Provinsi Banten pada tanggal 4 Oktober 2016 genap berumur enam belas tahun. Provinsi dengan ibu kota Serang ini memiliki potensi sumber-sumber agraria yang besar--termasuk pertanian. Secara filosofis penamaan Serang sendiri merupakan pemaknaan dari bahasa Sunda yang berarti 'sawah'.
Dari segi historis, kemutakhiran teknologi perairan (irigasi) sebagai penopang pertanian Kesultanan Banten saat masa Sultan Ageng Tirtayasa sudah tersohor ke seluruh dunia. Begitu pun dengan alasan Belanda pertama kali mendatangi Nusantara—Hindia saat itu—yakni ke Banten untuk berdagang rempah-rempah (hasil pertanian).
Artinya, baik secara historis maupun filosofis, pertanian menjadi jantung dan tulang punggung Banten. Dilatarbelakangi oleh kejayaan Kesultanan Banten dan peradaban yang tinggi dalam mengelola pertanian rakyat, Provinsi Banten sudah sepatutnya menjadi salah satu sentra pertanian nasional.
Kesejahteraan Petani Banten
Dua Windu Provinsi Banten berdiri—sejak 4 Oktober 2000, kesejahteraan petani di Banten belum juga terwujud. Hal ini dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus menurun akhir-akhir ini. NTP sendiri merupakan perbandingan antara penerimaan petani dari kegiatan usaha tani dengan pengeluaran petani untuk input produksi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat tingkat kemampuan atau daya beli petani (BPS, Oktober 2016). Sehingga NTP dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani.
Pada November 2015, NTP Banten tercatat sebesar 107,53 kemudian turun secara drastis menjadi 100,47 pada September 2016 (BPS, Oktober 2016). Penurunan NTP ini menjadi kado pahit bagi peringatan hari jadi Provinsi Banten yang ke-16 tahun. Terdapat beberapa faktor NTP Banten terus menurun, mulai dari ancaman ketersediaan lahan pertanian produktif bagi petani Banten, alat-alat produksi pertanian yang dikuasai korporasi, kelembagaan petani yang dimonopoli, dan tata niaga pertanian yang masih berorientasi pada pasar.
Ketersediaan tanah bagi petani Banten saat ini terus terancam, dibuktikan dengan berbagai konflik agraria yang masih berlangsung. Belum lagi berbagai proyek pembangunan seperti jalan tol Serang – Panimbang dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung yang patut diduga akan menggilas habis lahan pertanian di Banten. Dengan situasi demikian, implementasi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten nomor 5 tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sangat perlu untuk menjadi sorotan.
Sementara itu, alat-alat produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan pestisida masih dikuasai oleh korporasi. Petani sedikit demi sedikit diubah dan diajari untuk berwatak konsumtif. Di sisi lain, para petani penangkar benih, pembuat pupuk dan pestisida alami tidak lagi disentuh oleh pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Banten.
Perihal kelembagaan petani, akses dan program pemerintah dalam praktiknya hanya dimonopoli oleh beberapa golongan dan secara umum membuat petani tidak lagi berdiri di atas kaki sendiri. Diskriminasi ini dimulai dari pengakuan pemerintah terhadap kelembagaan-kelembagaan petani untuk mendapatkan akses dan program pembangunan pertanian. Organisasi-organisasi petani yang dibentuk dan didirikan oleh petani—seperti serikat petani, aliansi petani, paguyuban petani, dll—tidak diberikan hak yang sama. Pemerintah hanya mengakui kelompok tani (poktan) sebagai penerima tunggal akses dan program.
Padahal pada 5 November 2014, Mahkamah Konstitusi RI telah membacakan Putusan nomor 87/PUU-XI/2013 yang salah satunya menyatakan bahwa dalam Pasal 70 ayat (1) UU nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani harus ditambahkan dengan “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”. Artinya seluruh petani memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses dan program dari pemerintah. Namun mandat itu belum dijalankan baik secara nasional maupun di Provinsi Banten. Terbukti penerima akses dan program pemerintah masih diperuntukan hanya bagi poktan dan gabungan kelompok tani (gapoktan).
Faktor lainnya adalah tata niaga pertanian di Banten yang masih berorientasi pada pasar sehingga kesejahteraan petani di Banten belum juga beranjak naik. Penjaminan pemerintah untuk menyerap hasil pertanian petani masih kalah cepat dengan para tengkulak di lapangan. Walaupun sudah terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Penjualan di Konsumen, namun disinyalir masih belum sesuai dengan harga yang sepatutnya diterima oleh petani.