“Pak, nanti setelah bapak menikah, aku mau pindah sekolah!” ujar Tono.
“Baik, kamu mau pindah sekolah dimana nak?” sang ayah merespon.
“Di jakarta pak…”
Kagetnya ayah, jantungnya serasa melompat keluar dari rongga dada.
“Untuk apa kamu pindah sekolah jauh-jauh?” tanya ayah Tono dengan sedih. “Lagipula, kamu tidak punya siapa-siapa di sana. Kita tidak punya sanak saudara di Jakarta.” nada ayah agak meninggi.
“Yang penting bawa uang pak, saudara bisa dicari kalau banyak uang,” kata Tono seperti sangat yakin dengan ucapannya.
Sebenarnya, Tono tak suka meninggalkan kampungnya yang tentram, tapi untuk apa jika hatinya tak lagi bisa merasa tentram ada di situ. Dia takut ibu tirinya jahat!
Akhirnya, dengan berat hati, bapak melepas juga kepergian Tono ke Jakarta. Berbekal uang dan juga salinan surat-surat pribadinya, Tono nekat berangkat sendiri.
“Biar bapak antar kamu sampai Jakarta, lalu bapak carikan sekolah dan tempat tinggalmu,” desak ayah.
“Ndak pak, aku sudah besar, bisa aku atur sendiri semua. Asal ada uang.” tangan Tono bergetar menahan rasa sedihny.
Sungguh sakit hati Tono mengatakan hal itu pada sang ayah, dia terpaksa mengatakan hal itu, sebenarnya, dia tak suka menyakiti hati ayahnya, dia bukan anak durhaka.