Khawatirnya, fokus mereka menjadi terganggu sehingga pementasan menjadi tidak maksimal. Tidak hanya dalam prosesi aki lengser, praktik saweran juga muncul dalam sesi yang menurut saya sangat sakral yaitu sesi sungkeman Murid kepada gurunya.Â
Layaknya dalam acara pernikahan, biasanya kedua pasangan siswa akan melakukan sungkem kepada Bapak/Ibu guru atau kepala sekolah yang berperan sebagai orang tuanya. Proses ini tentu membuat acara wisuda dan perpisahan sekolah menajdi semakin berkesan dan haru apalagi ditambah dengan iringan musik yang syahdu. Namun lagi-lagi prakitk saweran ini membuat acara sedikit terganggu. Padahal dalam sungkeman tersebut mengndung sarat makna dan pituah bijak yang bisa kita ambil. Namun bukaanya esensi yang kita dapat, kita malah disuguhkan dengan adegan saweran yang mengganggu dan menghambat jalaanya prosesi pementasan.
 Memang jika kita kaji lebih dalam, budaya saweran sudah ada sejak jaman dahulu. Nenek moyang suku sunda terdahulu melakukan saweran dengan menaburkan sejumlah benda-benda kecil seperti beras putih, kunyit, bermacam bunga rampai, uang logam, dan sirih kepada pengantin dan tentunya memiliki simbol dan filososfi tersendiri tentunya.Â
Berbeda dengan saweran jaman sekarang yang notabennya lebih mengarah kepada menghambur-hamburkan uang dan adu gengsi. Sangat di sayangkan jika budaya semacam ini tetap eksis, bukannya nilai kesenian dan adat luhur yang kita dapatkan dari pementasan tersebut kita malah disuguhkan dengan adegan yang kurang bermanfat bahkan bisa saja merusak esensi dari pementasan itu sendiri. (AYI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H