Mohon tunggu...
Angel Pho Wijaya
Angel Pho Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknologi Pangan, Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Mahasiswa Semester 7 Teknologi Pangan, Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bakteri Penyebab Sakit Perut Bisa Bikin Cantik?

31 Oktober 2024   13:59 Diperbarui: 31 Oktober 2024   14:02 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah kalian pernah mendengar tentang suntik botox? Botox itu apa ya sebenarnya?

Botox adalah sejenis perawatan wajah atau prosedur estetika yang dilakukan dengan penyuntikkan toksin dari bakteri yang biasanya ada di produk makanan dan minuman kaleng, yaitu Clostridium botulinum. Botox bisa dimanfaatkan untuk mengurangi kerutan dan garis pada wajah. 

Botulinum neurotoxin tipe A (BoNT/A) bekerja dengan membuat otot menjadi kaku dan sulit untuk digerakkan (paralisis) dengan cara menghambat pelepasan senyawa tertentu dari sel saraf manusia yang berkaitan dengan kerja otot (Brin & Burstein 2022).

Secara ilmiah, sistem saraf manusia bisa menghasilkan sebuah senyawa, yaitu asetilkolin yang akan dibungkus di dalam sebuah kantung. Dalam kondisi normal, kantung akan mengeluarkan isinya untuk menghasilkan efek motorik pada tubuh. 

Akan tetapi, dalam botox, produksi asetilkolin akan terhambat. Hal ini bisa terjadi karena toksin akan ikut terbawa masuk ke dalam kantung untuk memotong protein SNAP-25 pada ujung saraf sehingga asetilkolin tidak bisa dilepaskan (Brin & Burstein 2022).

Produksi dan Pengujian Botox

Selain botulinum neurotoxin A, terdapat juga botulinum neurotoxin B dari bakteri Clostridium botulinum yabg biasa dimanfaatkan dalam dunia medis dan kecantikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Webb (2016) mengenai produksi dan pengujian botox, gen toksin dari Clostridium botulinum diisolasi dan dimasukkan ke rumah baru yang disebut vektor DNA, lalu dimasukkan ke dalam makhluk hidup, di mana untuk memeriksa efek dari toksin tersebut, digunakan sel bakteri Escherichia coli (E. coli), lalu ditumbuhkan.

 Setelah diinkubasi selama beberapa waktu pada suhu optimumnya, protein dari gen tersebut sudah dapat dikatakan terekpresi, sehingga protein tersebut akan dibersihkan untuk mengubah toksin yang semula mematikan menjadi jinak. Terakhir, toksin yang sudah jinak harus diuji aktivitas dan kualitasnya menggunakan wadah berupa sel sebelum dilakukan uji klinis menggunakan manusia.

Nah, botox sendiri diproduksi dengan cara yang melibatkan teknik yang tidak mudah, yaitu teknik rekayasa genetika khususnya teknik rekombinan. Teknik tersebut membantu para ilmuwan untuk menghasilkan botulinum neurotoxin atau botox dalam jumlah yang besar. 

Selain itu, secara alami toksin yang dihasilkan untuk produksi botox secara langsung dari bakteri aslinya tidak dapat dikontrol dan berbahaya jika tidak ditangani, maka dari itu dilakukan teknik rekombinan agar produksi botox bisa menjadi lebih aman dan terkendali. Makanya, penting sekali untuk memiliki pemahaman mendalam mengenai teknik-teknik tersebut agar botox yang dihasilkan tidak merugikan untuk khalayak umum. 

Dari uji tersebut, didapatkan rancangan tiga dimensi TAT-BoNT/A yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian protein atau peptida TAT dan dua bagian lain yang dimanfaatkan sebagai akses terhadap protein TAT itu sendiri. Bagian tengah struktur tiga dimensi ini juga dilengkapi dengan hasil rekombinan domain atau daerah tempat enzim dari botulinum neurotoxin A bekerja (Saffarian et al. 2016).

Dalam penelitian ilmiah, umumnya para ilmuwan melakukan uji menggunakan bakteri Escherichia coli untuk melihat ekspresi protein yang telah disisipkan. Jika berhasil mengekspresikan dirinya, bakteri yang mengalami penambahan gen TAT-BoNT/A dapat dimasukkan ke dalam kultur jaringan sel hidup, atau bahkan langsung ke mahkluk hidup seperti tikus. 

Selain itu, efektivitas protein yang dibuat juga dapat dideteksi dengan aktivitas enzimatisnya, lalu dibandingkan dengan kondisi sebelum penggabungan (Saffarin et al. 2016). Ternyata, dari hasil penggabungan atau rekombinan dari protein TAT ke dalam sel, dapat ditemukan sejumlah hasil positif yang berhubungan dengan aplikasinya pada perawatan botox. 

