Mohon tunggu...
Anggar A. Thahirah
Anggar A. Thahirah Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan

Aku ingin kisah cintaku sprti Fatimah n Ali Bin Abi Thalib, yg setan pun tak tw ttg cnta i2h. Skrg ak hnya ingin cnta kpda'MU, Muhammadku, n mnyimpan cintaku, tak ingin mntap'a, krna smw hnya ingin ku smpaikn lwat hati, wlw dy tak tw sbsar ap cinta i2h. Y Allah, jaga ia ttap d hatiku, n jaga aku ttap d hati'a, hngga sat cnta ku brtasbih d bingkai cinta yg ENGKAU restui.. ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bu, Anakmu Patah

13 September 2020   17:40 Diperbarui: 13 September 2020   17:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya, bu. Aku mulai mendekatinya lagi. Mencoba meyakinkannya kembali. Bahwa hal yang paling membahagiakan di muka bumi ini adalah melihat orang yang kita sayang bahagia. Iya, bu dengan setegarnya aku mengajaknya juga berdamai dengan piihan ibunya. Usahaku juga dia sudah maksimal, do'aku dan do'anya di langit pun sudah tebal menggumpal. 

Tersisa tawakal. Satu hal yang hampir selalu aku ulang agar ia mencoba untuk meredam egonya, 'Ada surga dalam restunya, jangan sekali-kali membuatnya murka. Tuhan ridho padamu jika kamu membuatnya ridho. 

Bahagiakan ibumu, karena sampai kapan pun kamu selalu miliknya. Aku percaya, pilihan ibumu pasti terbaik. Aku yakin kamu bahagia, dan jika kamu kamu bahagia, tak mungkin aku tidak.'

Lalu kemudian, Jum'at kedua di bulan November di satu kota kecil di Sumatera bagian selatan, resmi sudah. Aku harus melepasnya, mengikhlasnya. Dia sudah sah menjadi menantu dari teman ibunya. 

Ibunya begitu bahagia karena akhirnya teman lamanya kini menjadi keluarganya, karena bersatunya anak mereka. Iya, bukan lagi sekedar teman, tapi juga besan. 

Sedang aku disini, jauh dari kota itu, tepat di hari itu, aku terpaksa kabur dari tempat kerjaku bu. Aku izin tanpa memberi sedikit pun alasan. Aku pergi tanpa tujuan. Naik KRL yang satu menuju KRL lainnya. Singgah sebentar, pergi lagi. Dengan banyak gusar, juga sedih di hati. 

Ibu, aku patah. Ntah kepingannya terserak kemana? Hujan yang lebat siang itu semaunya memperbanyak setiap kepingnya. Buatku makin sulit mencari dan menyatukannya. Hujan siang itu, sedikit pun tak mampu menyamarkan air mata yang jatuh. Hujan tak pernah semenyakitkan ini sebelumnya, bu. Sungguh.

Setelah hari itu, aku tak tau apakah masih ada hari esok untukku. Rasanya bukan hanya dia yang diambil dariku. Tapi juga senyumku, senangku, tawaku, bahagiaku, nafsu makanku, sehatku bahkan semangat hidupku. Aku rasa semua diambil setelah hari itu. Bagaimana dengannya? Sama. Dia masih menghubungiku bahkan saat setelah dia sah menjadi suami orang lain. 

Sehari, dua hari, sepekan, dua pekan. Sebulan, dua bulan, tapi mau sampai kapan? Sekali lagi aku mencoba meyakinkan. Surganya harus selalu dia bahagiakan. 'Aku tau ini sulit. Bukan hanya kamu yang terluka, aku juga. Kamu tentu paham semua yang Tuhan tadirkan adalah kebaikan, bukan? 

Bolehkah kita sudahi semuanya? Kita harus saling mengikhlaskan. Jika terlalu sulit, berhentilah sebentar. Tapi jangan pernah berpikir untuk kembali ke belakang. Kita harus sama-sama bahagia meski tak bersama.' 

Tangisku lagi-lagi pecah saat mengirimkan pesan itu padanya, mungkin hatiku juga. 'Maaf tanpa hingga.' Kalimat terakhir dari pesannya sebelum akhirnya aku terpaksa mengganti nomor kontakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun