Mohon tunggu...
Angelica Putri
Angelica Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Konten favorit saya adalah yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pawang Hujan, Sebuah Tradisi yang Perlu Dipercayai?

23 Mei 2022   15:06 Diperbarui: 23 Mei 2022   15:07 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dan keberagamannya

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan suku, budaya, dan agama. Sejak zaman dahulu Indonesia sudah memiliki kearifan lokal dari setiap suku yang ada di masyarakat secara turun-temurun dari zaman nenek moyang. Bangsa Indonesia dengan beraneka ragam suku bangsa ini mengakibatkan kebudayaan Indonesia juga beragam. Dengan kata lain Indonesia kaya akan kebudayaan, dimana kebudayaan yang ada dapat menjadi suatu ciri khas tersendiri dalam suatu bangsa.

Setiap budaya pasti memiliki nilai tradisi masing-masing yang merupakan warisan dari leluhur. Nilai dari tradisi diwariskan secara lisan terhadap kebiasaan, kepercayaan, pikiran, kesenian, tarian dari generasi yang satu ke generasi lain atau dari leluhur ke anak cucu. Tradisi mengandung nilai, norma, adat istiadat, dan keyakinan dari suatu kebudayaan masyarakat. Tradisi memegang peranan yang penting dalam perkembangan suatu bangsa sehingga tidak perlu untuk dijabarkan lagi karena tradisi merupakan suatu akar dari perkembangan budaya yang ada sekaligus sebagai kepribadian atau ciri khas suatu bangsa (Murgiyanto, 2004: 15). 

Fenomena Pawang Hujan

Akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan mengenai fenomena pawang hujan di Sirkuit Mandalika. Aksi Rara Isti Wulandari, sang pawang hujan mengundang banyak perhatian dari penonton MotoGP Mandalika 2022. Ritual pawang hujan ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Seperti terdapat ritual menangkal hujan dengan membalikkan sapu lidi dan diberi bawang merah serta cabe merah berukuran besar. Ritual ini biasanya digunakan ketika ada acara besar seperti pernikahan, tradisi-tradisi daerah, konser, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar selama acara berlangsung tidak turun hujan. Sama seperti pawang hujan yang tugasnya adalah mencegah atau memindahkan hujan.

Pawang hujan dianggap mampu untuk memindahkan dan menahan hujan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Biasanya, hujan tersebut dipindahkan ke daerah lain atau ke hutan agar acara yang akan diselenggarakan tidak terkendala oleh hujan. Ritual pawang hujan menggunakan cara yang sifatnya metafisik dimana terbilang sulit bagi akal sehat kita untuk mencernanya. Meskipun begitu, jasa dari pawang hujan ini dianggap ampuh oleh sebagian orang yang sudah menggunakannya.

Pawang hujan merupakan seseorang yang dianggap dan dipercaya memiliki ilmu gaib serta dapat mengendalikan cuaca. Pengendalian cuaca dilakukan dengan cara memindahkan awan. Ritual panggil maupun tolak hujan sebenarnya tidak hanya terjadi di masyarakat Indonesia saja, akan tetapi juga di mancanegara. Ritual ini mengandung nilai mitologis bahkan dapat dikatakan magis. Hal tersebut dikarenakan untuk memanggil hujan biasanya diucapkan mantra-mantra yang mana dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mencegah terjadinya marabahaya dan melindungi masyarakat.

Rara Isti Wulandari, sosoknya telah dikenal banyak orang dan dipercaya untuk menjadi pawang hujan di berbagai acara besar. Rara dalam aksinya membawa mangkuk emas atau singing bowl dan dupa serta pemukul. Dia berjalan di sekitar area pit lane ketika hujan deras sambil melafalkan doa agar hujan berhenti. Tidak membutuhkan waktu yang lama akhirnya hujan reda dan acara balap motor dapat berlangsung kembali sesuai dengan rencana. Banyak orang yang percaya bahwa aksinya sebagai pawang hujan itu membuahkan hasil.

Menyikapi pandangan tersebut, BMKG menjelaskan bahwa hujan itu reda karena sudah durasi waktunya untuk berhenti. Prediksi cuaca yang mereka lakukan berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Hal ini mengandung arti bahwa pawang yang membuat hujan berhenti di Sirkuit Mandalika dianggap tidak bisa dibuktikan jika berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut BMKG sendiri fenomena pawang hujan ini dianggap sulit untuk dijelaskan secara ilmiah.

Menyikapi Fenomena Pawang Hujan

Setiap daerah memiliki ciri khas budayanya dan kebudayaan tersebut memiliki tujuan atau makna tersendiri. Fenomena dari pawang hujan merupakan bentuk kearifan dan akan memperkaya budaya yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, fenomena ini sering dikaitkan dengan salah satu agama saja dan dianggap sesuatu yang syirik. Padahal hal tersebut merupakan suatu bentuk tradisi yang sudah ada dan telah melekat dalam masyarakat sejak dahulu. 

Pemerintah di sini memegang peranan yang sangat penting karena tradisi yang ada perlu untuk mendapat perhatian agar eksistensi dari kebudayaan tetap terjaga. Selain itu, kita harus bersikap bijak karena fenomena tersebut memang sudah menjadi sebuah ritual yang melekat dalam masyarakat. Kita perlu mempertahankan tradisi tersebut sebagai suatu ciri khas tersendiri agar tetap lestari dan tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Sehingga, generasi penerus masih dapat mengenal warisan budaya yang ada.

Pada zaman sekarang ini tidak perlu bersikap menghujat jika terdapat pandangan yang berbeda. Melihat dari fenomena pawang hujan di Sirkuit Mandalika yang terjadi perbedaan pandangan bukan menjadi suatu persoalan yang berarti. Antara kearifan lokal dan ilmu pengetahuan memang sulit untuk dipersatukan. Untuk itu, kita perlu menyikapinya dengan bijaksana karena suatu kearifan lokal sangat berbeda dengan apa yang disebut ilmu pengetahuan. Keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipersatukan, namun dapat saling melengkapi dan memperkaya budaya dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Referensi :

Kurnia, S. (2017). Kepercayaan Masyarakat terhadap Ritual Memindahkan Hujan di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak. JOM FISIOP, 4(2), 3-15.

Tomia, A. M., Syahrun, & Lindayani, L. R. (2019). Ritual Kafoliano Ghuse pada Masyarakat Muna Desa Lahontohe Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna. Jurnal Kelisanan Sastra dan Budaya, 2(1), 1-8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun