak, dengan cocolansambal yang, kata Mas Ilham, resepnya sama persis dengan sambal di resto martabak papan atas di Jakarta, membikin mata saya terpejam beberapa saat saking enaknya. Jadi ternyata, salah seorang juru masak Martabak Bro adalah teman Mas Ilham yang dulunya bekerja di resto martabak terbesar di Jakarta & Bandung. You know that lah ya, resto yang aku maksud.
Karena punya kenalan yang sangat ahli dalam per-martabak-an, plus lidah orang Indonesia yang sudah tidak asing lagi dengan martabak, Mas Ilham merasa mantab untuk membuka Martabak Bro. “Enak jualan martabak, tidak perlu lagi ada pengenalan. Orang-orang udah tau martabak telur tuh yang kaya gimana, martabak manis kaya gimana. Terkecuali untuk yang martabak kekinian, ya, kita tetap butuh ngasih sample ke orang-orang. Biar pada tau, martabak kita rasanya juara”.