Mohon tunggu...
Angga Hermanda
Angga Hermanda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Globalkan Perjuangan, Globalkan Harapan!

Bagian Bangsa Indonsia | BPP Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) | IKA Faperta Untirta | Lembaga Kajian Damar Leuit Banten | Koperasi Petani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Data Pangan Krisis, Kesejahteraan Petani Kritis, Kartel Pangan Tersenyum Manis

10 Maret 2016   09:04 Diperbarui: 10 Maret 2016   09:22 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kartel Pangan?

Impor beras dan jagung akhir-akhir ini menggoncangkan situasi pangan nasional. Bagaimana tidak, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris mengeluarkan kebijakan mendatangkan bahan pangan dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Polemik beras berawal ketika Presiden RI, Wakil Presiden RI dan para Menterinya silang pendapat tentang impor beras. Perbedaan pendapat semakin terbuka pada awal Oktober 2015, saat media Vietnam The Saigon Times menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menyepakati kontrak untuk memasok beras sebanyak 1 juta ton dari Vietnam. Setelah Vietnam, Indonesia juga mengimpor beras dari Tahiland sebanyak 500.000 ton karena Pemerintah menduga stok beras dalam negeri tidak akan cukup akibat pergeseran masa tanam dampak dari el nino dan kekeringan.

Tak lama berselang terkuak penjajakan MoU antara Indonesia dengan India dan Pakistan untuk kembali mengeluarkan kebijakan impor beras pada tahun 2016. Serangkaian impor beras tersebut membuahkan tanya, ada apa dengan perberasan kita? Badan Pusat Statistik RI merilis, produksi padi Indonesia tahun 2014 sebesar 70.846.465 ton Gabah Kering Giling (GKG)—dengan angka rendemen 62,5% produksi beras 2014 sebesar 44.279.041 ton. Kemudian data produksi padi Indonesia tahun 2015 (Februari 2016) sebesar 74.991.788 ton GKG (Data Angka Ramalan BPS per Maret 2016 sebesar 75,36 juta ton)[1]—dengan angka rendemen 62,5% produksi beras 2015 sebesar 46.869.868 ton (Data Angka Ramalan BPS per Maret 2016 sebesar 47,1 juta ton). Bahkan dalam satu tahun produksi padi Indonesia meningkat sebanyak 4.145.323 ton GKG.

Jika ada alasan impor adalah untuk memenuhi kebutuhan, maka kita harus mengetahui kebutuhan beras masyarakat Indonesia. Terdapat beberapa data yang mengungkapkan total konsumsi beras di indonesia. Pertama, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) konsumsi beras masyarakat Indonesia sebanyak 87,63 kg/tahun/kapita. Kedua, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan RI yang meliputi rumah tangga dan rumah makan sebesar 114 kg/tahun/kapita. Ketiga, data Neraca Badan Kementerian Pertanian yakni 124 kg/tahun/kapita. Keempat, data BPS menunjukan konsumsi beras Indonesia sebesar 139 kg/tahun/kapita[2]. Data menunjukan bahwa setiap lembaga memiliki angka yang berbeda untuk menunjukan konsumsi beras perkapita pertahun masyarakat Indonesia. Dilatar belakangi hal itu, pada 20 Maret 2015 Wakil Presiden RI melakukan percobaan ketepatan data statistik yang ada. Dari percobaan yang dilakukan, orang nomor dua di Republik ini menyimpulkan bahwa data BPS dan Kementerian Perdagangan yakni 114 kg/tahun/kapita yang dijadikan sebagai perhitungan kebutuhan beras nasional karena dianggap paling relevan[3].

Apabila perhitungan konsumsi beras berpatokan pada data yang ditentukan Wakil Presiden RI sebesar 114 kg/tahun/kapita kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk BPS tahun 2010 sebesar 237.641.326 jiwa atau data Kementerian Dalam Negeri RI tahun 2010 sebesar 259.940.857 jiwa, maka produksi beras dalam negeri pada tahun 2015 yakni sebesar 46.869.868 ton melebihi kebutuhan beras nasional yang hanya sekitar 27.000.000 ton data BPS dan sekitar 29.600.000 ton data Kemendagri. Artinya Indonesia mengalami suplus beras sekitar 19.800.000 ton jika menggunakan data penduduk BPS dan sekitar 17.200.00 ton jika menggunakan data Kemendagri. Itupun apabila secara kasar seluruh penduduk Indonesia mengkonsumsi beras dan dengan asumsi bahwa data produksi padi yang dikeluarkan oleh BPS adalah mutlak.

Kelebihan produksi beras Indonesia yang terungkap melalui perhitungan sederhana menimbulkan pertanyaan baru yaitu ketika beras dalam negeri melimpah mengapa Indonesia harus mengimpor beras?—bukan malah mengekspor beras. Terdapat anggapan bahwa keingginan impor yang tinggi didorong oleh hasrat untuk mengeruk rente ekonomi yang besar. Anggapan itu mengandaikan data produksi padi BPS adalah sepenuhnya benar. Adapun anggapan lain mempersoalkan proses pengumpulan data produksi padi yang dilakuakn oleh BPS. Dengan kata lain, data produksi padi versi BPS tidak sepenuhnya tepat. Konsekuensinya, data statistik produksi padi versi BPS tidak layak dijadikan landasan membuat kebijakan.

Statistik produksi padi dihasilkan dari perkalian komponen utama: luas panen padi dikali dengan rata-rata hasil per hektar. Bisa saja ini merupakan hasil kompromi dua sistem berbeda yakni sistem yang digunakan Kementerian Pertanian dan BPS. Sebab data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari ubinan ukuran 2,5 x 2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektar. Hasil panen pada ubinan langsung ditimbang. Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Separuh dari sampel ubinan ini dikerjakan mantri statistik BPS, dan separuh sisanya dikerjakan mantri pertanian. Jadi, untuk memperoleh data yield rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel[4].

Kemudian Luas panen sepenuhnya dikumpulkan mantri tani dengan cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective measurement di lapangan. Dalam teori statistik, data ini termasuk catatan administrasi, sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi saat ini. Menurut berbagai studi, besarnya overestimate mencapai 17 persen[5]. Artinya, masih banyak data padi dan perberasan Indonesia yang kurang tepat.

Selain beras, anomali juga terjadi pada Jagung. Kementerian Pertanian RI dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI pada tanggal 25 Januari 2016 menyatakan bahwa produksi Jagung tahun 2015 diprediksi sebesar 19.833 ribu ton angka ini lebih tinggi 4,34 persen atau 825 ribu ton dibanding tahun 2014. Namun jika dikalkulasikan dengan kebutuhan jagung nasional sekitar 20.244,4 ribu ton maka masih mengalami defisit 411,1 ribu ton. Melalui logika ini Bulog dan Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan impor Jagung sebanyak 600.000 ton di awal tahun 2016 ini. Lalu mengapa harus 600.000 ton? padahal hitungan diatas kertas Indonesia hanya membutuhkan 411,1 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan jagung nasional. Hal ini terjadi karena data belum secara utuh merepresentasikan kenyataan di lapangan. Dalam artian, sangat fatal jika kebijakan pangan diputuskan menggunakan data yang seperti itu. Oleh karena itu, data pangan merupakan elemen penting dasar penentu kebijakan pangan.

[1] bps.go.id
[2] wapresri.go.id
[3] wapresri.go.id
[4] Khudori, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
[5] Sastrotaruno dan Maksum, 2002

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun