Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk penambahan pembiayaan kesehatan merupakan salah satu kebijakan yang sedang diperbincangkan oleh pemerintah. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.Â
Cukai saat ini memiliki porsi penerimaan negara dari pajak yang cukup besar yaitu sekitar 9-10 persen atau sekitar 143 triliun rupiah menurut data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 2016. Kemudian untuk pajak, realisasi penerimaan pajak pada tahun 2020 mencapai 1.070 triliun rupiah atau sama dengan 89 Persen dari target APBN.
Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk penambahan biaya kesehatan merupakan suatu kebijakan yang baik, karena bisa meningkatkan kualitas kesehatan Indonesia. Dengan hal tersebut, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat terjadi. Selain itu, pemanfaatan Pajak dan Bea Cukai ini diharapkan dapat mengendalikan konsumsi rokok. Oleh karena itulah mengapa pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai ini merupakan suatu kebijakan yang baik.
Pada tanggal 13 Desember 2021 rapat internal kabinet yang dipimpin Presiden RI menghasilkan keputusan bahwa pemerintah telah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2022 naik rata-rata 12,5 persen. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, dalam sebuah wawancara pada Jumat (07/01), mengungkapkan beberapa hal penting di balik keputusan tersebut. Kenaikan tarif cukai tersebut, menurut Nirwala telah mempertimbangkan aspek kesehatan, keberlangsungan tenaga kerja, pemberantasan rokok ilegal, dan penerimaan negara.Â
Di bidang kesehatan, kenaikan cukai ini diharapkan meningkatkan fungsi cukai yang sesungguhnya, yaitu pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran terhadap barang berbahaya yang mengganggu kesehatan masyarakat, khususnya rokok. Hal ini juga merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7 persen di tahun 2024. penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7 % di tahun 2024.
Tetapi, pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai ini dapat memberikan efek yang negatif. Tanpa adanya peraturan yang ketat terkait usia legal penggunaan rokok dan juga batasan jumlah konsumsi rokok, maka pemanfaatan tersebut akan menjadi kurang efektif.
Karena berdasarkan tujuan dari pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai ini, yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan prevalensi merokok, maka tujuan tersebut tidak akan tercapai. Di tengah kontroversi rancangan undang-undang tembakau, data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN mengungkapkan lebih 30% anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun. Jumlah itu mencapai 20 juta anak.
Jumlah fantastis itu merunut pada data jumlah anak Indonesia usia 0-14 tahun berdasarkan sensus 2010, yang melebihi 67 juta orang. Kemudian pada 2019 tercatat jumlah konsumsi rokok naik 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 331,9 miliar batang. Konsumsi rokok pada tahun 2019 mencapai 356,5 miliar batang.
Oleh karena itu, dalam kasus ini, pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk penambahan pembiayaan kesehatan merupakan hal yang dapat diterapkan dan tetap dapat mencapai tujuannya jika diseimbangkan dengan pemberian solusi untuk permasalahan mengenaik peredaran rokok.
Mekanisme cukai merupakan jawabannya. Produsen rokok diwajibkan memiliki izin NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai) agar dapat dikontrol produksi serta pengeluarannya ke perdagangan bebas. Selain itu produsen rokok juga harus sanggup membayarkan beberapa pungutan negara atas rokok yang akan dikeluarkannya, pungutan-pungutan tersebut diantaranya Cukai, Pajak Rokok, dan PPN Hasil Tembakau.
Sumber: