Mohon tunggu...
Angga Arie Saputra
Angga Arie Saputra Mohon Tunggu... -

Sharing Great News about Everything

Selanjutnya

Tutup

Money

Urbanisasi Musiman: Tren Penggerak Ekonomi Rakyat

22 Juli 2015   22:01 Diperbarui: 22 Juli 2015   22:58 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Raya Idul Fitri telah kita lalui, perayaan bagi kaum muslim Indonesia yang selalu diikuti dengan tradisi khas, mudik Lebaran. Kaum urban, yang selama ini mengadu nasib di kota-kota besar, seolah-olah senantiasa ikhlas setiap tahunnya bermacet-macet ria untuk kembali ke daerah asalnya. Ada sebagian yang memang bertujuan bersilaturahmi, me-recharge kembali baterai rohani dan spirit yang seolah telah habis untuk urusan duniawi di kota; ada juga yang memang ingin menunjukkan keberhasilannya menaklukkan kota kepada keluarga di kampung. Terlepas dari apapun motivasinya, memang kota telah menjadi asa untuk menangguk Rupiah, di mana menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 perekonomian kota menyumbang lebih dari 75% total GDP.

Menariknya, tradisi mudik selalu diikuti dengan arus balik di mana sebagian kaum urban ini dipastikan akan membawa sanak saudara atau kerabatnya untuk mengikuti jejak mereka, bermigrasi ke kota untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mencatat di tahun 2014 ada lebih dari 1 juta jiwa migrasi dari desa ke kota melalui arus balik ini. Hal ini terjadi tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di kota-kota besar lain seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan.

Arus urbanisasi yang begitu besar ini dapat kita analogikan sebagai sebuah mata pisau, bila dipandang sebagai hal yang negatif tentunya pisau ini digunakan untuk kepentingan yang kurang baik, akan tetapi jika kita lihat dari sisi positif tentunya akan membawa kebaikan, utamanya bagi sebuah bangsa besar, Indonesia pada akhirnya. Premisnya adalah bahwa arus urbanisasi ini dapat menjadi penggerak perekonomian Indonesia untuk merdeka dan mandiri dalam menghadapi tantangan ke depan.

Premis ini tentunya tidak berlebihan jika kita tilik trend global yang saat ini sedang terjadi. Dalam buku yang berjudul No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends karangan Richard Dobbs, James Manyika, dan Jonathan Woetzel, menjelaskan bahwa sistem ekonomi dunia saat ini sedang didefinisi ulang, utamanya oleh 4 disruptive trend, di mana salah satu trend utamanya adalah pola urbanisasi global, yang berfokus pada ekonomi kota di negara-negara berkembang, mulai dari Asia, Amerika Latin hingga Timur Tengah. Di Indonesia sendiri, arus urbanisasi musiman ini tentunya sudah tidak asing lagi dan seyogianya bangsa ini harus lebih siap dalam menghadapi dan memanfaatkannya.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tantangan Indonesia dalam mengelola arus urbanisasi agar menjadi penggerak ekonomi rakyat, yang pertama adalah faktor produktivitas pekerja. Menurut analisa McKinsey Global Institute, tingkat produktivitas pekerja Indonesia relatif sudah baik dengan tingkat pertumbuhan mengkontribusikan lebih dari 60% pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir. Akan tetapi hal ini tetap perlu ditingkatkan apabila ingin memenuhi target pertumbuhan GDP sebesar 6 – 7%. Tantangan kedua adalah perlunya pemerataan pertumbuhan jalur distribusi dan pemerataan infrastruktur, terutama untuk kegiatan ekonomi antar pulau. Dan yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan sumber daya, terutama untuk memenuhi kebutuhan dari kaum urban baru yang notabene merupakan pangsa pasar baru yang terus bertumbuh signifikan setiap tahunnya.

Produktivitas pekerja

Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, Indonesia membutuhkan kompetensi baru. Pertanyaannya adalah apakah kaum urban yang datang melalui arus balik ini mampu memenuhinya? Jika kita lihat, mayoritas kaum urban baru ini diserap oleh sektor manufaktur sebagai unskilled worker. Permasalahan timbul ketika satu generasi urban baru, yang datang relatif tanpa keterampilan, mau dibayar lebih rendah, akan mendorong pekerja yang telah ada sebelumnya, untuk setidaknya naik kelas atau justru malah tersingkir. Data Bank Dunia mencatat bahwa 84% pekerja di sektor manufaktur mengalami kesulitan saat akan naik kelas mengisi posisi manajerial dan 69% mengalami kesulitan saat dirotasi ke posisi baru.

Gap kompetensi dan tren saling menyundul yang terjadi karena tren urbanisasi musiman tentu perlu disikapi dengan bijak, tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh pelaku bisnis. Alih-alih memanfaatkan kaum urban baru sebagai sumber tenaga kerja murah, pelaku bisnis tentunya perlu juga memikirkan bagaimana peningkatan kompetensi dari tenaga kerja yang ada agar mampu mengisi posisi yang lebih tinggi yang pada akhirnya akan turut mendorong peningkatan kinerja perusahaan. Di sisi lain, pemerintah perlu juga mengambil langkah konkrit untuk terus meminimalisir gap kompetensi tenaga kerja Indonesia melalui pemerataan kesempatan dan kualitas pendidikan. Perlu sinergi saling membangun antara kalangan Akademisi, Bisnis, dan Pemerintah, lebih dikenal sebagai ABG-Connection (Academic-Business-Government), untuk menciptakan pendidikan yang: (1) difasilitasi oleh pengajar yang kompeten; (2) memiliki demand-driven-curicullum; (3) memiliki jalur dan metode fleksibel serta adaptif.

Jalur Distribusi Antar Pulau dan Pemerataan Infrastruktur

Dengan lebih dari 17,000 pulau, pertumbuhan kota dan desa, serta infrastruktur penghubung yang belum merata dan adanya potensi bencana, menjadikan Indonesia tempat dengan tingkat tantangan supply chain tertinggi.

Adanya urbanisasi musiman tentunya dapat dipandang sebagai potensi tersendiri. Perpindahan yang dilakukan secara masif menunjukkan bahwa bangsa ini sesungguhnya tidak segan untuk bekerja keras bagi penghidupan yang lebih baik. Dan sebagai langkah yang berjalan paralel, perbaikan jalur distribusi antar pulau dapat menjadi kunci untuk mengarahkan urbanisasi musiman ini ke arah pemerataan pembangunan, tidak hanya terpaku pada kota-kota besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun