Mohon tunggu...
Angelita Zefanya J
Angelita Zefanya J Mohon Tunggu... Lainnya - Student

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAJY'19

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demonstrasi sebagai Budaya Kolektivisme dan Future Orientation

11 Oktober 2020   16:26 Diperbarui: 11 Oktober 2020   16:30 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demonstrasi atau aksi unjuk rasa sudah bukan sesuatu yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia berpegang teguh kepada prinsip kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dan aksi unjuk rasa merupakan suatu bentuk nyata dari rakyat menyampaikan aspirasi mereka dalam proses demokrasi di negara ini. 

Menurut Boner (dalam Viranita, 2008, hlm. 324) ketika masyarakat tidak puas terhadap lembaga yang ada karena lembaga itu tidak lagi memenuhi kebutuhan mereka, maka masyarakat berkeinginan untuk mengubah kondisi kehidupannya. 

Aksi unjuk rasa atau demonstrasi ini merupakan sebuah bentuk gerakan sosia, dimana gerakan sosial ini mencerminkan suatu usaha mencari-cari dalam kegelapan untuk membuat sebuah tatanan sosial baru (new social order) dan mengubah lembaga yang dianggap sebagai sumber ketidakpuasan mereka.

Kita ambil contoh kejadian beberapa hari yang lalu, masyarakat Indonesia digemparkan dengan berita terkait pengesahan UU Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja melalui rapat paripurna senin, 5 Oktober 2020. 

Berbagai reaksi muncul dari publik, sehingga bagi mereka yang kontra terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, mereka (kaum buruh dan mahasiswa) melakukan aksi unjuk rasa di beberapa daerah dengan tujuan agar pemerintah mendengarkan aspirasi mereka. 

Aksi unjuk rasa di Indonesia sudah menjadi hal yang wajar, terlepas dari campur tangan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam merusak fasilitas umum, demonstrasi atau aksi unjuk rasa memang merupakan bagian dari sistem demokrasi di Indonesia.

Bila dianalisis dalam konteks komunikasi antar budaya, suatu kegiatan demonstrasi menganut nilai Future orientation dan Kolektivisme. Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (dalam Samovar, 2017, hlm. 218) Future orientation merupakan nilai budaya yang berorientasi pada masa depan, orang yang menganut kebudayaan ini biasanya menghargai apa yang akan datang dan masa depan diharapkan lebih baik dari masa kini maupun masa lalu. 

Bila dilihat dari sudut pandang tujuan dari para demonstran melakukan aksi unjuk rasa, mereka menganut nilai future orientation. Aksi unjuk rasa yang dilakukan pada umumnya mengharapkan adanya perubahan yang terjadi di masa depan, seperti misalnya, aksi unjuk rasa kaum mahasiswa dan buruh terhadap Omnibus Law. 

Dasar dari aksi unjuk rasa yang dilakukan adalah adanya keprihatinan terhadap rakyat kecil yang akan terkena dampak dari Omnibus Law pada masa yang akan datang. Hal ini menjadikan yang membentuk tujuan dari aksi unjuk rasa agar pemerintah dapat membatalkan Omnibus Law. Sedangkan nilai kolektivisme, 

Menurut Hofstede (dalam Samovar, 2017, hlm. 225) budaya kolektivisme menekankan keanggotaan kelompok, dan ketergantungan individu secara emosional dan fisikal terhadap organisasi dan institusi. Dalam melakukan aksi unjuk rasa, masyarakat tidak dapat menyuarakan aspirasi mereka secara individu. Rakyat bergabung menjadi satu kesatuan yang kemudian menyuarakan suara mereka lewat aksi tersebut, hal ini sesuai dengan konsep kolektivisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun