Dewasa ini, globalisasi telah berkembang cepat khususnya dalam hal informasi. Media penyebar informasi ini pun semakin canggih dan beragam. Hampir setiap penjuru dunia tertancap pemancar media-media informasi ini. Sehingga, informasi mengalir semakin cepat dan meluas dari satu tempat ke tempat lain
[caption id="attachment_331684" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak dapat belajar lebih cepat dari suatu informasi"][/caption]
dari seluruh dunia. Setiap orang yang terkoneksi akan mampu mengetahui informasi di belahan dunia lain hanya dari tempat dia berada sekarang.
Potensi kecepatan penyebaran informasi yang luar biasa ini jika digunakan secara arif, akan membawa kebermanfaatan yang luar biasa pula. Namun, sebaliknya jika tidak arif menggunakannya, maka akan menjerumuskan. Layaknya “racun”, informasi yang tidak digunakan dengan baik ini akan menngerogoti setiap lini baik yang kasat mata atau yang tidak kasat mata. Secara kasat mata dapat dicontohkan misalnya informasi perang yang cukup dari suatu pihak akan mempermudah dalam penyerangan dan penaklukan pihak oposisi. Sedangkan, secara tidak kasat mata dapat dicontohkan dengan kebobrokan akhlak pemuda jaman sekarang karena teracuni tontonan kurang sehat di media televisi seperti sinetron. Fenomena pemuda yang teracuni jaman ini lah yang dapat membuat permukaan dada halus (baca: mengelus dada terlalu sering karena prihatin).
Jumlah sinetron di Indonesia tergolong sangat sering sekali tayang. Di satu stasiun televisi saja dalam sehari dapat menayangkan hingga enam judul sinetron. Iya kalau mendidik? lah, cerita yang sering diangkat hampir semua berhubungan dengan gaya hidup remaja yang tidak sehat, seperti pacaran, foya-foya, dan lain sebagainya. Jam-jam tayang sinetron ini kerap kali mengambil jam-jam yang prima menggambarkan bahwa sinetron adalah sajian utama. Tayangan yang bermanfaat pun tidak jarang kalah pamor dengan sinetron sehingga tidak jarang juga acaranya digantikan dengan sinetron. Hingga akhirnya, anak-anak pun seperti tidak diberi pilihan tontonan televisi lain selain sinetron. Padahal, masa anak-anak adalah masa ketika seseorang belajar lebih cepat. Menurut Erikson, tokoh psikososial, kemampuan berbahasa anak pada usia ini lebih berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret. Kondisi otaknya masih plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa lebih mudah. Nah, jika seperti ini kondisinya, dari kecil sudah dijejali racun sinetron dengan tayangan yang tidak bermanfaat, ke-“pemuda”-annya dapat diragukan dewasa nanti.
Kebobrokan para pemuda Indonesia karena tontonan kurang sehat ini dapat saja kita tanggulangi. Namun, membutuhkan dukungan ekstra dari segala pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakatnya. Dari pemerintah diharapkan ada regulasi tentang penayangan tontonan-tontonan yang kurang sehat. Bisa saja layaknya lembaga sensor pemerintah membentuk sebuah badan lagi yang mengurus tentang kelayakan suatu tontonan untuk konsumsi masyarakat yang tentu saja dilihat dari aspek kebemanfaatan tontonan tersebut. Dari masyarakat sendiri, para orang tua dapat berpartisipasi aktif dalam hal pengontrolan tontonan sang buah hati. Jangan sampai tontonan yang memberikan pengaruh buruk ditonton oleh anaknya. Sebagai seorang pemuda pun tentu saja dapat mengambil peran bagian. Yang pasti yang pertama adalah “sadar”. Sadar bahwa sebagai pemuda kita hidup di jaman mulai maraknya tontonan yang tidak sehat ini sejak kecil. Instropeksi, apakah kita termasuk korban tontonan kurang sehat ini? Jika iya, sadarlah, sadar bahwa sebagai pemuda tidak bisa terus-terusan berakhlak sinetron. Jika sudah sadar, langkah selanjutnya adalah pergerakan. Pemuda identik dengan pergerakan. Pergerakan dapat dimulai dari hal-hal yang kecil, seperti mungkin sebagai kakak ikut menjaga adiknya dari tontonan yang kurang bermanfaat. Partisipatif lain juga dapat dilakukan dengan mendukung langkah-langkah pemerintah dalam pengaturan regulasi tentang penayangan media televisi. Langkah-langkah lain banyak yang bisa dilakukan oleh pemuda. Hanya saja, PEMUDA-nya mau apa tidak? Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-86, 28 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H