Pertama, protein rekombinan botoks ini bersifat lebih ramah daripada toksin botoks yang biasanya ditemukan karena cenderung tidak mengundang aktivitas respon imun seperti peradangan. 

Untuk suatu obat bisa masuk ke dalam sel kulit, bahan aktifnya harus bisa berinteraksi dengan lapisan selnya. Pada hasil rekombinan ini, kadar protein yang masuk memang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak, namun justru hal ini menjadi hal yang baik karena dinding sel jadi tidak mudah rusak. 

Kedua, walaupun sedikit yang masuk, tapi dosis ini sudah mencukupi, bahkan lebih efektif dibandingkan injeksi botoks yang biasa. Lalu, aktivitas protein toksin yang masuk akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu dan menghasilkan efek yang diinginkan. 

Ditambah lagi, modifikasi dari bentuk strukturnya membuat protein ini menjadi semakin spesial karena bisa lebih mudah diakses, dan dengan begitu reaksi akan lebih cepat bereaksi, lebih aktif, dan lebih efektif (Saffarian et al. 2016).

(Nestor et al. 2020)
(Nestor et al. 2020)
Kelebihan & Kelemahan Botox

Penggunaan botox pada kulit, terutama kulit wajah memiliki manfaat untuk mengencangkan dan meremajakan kulit wajah dengan mengurangi kerutan. Tetapi, botox juga dapat digunakan dalam terapi kelainan pada sel, otot, dan jaringan (Bentivoglio et al. 2015). 

Tentu saja terdapat juga kelemahan dari suntik botox, seperti tidak cocok untuk dilakukan pada orang-orang yang tidak tahan akan rasa sakit karena penyuntikannya harus dilakukan dalam kurun waktu 3-6 bulan sekali untuk menjaga kinerja toksin yang digunakan. 

Tetapi, terkadang botox juga dapat dimanfaatkan sebagai agen pereda nyeri pada anak-anak yang menderita spastisitas, yang merupakan kondisi otot yang tegang dan kaku, serta tidak bisa digerakkan seperti kram jangka panjang. 

Selain itu, penyuntikan botox berlebih dapat menyebabkan resistensi botulinum neurotoxin A, sehingga harus digunakan botulinum toxin B yang memiliki kemunkinan efektivitas lebih tinggi walaupun mekanisme dan manfaat yang diperoleh dari botulinum toxin B belum dinyatakan aman secara klinis (Bentivoglio e tal. 2015; Moreira et al. 2016).

Produk Botox Komersil

Sekarang botox sudah banyak beredar, namun perlu diperhatikan tipe dari botoxnya. Karena botox sendiri memiliki berbagai tipe, salah satunya tipe A dan B. Tipe A biasa digunakan untuk bidang kecantikan seperti mengurangi kerutan dan facial contouring. Produk komersial dari botox tipe A (BoNT-A) sudah banyak, beberapa contohnya adalah Dysport, Botox, Xeomin, dan Jeaveau. 

Sedangkan tipe B (BoNT-B) digunakan untuk bidang kesehatan seperti mengobati gangguan otot pada pasien khususnya cervical dystonia. Saat ini hanya satu produk saja yang sudah tersedia secara komersial dan terlah disetujui untuk digunakan dalam dunia medis, yaitu Myoblock (Bentivoligo et al. 2015).

Secara singkat, botox atau Botulinum neurotoxin A memiliki manfaat dalam bidang kecantikan maupun medis. Dalam bidang kecantikan, botox dimanfaatkan untuk mengurangi garis-garis halus, serta kerutan pada wajah agar kulit wajah menjadi lebih kencang dan terlihat lebih muda. 

Di bidang medis, botox berperan dalam pengobatan beberapa kondisi seperti spastisitas, yaitu ketegangan otot berlebih yang sulit diatasi dengan metode terapi konvensional. Teknik produksi botox kini juga telah berkembang menggunakan rekayasa genetika rekombinan yang membuat prosesnya lebih aman dan terkendali. 

Dengan teknik ini, toksin yang dihasilkan dapat diproduksi dalam lingkungan laboratorium secara terkontrol sehingga risiko efek samping berbahaya bagi pengguna dapat dikurangi. Meskipun bermanfaat, botox memiliki kelemahan, di mana efek suntikannya tidak bersifat permanen dan umumnya hanya bertahan dalam hitungan bulan, sehingga perlu dilakukan perawatan berulang supaya hasil yang diinginkan tetap terlihat. 

Selain itu, terdapat juga risiko tubuh menjadi kebal terhadap botulinum neurotoxin A meningkat dan menurunkan efektivitas pengobatannya jika terlalu sering dilakukan. Jika tubuh kita sudah kebal dari botulinum neurotoxin A, harus digunakan botulinum neurotoxin B. Namun, efektivitas dan keamanannya ini masih perlu diteliti lebih lanjut agar penggunaannya aman dalam jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun