Mohon tunggu...
Angga Firmansyah
Angga Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Alumni Matematika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya).|| Seorang yang mencoba Belajar memahami dan mencintai Kehidupan, membaca keadaan, memahami laku, memanfaatkan kebebasan dan menciptakan ruang imaji lewat goresan - goresan pena yang berisi fragmen - fragmen kata yang sedianya Melahirkan Setetes Kesan. || "Dum Vita Est Spes Est ." ("Di mana ada kehidupan di situ ada harapan")

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Petite Historie: Pers Mahasiswa, Berbincang Tentang Persma di Bumi Indonesia

6 Desember 2015   20:30 Diperbarui: 6 Desember 2015   21:32 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mahasiswa adalah sebuah entitas yang melekat kepada orang – orang yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Tidakkah salah kaum yang mengatasnamakan dirinya kaum intelektual ini menjadi sebuah kelas baru dalam sistem sosial masyarakat yang kini di identikkan menjadi sebuah jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat.

Menilik dari sejarah bangsa kita, peran mahasiswa dan pemuda memilik sebuah kekuatan dan peranan penting dalam dinamika perkembangan dan pembangunan bangsa Indonesia dimulai dari masa kolonial hingga yang terjadi pada detik ini. Pers maupun jurnalistik merupakan salah satu alat perjuangan yang sangat penting dan telah digunakan dalam perjuangan/pergerakan para pendahulu kita. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang pers dan sejarah pers mahasiswa di negeri kita, kelahiran pers di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan dan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia merebut sebuah kebebasan yang bernama ‘kemerdekaan’.

Tidak seperti di belahan dunia lain, pers di Indonesia lahir dengan semangat untuk menentang penindasan dan penjajahan. Dimulai pada Januari 1907, surat kabar pertama kali didirikan oleh Raden Tirto Adhi Soeryo yang bernama Medan Prijaji. Kehadiran Medan Prijaji ini menjadi sebuah tonggak awal dijadikannya pers sebagai alat juang pergerakan kemerdekaan. Medan Prijaji merupakan surat kabar berbahasa melayu (Bahasa Indonesia) pertama yang terbit dengan format mingguan tiap Hari Jum’at di Bandung pada tahun 1907 hingga 1912.

Mengangkat kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin, membedah peraturan hukum Hindia Belanda sehingga kalangan pribumi tidak gampang dijerat dan dibodohi, hingga pemuatan karya sastra yang menyuarakan kepentingan rakyat (dimana tidak jarang diadaptasi dari sebuah kisah nyata) sehingga suara yang digaungkan Medan Prijaji ini melontarkan sebuah kritik keras akan kesewenang – wenangan dan ketidakadilan pemerintahan kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Kisah perjuangan dan kehidupan Raden Tirto Adhi Soerjo serta proses dalam pendirian Medan Prijaji pun kemudian secara klise dibukukan dengan diperankan oleh tokoh bernama Minke dalam buku ‘Tetralogi Buru’ yang ditulis oleh sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Apabila kita definisikan secara luas Pers Mahasiswa sebagai sekelompok mahasiswa yang melakukan sebuah praktek jurnalistik, sudah hadir puluhan tahun sebelum universitas-universitas formal di Indonesia berdiri. Hal ini dikarenakan hingga tahun 1920an belum ada Perguruan Tinggi yang didirikan oleh rezim kolonial Hindia Belanda.

Bermula dari kalangan pribumi kaya yang mendapatkan berkah dari politik etis dari Belanda sehingga mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di negeri Belanda, beberapa mahasiswa berkumpul dengan dasar persamaan kesadaran dan perjuangan untuk merdeka dari penjajah. Mereka mendirikan organisasi sosial bernama Indische Vereniging pada tahun 1908 dimana organisasi ini kemudian berkembang menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Tokoh yang terkenal dari PI sendiri yaitu Mohammad Hatta, Suran Sjahrir, Ali Sastroamidjojo dan Soetomo.

Hal yang diserukan oleh PI dari awal berdirinya yaitu tentang bagaimana melepaskan cengkraman kolonialisme yang menjerat bangsa indonesia kala itu. Ide gagasan dan pemikiran itu lalu diterbitkan dalam surat kabar bernama majalah Hindia Poetra. Hingga Hindia Poetra ini berubah nama menjadi Indonesia Merdeka dengan menerbitkan salah satu edisi khusus yang sampai sekarang dikenal dengan nama Manifesto 1925.

Isi Manifesto 1925 sendiri yaitu : (1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun dan; (3) Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sukar dicapai.

Dari awal berdirinya hingga akhirnya pucuk pimpinan PI ditangkap oleh Belanda, selebaran – selebaran Hindia Poetra maupun Indonesia Merdeka disebarkan secara sembunyi – sembunyi baik di Belanda maupun di tanah air. Begitu juga di zaman penjajahan Jepang pada periode 1942-194, mahasiswa di tanah air yang hanya berjumlah 387 sampai 637 orang menghadapi represi tinggi dari rezim fasis yang ada.

Mereka tetap bergerilya di bawah tanah dengan menyebarkan selebaran-selebaran gelap dan sebagian berkegiatan dengan membentuk kelompok - kelompok diskusi. Hingga Indonesia merdeka dan dalam proses mempertahankan kemerdekaan cara – cara pers/jurnalistik kerap digunakan sebagai alat perjuangan serta mampu meluncurkan propaganda yang dianggap paling efektif dalam membentuk kesadaran masyarakat melawan penindasan dan penjajahan. Di masa kolonialisme Belanda dan Jepang juga terbit beberapa harian atau surat kabar yang muncul seperti Sarotomo, Soeloh Indonesia dan Daulat Ra'jat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun