[caption caption="Dari berbagai sumber, diolah"]
[/caption] Harga Pangan pada awal tahun 2016 mengalami kenaikan, terkhusus untuk beras, jagung dan daging sapi. Kenaikan harga pangan yang terjadi bagaikan siklus tahunan yang belum terpecahkan. Misalnya pada awal tahun 2015, kenaikan harga beras mencapai 25%. Hal ini yang melatarbelakangi Intruksi Presiden nomor 5 tahun 2015 tentang Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah dan beras.
Namun Inpres tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan bagi kesejahteraan petani. Walaupun menurut laporan Badan Pusat Statistik, sepanjang tahun 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan mengalami kenaikan sebesar 2,70 dari 101,23 pada Januari 2015 menjadi 103,93 pada Desember 2015[1]. Akan tetapi pada Bulan Januari 2015 hingga Mei 2015 NTP Tanaman Pangan mengalami penurunan tajam. NTP Tanaman Pangan sempat berada pada posisi terendah yakni sebesar 96,68 pada Mei 2015. Kondisi demikian terjadi karena kenaikan harga beras yang juga diikuti dengan kenaikan biaya produksi dan konsumsi rumah tangga petani. Terlebih HPP yang ditetapkan Pemerintah—Harga Gabah Kering Panen Rp.3.700/kg, Gabah Kering Giling Rp.4.600/kg dan Beras Rp.7.300/kg[2]—lebih rendah dibanding harga yang dibeli oleh tengkulak dan pengusaha. Sehingga petani secara rasional lebih memilih menjual gabah/berasnya kepada pihak selain Bulog.
Hal ini yang menyebabkan serapan beras oleh Bulog rendah pada tahun 2015. Terlebih kekeringan panjang karena El Nino sepanjang tahun 2015 menyebabkan banyak sawah mengalami gagal panen. Kondisi ini yang memicu Pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras pada Oktober 2015 sebanyak 1 juta ton dari Vietnam[3] dan 500.000 ton dari Thailand[4]. Kendati demikian, harga beras dipasar masih tetap fluktuatif—bahkan cenderung naik—dan kesejahteraan petani tanaman pangan masih tergolong rendah. Terbukti pada bulan Januari 2016 BULOG melakukan operasi pasar (OP) untuk menekan kenaikan harga beras dibeberapa daerah. OP diyakini dapat menekan harga beras sampai Rp. 200,-/kg. Sayangnya hal ini tidak terjadi secara seragam diseluruh daerah, misalnya di Jember Jawa Timur, harga beras medium naik dari Rp.10.300,-/kg menjadi Rp. 10.500,-/kg. Bahkan di Surabaya beras dipasaran naik dari Rp. 9.000,-/kg menjadi Rp. 11.300,-/kg[5] atau sebesar Rp. 2.300,-/kg yang berarti kenaikan lebih dari 25 persen—kejadian yang sama pada awal tahun 2015.
Sementara itu berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, tren perkembangan harga beras medium selama tahun 2016 meningkat. Pada tanggal 4 Januari 2016 harga beras medium terpantau sebesar Rp. 10.710,-/kg, kemudian menjelang akhir Januari (28/01) naik menjadi sebesar Rp. 10.890,-/kg[6]. Kenaikan harga yang sama juga terjadi pada jagung. Disinyalir karena pasokan langka, harga jagung di dalam negeri mencapai Rp. 6.000/kg - Rp. 7.000/kg. Kenaikan berimbas pada harga pakan ternak yang menyebabkan harga daging ayam potong ikut terkerek naik hampir Rp.10.000,-/kg. Harga daging ayam potong pada akhir Januari 2016 berkisar antara Rp.28.000,-/kg sampai Rp.32.000,-/kg. Oleh karena itu, Bulog dan Kementerian Perdagangan RI mengeluarkan kebijakan impor Jagung sebanyak 600.000 ton di awal tahun 2016 ini[7].
Selain Beras dan Jagung, kenaikan harga juga terjadi pada komoditas daging sapi. Pada awal tahun 2016 kenaikan mencapai Rp. 130.000/kg - Rp. 140.000/kg. Harga tersebut adalah harga tertinggi sejak Januari 2015. Walaupun Wakil Presiden RI mengindikasikan kenaikan harga karena ulah oknum, para peternak merasa keberatan dengan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen karena imbas dari kenaikan sapi impor[8]. Diwaktu yang bersamaan NTP tanaman pangan pada bulan Januari 2016 mengalami kenaikan hanya sebesar 0,01. Kenaikan yang tipis menyimpulkan bahwa kenaikan harga beras dan jagung tidak dirasakan langsung oleh para petani tanaman pangan. Begitupun dengan para peternak Sapi, NTP Peternak turun sebesar 0,12 dari 107,43 pada bulan Desember 2015 menjadi 107,31 pada Januari 2016[9]. Berdasarkan data tersebut, petani tanaman pangan dan peternak sapi jutru tetap tercekik dengan kenaikan harga yang terjadi. Lalu terbesit pertanyaan, siapakah yang sesungguhnya menikmati kenaikan harga beras, jagung, dan daging sapi?.
Pertanyaan itu haruslah terjawab ditengah kegaduhan harga pangan sekarang ini. Bisa saja disebabkan oleh rantai pemasaran yang sangat panjang, HPP gabah/beras tahun 2015 tidak berjalan secara optimal, penerapan resi gudang ketika panen raya jagung yang setengah-setangah, ekspansi sapi impor yang tak terbendung, dan pemberlakuan PPN 10% menjadi faktor pelengkap kekisruhan yang terjadi. Jika ditinjau dari segi otoritas, peran Bulog yang hanya sebatas Perusahaan Umum (Perum)—buah Letter of Intent dengan IMF—dan belum dilaksanakannya amanat Pasal 126, 127, 128, 129 dan 151 UU Pangan tentang Kelembagaan Pangan atau Badan Pangan Nasional menjadikan kontrol negara untuk mengatur pangan masih sangat lemah. Dalam hal ini secara jelas mandat Nawa Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tentang Kedaulatan Pangan masih jauh untuk diwujudkan.
[1] Laporan Badan Pusat Statistik RI, Desember 2015.
[2] Instruksi Presiden nomor 5 Tahun 2015 tentang Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah dan Beras.
[3] Republika, “Media Vietnam Kabarkan Indonesia Impor Satu Juta Ton Beras”, 18 Oktober 2015.
[4] Beritasatu.com, “Berapa Nilai Kontrak Impor Beras RI dari Thailand?”, 6 Desember 2015.
[5] Kompas, “Pasar Murah untuk Kendalikan Harga”, 27 Januari 2016.
[6] http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile akses 8 Februari 2016.
[7] Bisnis Indonesia, “Pemerintah Diminta Segera Impor Jagung”, 22 Januari 2016.
[8] Bisnis Indonesia, “JK Nilai Kenaikan Ulah Oknum”, 23 Januari 2016.
[9] Laporan Badan Pusat Statistik, “Perkembangan NTP dan Harga Produsen Gabah dan Beras”, 1 Februari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H