Pertentangan atau polemik pada dasarnya merupakan wujud atau representatif dari suatu dialektika olah pikiran. Perdebatan yang berkaitan dengan polemik kebudayaan mempunyai inti menyangkut masalah identitas sebagai bangsa sebagai wujud yang mewakili dialektika olah pikir berkaitan dengan nasib atau kondisi bangsa dan mengenai Indonesia di masa depan sudah terpantau adanya taraf kedewasaan serta kematangan dalam pertukaran argumentasi pemikiran. Pemikiran tentang politik kebudayaan dan  identitas ke-Indonesiaan salah satunya berasal dari pemikiran seorang seniman dan sastrawan terkemuka, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana.
Pada sekitaran tahun 1930 terdapat gagasan terkait identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang masih sebatas impian semata, dimana terdapat suatu gagasan atau hasil olah pikir dari seorang Sutan Takdir Alisjahbana yang terdiri atas sebagai berikut. Berdasarkan pendapat dari Sutan Takdir dinyatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan baru merupakan masyarakat dan kebudayaan Indonesia Raya, dimana yang tergambar dalam hati semua penduduk kepulauan atau Hindia Belanda utamanya yang menginginkan tempat yang layak bagi negeri dan bangsanya serta berdampingan dengan bangsa lain. Indonesia tentunya diartikan jelas terlepas dari semua bungkusan dan tambahan yang membuat kabur atau tidak jelas. Terdapat bentuk pengartian dari nama Indonesia yang sangat kacau.
Kata Indonesia menurut para ilmuwan digunakan untuk mencakup seluruh penduduk di suatu daerah yang membentang dari Pulau Formosa hingga Pantai Samudra Hindia serta dari Madagaskar hingga Papua Nugini. Definisi atau arti dari kata "Indonesia" dapat dikatakan sangat luas dan kabur. Pada dasarnya semua hal yang telah ada dan terjadi, dimana tentunya semuanya yang pernah ada dan terjadi di lingkungan Kepulauan Hindia Belanda telah diberi nama Indonesia. Hal tersebut memunculkan rasa kecemasan atau kekhawatiran dari Sutan Takdir tentang penyederhanaan makna dari kata Indonesia oleh orang Hindia Belanda pada waktu itu.
Terdapat suatu gugatan yang diutarakan dengan mengatakan bahwa telah terjadi fenomena yang kurang tepat saat para tokoh yang hidup di masa lalu yang dapat diambil contoh misalnya, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Gajah Mada, Teuku Umar, dan yang lainnya dapat dianggap telah berjuang untuk Indonesia. Sutan Takdir memiliki pandangan bahwa para tokoh yang telah disebutkan tadi belum tentu berjuang untuk Indonesia dalam artian Indonesia yang telah menjadi cita-cita maupun yang telah dipahami oleh semua orang pada waktu itu yang tepatnya pada sekitaran tahun 1930. Terdapat suatu contoh yang dapat diambil misalnya, Tuanku Imam Bonjol berjuang hanya untuk Minangkabau, tetapi bukan mewakili Sumatera secara keseluruhan apalagi Indonesia.
Sutan Takdir memiliki pandangan bahwa tidak ada fakta pendukung yang dapat meberikan jaminan dari masing-masing pejuang untuk dapat melakukan kerjasama dan tidak melakukan aksi menyerang diantara sesamanya karena apabila terdapat suatu kesempatan sangat dimungkinkan mereka akan saling menyerang. Adanya aktivitas pembangunan candi atau keindahan musik gamelan menurut Sutan Takdir belum dapat dibuktikan telah merepresentasikan kepada keindonesiaan. Sutan Takdir juga telah menulis buku Hang Tuah yang berdasarkan ukuran dimasa tahun 1930 dapat dinyatakan sebagai anti terhadap Indonesia karena ada bagian dari buku yang menghina suku dalam wilayah Kepulauan Hindia Belanda.
Banyak orang yang telah gegabah mengkaitkan setiap fenomena atau peristiwa sebagai aktivitas yang bersemangat keindonesiaan. Banyak juga orang menurut Sutan Takdir yang telah memasukkan beberapa hal yang tidak memiliki kaitan dengan perasaan keindonesiaan. Hal semacam ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, maka pengertian Indonesia yang sesungguhnya menurut Sutan Takdir dianggap telah menjadi kabur dan cerai-berai. Banyak orang yang penasaran dan ingin memahami kata keindonesiaan atau Indonesia seperti apa yang telah menjadi cita-cita apabila pengertian kata Indonesia yang telah ada diragukan atau ditolaknya.Â
Sutan Takdir Alisjahbana memiliki jawaban tersendiri mengenai semangat "keindonesiaan" itu merupakan salah satu hasil ciptaan generasi abad k- 20 yang juga sebagai perwujudan kebangkitan jiwa dan tenaga. Persoalan yang berkaitan dengan keindonesiaan menurut Sutan Takdir juga bukanlah keberlanjutan atau penerusan dari zaman sebelumnya. Terdapat suatu pernyataan yang datangnya dari Sutan Takdir dan sulit diterima oleh banyak orang tentang "Cap Indonesia" yang mandiri dan tidak memiliki hubungan atau pertalian dengan masa lampau. Upaya pelestarian peninggalan masa lalu mendapatkan tindakan pengabaian yang banyak dianggap sebagai wujud penghargaan warisan nenek moyang kemudian akan memunculkan tanggapan sebab yang tidak umum.
