Mohon tunggu...
Angga Firmansyah
Angga Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Alumni Matematika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya).|| Seorang yang mencoba Belajar memahami dan mencintai Kehidupan, membaca keadaan, memahami laku, memanfaatkan kebebasan dan menciptakan ruang imaji lewat goresan - goresan pena yang berisi fragmen - fragmen kata yang sedianya Melahirkan Setetes Kesan. || "Dum Vita Est Spes Est ." ("Di mana ada kehidupan di situ ada harapan")

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Maafkan Aku, Tuhan. Disini tidak ada Warung Kopi !

15 Mei 2016   23:35 Diperbarui: 1 April 2017   08:56 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan maafkan aku, disini tidak ada warung kopi, yang ada hanyalah kerumunan orang – orang lalu lalang yang sibuk sekali. Sibuk bekerja, mencari uang katanya, berusaha memenuhi kehidupan hidupnya imbuhnya, yang ada malah menumpuk uang dan harta begitulah menurut dia alasannya. Maafkan aku, Tuhan. Disini tidak ada warung Kopi. Yang ada hanyalah bangunan – bangunan megah dan gedung – gedung tinggi. Bangunan – bangunan yang tak lagi tertata rapi, gedung – gedung menyeruduk menjulang tinggi, tinggi sekali. Lalu bagaimana aku bisa tetap menikmati setiap sesapan kopiku hingga ke dasar cangkir, Tuhan !

Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi ! Lantas bagaimana aku bisa menikmati setiap nikmat yang engkau turunkan ke bumi ini lewat sebatang kretek. Nikmat dari mengulum dan menghisap dalam – dalam setiap kretek yang menjadi salah satu kuasamu, Tuhan ! Maafkan aku, yang tidak pandai mensyukuri nikmatnya kretek yang berasal dari rajangan tembakau yang dicampur dengan cengkeh terbaik yang berasal dari bumi bangsa ini, diselimuti oleh kertas papier dan ditaburi dengan saos kretek yang menjadikan salah satu ciri khas bangsa ini. bangsa yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Ditanam dan di linting dengan tangan – tangan petani indonesia. Yang entah kenapa hal itu yang memberikan rasa nikmat pada sebatang kretek. 

Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi !. Hingga aku tidak bisa duduk manis sambil menikmati secangkir kopi hitam. Tak bisa lagi ku berbincang masalah ringan seputar obrolan warung kopi hingga bicara tentang masalah negeri. Berbicara masalah cerita hari ini hingga masalah politik dan ekonomi. Maafkan Tuhan, kebiasaan bersosialisasi dengan orang lain kini semakin sedikit, Dialektika pikiranku semakin sempit, tetapi entah kenapa hidupku jauh dari kata irit. Maafkan aku Tuhan, mengapa engkau berikan cobaan pada hambamu ini. Belum lagi tidak adanya warung kopi, membuatku tidak bisa ngopi hingga dini hari. Maafkan aku sekali lagi, Tuhan. Yang tidak bisa menikmati satu lagi anugerah nikmatMu. Jangan hukum hambaMu ini apabila belum ngopi hari ini.  

Maafkan aku tuhan di sini tidak ada warung kopi ! Hingga terpaksa kunikmati anugerah nikmat yang bersumber dari kopi dan kretekmu di mall – mall dan gedung – gedung bertingkat. Maafkan aku, Tuhanku. Tidak adanya warung kopi, membuatku terbuai dengan dinginnya mall dan bangunan gedung bertingkat. Menikmati kopi di cafe – cafe dan kedai kopi. Begitulah orang – orang disini menyebutnya. Tidak ada lagi warung kopi. Sayangnya disini aku tidak dapat menyandingkan kopi dan kretek. Bukankah mereka sudah berteman sejak lama, lalu sekarang aku memisahkan mereka, Maafkan aku Tuhan, atas tindakan bodoh hambaMu ini.

Tuhan Maafkan aku, disini tidak ada warung kopi ! Walaupun begitu, terdapat rasa was – was dan harap cemas ketika aku menikmati kopi di cafe – cafe dan gedung bertingkat. Ada orang – orang yang tidak suka dengan banyaknya orang yang menjadi penggila kopi sehingga menginginkan bisnis kopi yang menjadi salah satu komoditas utama bangsa ini menjadi sepi pembeli. Dirancanglah berbagai fenomena baru untuk membuat orang – orang menjadi malas minum kopi. Dari kasus pemboman di salah satu gerai kopi milik paman sam yang terjadi di Sarinah, hingga kasus sianida yang dicampur dalam kopi oleh mirna yang menjadi buah bibir dan menjadi perbincangan khalayak ramai negeri ini di media viral. Maafkan mereka Tuhan, yang belum tahu nikmatnya aroma dan rasa biji kopi yang telah diseduh.

Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi !. Hingga terkadang demi menyandingkan kopi dengan kretek, hambaMu ini terpaksa menyeduh dan mengaduk kopi sendiri. Tidak ada lagi biji kopi hitam yang dipilih dari biji kopi terbaik oleh petani kopi, dipanggang dan digiling hingga menjadi bubuk kopi hitam yang berasal dari kampung halaman. Itu semua karena aku tidak menemukan kopi hitam di cafe – cafe itu. Yang terpampang di menu hanya Americcano,Espresso, Macchiato, coffe latte, Moccacino, Kopi Tubruk hingga Capuccino. Begitulah mereka menyebutnya. Tidak ada Kopi Hitam disitu. Hingga terkadang mereka memberikan filosofi di setiap jenis minuman kopi, seperti filosofi kopi tubruk, kopi tubruk itu kopi yang lugu, kopi yang sederhana. tetapi kalau kita mengenalnya lebih dalam dia sangat memikat. kopi tubruk sama sekali tidak mempedulikan soal penampilan. Membuatnya gampang tinggal diseduh. Capuccino, kopi yang genit. Ketebalan dan tekstur form harus presisi butuh standar penampilan yang tinggi, capuccino harus terlihat seindah mungkin karena capuccino kopi yang cocok untuk orang yang suka keindahan sekaligus kelembutan [*]. Tetapi bagiku yang terbaik tetap kopi hitam karena kopi hitam melambangkan kemurnian tanpa campuran apapun dinikmati dengan pahit maupun manis tetap sama saja memberikan aroma yang tak terlupakan. Kopi hitam melambangkan kepahitan yang harus diterima setiap manusia dalam hidup. Ah, Sudahlah kopi tetaplah kopi, filosofi tersebut hanya buatan manusia. Biarlah manusia yang menikmatinya memberikan filosofi terhadap kopi kesukaannya sendiri. Maafkanlah aku, Tuhan yang telah lancang memberikan filosofi terhadap ciptaanmu. Maafkan aku tuhan ! ibadahku tak lagi khusyuk saat aroma kopi mengganggu indera penciumanku.

Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi ! hingga tak terasa kopiku tersisa ampas kopi yang tertinggal mengendap di dasar cangkir dan kretek ku malam ini yang dari tadi kukulum dan ku hisap dalam – dalam hingga memenuhi rongga – rongga paru – paru dan otakku, kini tinggal satu batang. Maafkan aku tuhan, hambamu ini yang telah mengubah cara menikmati kopi, karena disini tidak ada lagi warung kopi.

Maafkan aku Tuhan, aku tidak bisa menyuguhkan secangkir kopi malam ini.

Tangerang, 15 Mei 2016 | 22:27 

 [*] Filosofi Kopi, Dee Lestari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun