Satu tahun lalu, tepatnya pada tanggal 17 Desember 2018, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengesahkan Deklarasi tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Perdesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas/UNDROP) di Majelis Umum PBB New York, Amerika Serikat.Â
UNDROP merupakan sebuah instrumen yang secara khusus mengatur tentang pengakuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada petani dan seluruh masyarakat yang bekerja di perdesaan.
Indonesia sendiri memiliki peran dan andil besar dalam merumuskan hak asasi petani menjadi sebuah instrumen di tingkat PBB ini. Berlatar petani yang pada saat masa orde baru kerap mendapat perlakuan diskriminatif dan terlanggar haknya, kemudian dengan kesadaran kolektif merumuskan hak asasi petani.Â
Diprakarsai oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM), dan bekerjasama dengan gerakan rakyat seperti Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani di Cibubur, Jawa Barat pada tanggal 17-20 April 2001.
Konferensi menghasilkan sepuluh resolusi, diantaranya Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia dan mendorong reforma agraria menjadi Ketetapan MPR-RI. Deklarasi ini menjadikan perumusan hak asasi petani tidak bersifat top-down melainkan bottom-up karena diinisasi langsung oleh petani. Deklarasi kemudian diperjuangkan ditingkat Internasional oleh SPI dan La Via Campesina (Gerakan Petani Dunia).Â
Proses terus berlangsung hingga Dewan HAM PBB (United Nations Human Rights Council) mengadopsi hak asasi petani melalui resolusi A/HRC/RES/39/12 pada bulan September 2018, yang kemudian dilanjutkan dengan pengesahan resolusi 73/165 tentang UNDROP oleh Majelis Umum PBB.
Jalan Percepatan Reforma Agraria
Sejurus dengan UNDROP, Indonesia telah memiliki instrumen hukum nasional yang mengatur tentang Hak Asasi Petani melalui UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan). Salah satu hak yang diatur UU Perlintan adalah hak petani atas tanah.Â
Pasal 58 UU Perlintan secara tegas memerintahkan negara untuk memberikan paling luas 2 hektar tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani, yang telah melakukan usaha tani paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut.
Ketentuan itu tentu meneruskan mandat UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) untuk menjalankan reforma agraria.Â
Perintah ini kemudian tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tentang reforma agraria 9 juta hektar kepada petani dan rakyat tak bertanah. Namun implementasi pemenuhan hak atas tanah bagi petani pada periode pertama presiden Jokowi belum menggembirakan. Janji reforma agraria digeser menjadi hanya sekadar sertifikasi tanah yang menggunakan satuan bidang, bukan lagi hektar.
Pada Agustus 2019 lalu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI (ATR/BPN) mengklaim telah mencapai beberapa target reforma agraria sesuai RPJMN 2015-2019.Â
Dalam lima tahun, telah diterbitkan sertipikat tanah transmigrasi untuk 109.901 bidang atau 73.633,67 Ha. Kemudian legalisasi tanah masyarakat melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebanyak 14.965.338 bidang sertipikat atau seluas 3.295.271 Ha.
Sementara untuk redistribusi tanah yang berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) habis dan tidak diperpanjang, tanah terlantar dan tanah negara lainnya berhasil direalisasikan 573.432 bidang sertipikat atau 440.085 Ha.Â
Untuk redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan telah diterbitan sertipikat sebanyak 25.310 bidang atau seluas 19.490 Ha. Seluruh capaian itu jika ditotalkan baru sekitar 3,8 juta hektar dari target 9 juta hektar. Namun bila satuan diubah ke bidang, angkanya menjadi fantastis, yakni sekitar 15,6 juta bidang.
Salah satu dasar pelaksanaan berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan (PPTKH) dan Perpres No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA). Namun perpres-perpres ini tidak berjalan secara optimal, dan dinilai terlambat terbit.Â
Untuk itu, UNDROP bisa menjadi sebagai jalan percepatan reforma agraria. Perpres RA yang berjalan sangat lamban harus direvisi dengan menyesuaikan kaidah-kaidah dalam UNDROP. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (1) UNDROP bahwa petani dan orang yang tinggal di pedesaan memiliki hak atas tanah, secara individu dan/atau kolektif.Â
Termasuk hak untuk akses atas, menggunakan dan mengelola air, laut pesisir, perikanan, padang rumput dan hutan di dalamnya secara berkelanjutan, standar hidup yang layak, untuk memiliki tempat untuk hidup dalam keamanan, kedamaian dan martabat dan untuk mengembangkan budaya mereka.
Ditulis Oleh:
Angga Hermanda, Ketua Departemen Data dan Informasi Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H