Pilpres 2014 telah memunculkan dua kandidat Presiden RI periode 2014-2019. Ditengah gegap gempita akan harapan baru kemajuan negeri, terselip sebuah kekhawatiran dan keprihatinan akan fenomena yang terjadi dalam proses menuju Pilpres 9 Juli nanti. Kampanye Hitam. Ya, fenomena ini entah mengapa semakin menjadi-jadi pada gelaran Pilpres kali ini. Kampanye hitam tidak bisa dipungkiri memang merupakan sebuah fenomena yang telah ada di gelaran Pemilu Indonesia baik itu legislatif maupun Pemilu Presiden. Entah kapan mulai ada dan berkembangnya kampanye hitam tersebut, namun menurut saya kebebasan mengemukakan pendapat di era Reformasi setelah 32 tahun dikekang Orde Baru nampaknya menjadi sebuah awal muncul dan berkembangnya kampanye hitam tersebut. Jadi menurut saya munculnya kampanye hitam ini adalah ekses dari proses Reformasi yang cenderung tanpa arah dan kebablasan. Pada gelaran Pilpres kali ini, kampanye hitam semakin berkembang dan cenderung tidak terkendali. Mungkin salah satunya disebabkan karena hanya ada dua Capres yang muncul, sehinga pertarungan semakin menjadi terasa nyata antara kedua kubu, terutama di media sosial.
Munculnya dua Capres ini tak pelak menimbulkan sebuah friksi-friksi dalam kehidupan bernegara kita. Para elite dari hampir semua elemen manjadi terpecah belah. Kedua kubu mengklaim sebagai yang terbaik, dan menuding kubu seberang adalah kubu yang penuh nista. Friksi-friksi dikalangan elite ini mau tidak mau juga menjalar pada kalangan masyarakat luas. Di kampung-kampung, di desa-desa, di dalam forum diskusi kampus, di tempat kerja, di warung kopi, bahkan mungkin di dalam masjid, terjadi friksi-friksi dikarenakan perbedaan pendapat dalam pilihan politik. Dan bahayanya, kondisi ini dibarengi dengan belum dewasanya masyarakat kita (dan mungkin termasuk saya sendiri) dalam menghadapi perbedaan, terutama perbedaan politik. Kondisi belum dewasanya masyarakat dalam menyikapi perbedaan ini, semakin menjadi terasa berbahaya dikarenakan maraknya kampanye hitam di media yang tersebar secara masif. Kampanye hitam itu tentu akan menjadi semacam “bahan bakar” untuk memperbesar friksi yang terjadi di masyarakat. Kondisi ini memprihatinkan, karena gesekan di akar rumput itu sering kali menjadi awal rusaknya silaturahmi antar sesama warga masyarakat. Dua orang yang telah berkawan puluhan tahun bisa menjadi berjarak, bahkan menjadi lawan yang saling menuding saat keduanya memiliki perbedaan pilihan dalam politik. Keluarga dekat pun bisa menjadi saling tuding dan tidak akur karena friksi dan perbedaan ini. Friksi tersebut semakin berbahaya karena dibumbui oleh kampanye hitam dari kedua belah kubu. Bagaimana kita tidak merasa geram dan marah kalau jagoan kita dituduh antek Zionis dan pengkhianat janji?? Bagaimana tidak geram dan marah kalau jagoan kita dituduh pelanggar HAM dan dipecat dari pekerjaannya terdahulu?? Kondisi seperti inilah yang terjadi di masyarakat sehingga memperpanas suhu politik menjelang Pilpres 9 Juli nanti.
Kondisi yang terjadi pada saya pun tidak jauh beda dengan yang terjadi pada elite dan masyarakat kebanyakan, kondisi sekitar saya pun rawan friksi karena perbedaan pilihan dalam politik tersebut. Kondisi inilah yang mendorong saya untuk memilih “golput” dalam berkampanye. Golput dalam berkampanye artinya bahwa saya berusaha untuk menempatkan pilihan politik saya hanya dihati saya. Saya tidak ikut berkampanye atas Capres yang menjadi pilihan saya, walaupun saya masih tergolong sebagai swing voters. Dalam forum dan interaksi antar manusia baik yang bersifat pribadi (dengan keluarga) maupun kemasyarakatan (dengan masyarakat sekitar) saya berusaha untuk mengikuti kemana alur pembicaraan yang terjadi (jika berkaitan dengan politik). Saya berusaha untuk tidak membela salah satu pihak, saya hanya mengikuti kemana arah diskusi mengenai politik itu mengalir. Jika cenderung ke A, ya baiklah, A memang baik. Jika cenderung ke B, ya baiklah, B memang baik. Sesederhana itu. Ya, katakanlah bahwa saya tidak memiliki prinsip, itu cukup fair untuk disematkan pada saya, namun bagi saya, dalam kondisi masyarakat yang seperti ini, menjaga silaturahmi lebih berharga dari “sekedar” pilihan dalam politik. Saya lebih cenderung untuk berkata “saya akan tetap memilih menjadi temanmu daripada saya harus merusak hubungan kita dengan perdebatan mengenai perbedaan pilihan kita dalam politik, cukup saya dan Tuhan yang tahu mengapa saya memilih salah satu dari kedua Capres itu”. Saya adalah tipe yang sangat tidak nyaman dengan ketidakharmonisan dalam interaksi masyarakat, jadi saya pikir cukuplah pilihan politik saya itu hanya saya yang tahu, sehingga tidak menimbulkan sebuah celah perbedaan yang bisa diekspose dan dibahas menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Katakanlah bahwa saya tidak peduli pada masa depan bangsa karena tidak memihak salah satu kubu dengan mengkampanyekan program dan kelebihannya, ya, itu juga cukup fair untuk disematkan pada saya. Namun saya merasa bahwa sudah cukup banyak pakar dan juga orang baik yang ada di masing-masing kubu, jadi saya pikir mereka sudah cukup untuk “membela” kubu masing-masing. Toh, saya berprasangka baik bahwa kedua Capres ini juga sama-sama berniat untuk semakin memajukan Indonesia.
Terlepas dari sikap saya untuk golput dalam berkampanye, saya merasa titik balik daripada meluasnya kampanye hitam ini adalah ketokohan kedua Capres itu sendiri. Saya bisa katakan bahwa kampanye hitam itu sangat tidak mendidik dan cenderung merusak sendi kebangsaan kita. Maka dari itu, perlu peran aktif kedua pasangan Capres Cawapres untuk mengendalikan pendukungnya di arus bawah. Perlu perjanjian politik antara kedua kubu yang mungkin bisa difasilitasi oleh KPU untuk deklarasi bahwa kedua pasangan siap bersaing secara sehat, sehingga segala bentuk dari kampanye hitam baik dari pendukung Ring 1 maupun dari pendukung arus bawah bisa dicegah oleh kedua pasangan Capres Cawapres itu sendiri. Jika mengendalikan pendukungnya sendiri pun tidak mampu, jangan bermimpi untuk memimpin 200 juta lebih rakyat Indonesia. Perlu ada keteladanan disini, bahwa kedua pasangan juga jangan mempertontonkan kampanye yang cenderung saling serang secara pribadi, tidak substantif mengenai bagaimana Visi Misi dan Program Kerja mereka kedepan. Ingat, ing ngarsa sung tuladha, kata Ki Hajar Dewantara. Jika kampanye hitam terus berkembang dan tidak dapat dikendalikan, maka tunggu saja saat demokrasi ini menjadi tidak berwibawa, tidak berkualitas dan tidak memiliki arti bagi masyaratakat luas.
Krisnasakti Anggar
Penulis lepas, tinggal di Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H