Dalam film dan acara TV, AI sering digambarkan sebagai entitas super inteligensia yang mampu menyelesaikan semua masalah secara instan. Namun, realitanya jauh dari gambaran tersebut, dan persepsi ini seharusnya tidak membentuk pandangan masyarakat tentang AI.
Kita harus sadar bahwa layaknya teknologi pada umumnya, AI juga punya kelemahan. Meskipun mampu beroperasi dengan efisien berdasarkan data dan algoritma, AI tidak memiliki emosi atau intuisi manusia. Kalau AI tidak memiliki emosi dan intuisi, bisa diartikan AI juga tidak dapat memahami konteks atau mengatasi situasi tak terduga dan kompleks.
Sebagai contoh, dalam kasus peristiwa bencana alam, AI mungkin bisa memberi peringatan dan rekomendasi tindakan yang bisa dipertimbangkan. Namun mengingat keputusan diambil bukan sekedar untuk memilih yang benar dan mengabaikan yang salah, AI tidak bisa memberi respons yang sesuai seperti halnya manusia.
AI Memang Bukan Alat Ajaib, namun Kehadirannya Jelas Mampu Mengubah Banyak Hal
AI jelas punya potensi besar untuk mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Misalnya saja dalam dunia kerja. Banyak perusahaan yang sudah menggunakan AI dalam proses perekrutan karyawan baru. Bahkan beberapa pekerjaan juga sudah mulai digantikan oleh AI.
Bagi beberapa jenis pekerjaan, adopsi teknologi AI telah membantu meringankan beban dan meningkatkan produktivitas. Tidak heran, rasanya hampir semua pekerja profesional kini rutin menggunakan AI untuk membantu pekerjaannya.
AI bisa menjadi alat bantu yang kuat untuk mencapai tujuan. Namun, kita harus paham kalau AI bukanlah alat ajaib yang bisa mengubah semua orang menjadi profesional dalam sekejap.Â
Penting untuk memiliki pemahaman yang tepat tentang keterbatasan dan kelebihan AI. Dengan begitu, kita bisa menggunakan teknologi ini dengan lebih bijak dan bertanggung jawab.
Bukan Hanya Perusahaan, Pekerja Juga Harus Memanfaatkan AI Habis-Habisan
Sejauh ini, pihak yang paling getol mendorong adopsi AI tampaknya lebih didominasi oleh perusahaan yang ingin meningkatkan efisiensi. Meski banyak golongan pekerja yang telah memanfaatkannya, tampaknya tidak sedikit yang masih anti.
Teknologi AI memang telah menghilangkan sumber mata pencaharian sebagian orang. Bahkan, tidak sedikit orang yang harus alih profesi demi tetap bisa membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan. Jadi tidak heran jika banyak yang marah dan membenci teknologi AI. Tapi, sampai kapan mau bersikap antipati?
Suka atau tidak suka, AI telah masuk ke dalam kehidupan manusia. Perubahannya nyata meski belum jelas akan sampai sejauh mana.
Jika perusahaan sudah memutuskan untuk totalitas mengembangkan dan mengadopsi teknologi AI ke dalam bisnisnya, tindakan serupa hendaknya juga harus dilakukan oleh golongan pekerja.