Sutan Takdir telah mengaitkan masa lalu dinyatakan telah membangkitkan perselisihan karena pada masa pra-Indonesia, bangsa yang tinggal di kepulauan Nusantara tidak pernah memiliki keinginan atau cita-cita dan pemiikiran bersatu serta berhubungan, sehingga tidak akan melahirkan kebudayaan dengan semangat tersebut. Kemauan bersatu yang mengandung semangat Indonesia dapat dianggap tidak memiliki urat akar pada masa lampau, tetapi sebaliknya memiliki tumpuan pada masa yang akan datang dengan harapan dapat berdampingan sejajar bersama bangsa lainnya di masa yang akan datang. Adanya keyakinan bahwa yang menjadi keinginan atau cita-cita tersebut hanya akan tercapai dengan persatuan dalam melakukan pekerjaan secara bersama.
Terdapat juga tokoh yang bernama Sanusi Pane telah memberikan tanggapan kepada hasil pemikiran Sutan Takdir yang berkaitan dengan keindonesiaan. Sanusi Pane menulis  artikel mengenai "Persatuan Indonesia" yang telah termuat dalam Suara Omoem edisi tanggal 4 September 1935. Pada tulisan tersebut terdapat ungkapan mengenai ketidaksetujuan apabila rasa keindonesiaan belum terdapat pada masa lampau. Sanusi Pane menyatakan bahwa pada masa lalu juga yang seperti zaman Majapahit atau zaman saat Diponegoro hidup dikatakan sudah ada istilah keindonesiaan, maka dengan argumen tersebut membuat pernyataan atau konsep dari Sutan Takdir tidak benar. Keindonesiaan dikatakan Sanusi Pane sudah ada, yaitu keindonesiaan dalam hal adat dan seni. Hanya saja bangsa Indonesia tersebut belum muncul. Sanusi Pane berpendapat bahwa orang Indonesia belum memiliki kesadaran mengenai kondisi yang sebangsa.
Poerbatjaraka menulis dalam artikel Sambungan Zaman yang telah mengarakan sorotnya kepada identitas Indonesia yang merupakan keberlanjutan dari masa yang sebelumnya. Ditegaskan juga bahwa kelanjutan itu ada serta tidak boleh dihilangkan dan perjalanan sejarah harus selalu dianggap ada. Manusia perlu sesekali menongok kepada masa yang lalu agar lebih memberikan arti pada masa yang sedang dialami dan untuk menyiapkan masa yang akan datang. Menururt Sanusi yang berguna bagi bangsa seharusnya dapat mengetahui jalannya sejarah dari dulu sampai masa kini. Pengetahuan tersebut membuat orang berusaha mengatur keadaan yang akan datang. Hanya pengetahuan tersebut yang membuat orang dapat memilih yang baik atau tidak bagi tanah air dan bangsanya dimasa depan. Terdapat pernyataan juga agar jangan mabuk kebudayaan kuno, tetapi juga jangan mabuk kebudayaan Barat. Perlu dipahami keduanya dan pilih yang baik dari keduanya agar dapat menggunakan secara baik di masa yang akan datang.
Adanya pernyataan yang berasal dari Poerbatjaraka membuat Sutan Takdir memberikan tanggapan pada dia bahwa dalam arti yang mutlak pada masa silam selalu memiliki hubungan dengan masa silam. Sejarah akan terus berlanjut dan sejarah merupakan perjalanan waktu yang tidak akan berhenti. Bentuk pemerintahan kuno telah tertutup, lenyap, dan tidak berlanjut, sehingga sejarah baru dimulai. berdasarkan arti tersebut dikatakan bahwa zaman pra-Indonesia tidak berlanjut dengan zaman Indonesia dan zaman pra-Indonesia sudah tertutup, sehingga saat ini dimulai zaman Indonesia. Kedua zaman terdapat perbedaan, dimana yang satu mengandung semangat Indonesia yang insaf  dan sadar, namun yang lain tidak. Perbedaan itulah disadari bahwa perbedaan tentang kebudayaan dan sejarah bukan seperti perbedaan dalam matematika misalnya antara lingkaran dengan segitiga yang pasti jelas bedanya. Pada sisi yang lain zaman pra-Indonesia dengan zaman Indonesia memiliki bentuk peralihannya walaupun batas keduanya telah kabur.