Pada tanggal 4 Desember 2021 terjadi erupsi di Gunung Semeru, permukiman warga di kaki Gunung Semeru, tanah, ternak terkena semburan guguran asap tebal awan panas dan banjir. Dari kejadian ini, 46 orang meninggal, 9 orang hilang, 18 orang luka berat, 11 orang luka ringan, dan 9.118 orang mengungsi (sebagaimana yang termuat dalam harian Kompas tanggal 11 Desember 2021).
Konteks
Sebelum membahas lebih lanjut, berikut gambaran umum (konteks) mengenai kejadian erupsi Gunung Semeru. Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan Puncak Mahameru yang berada di ketinggian 3.676 mdpl. Gunung Semeru juga merupakan gunung berapi tertinggi di Indonesia setelah Gunung Kerinci di Jambi dan Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat.
Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Kawah Jonggring Saloka. Secara administratif, gunung berapi ini terletak di dua kabupaten di Jawa Timur, yaitu Malang dan Lumajang, serta termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Erupsi di Gunung Semeru ini bukan baru kali ini terjadi, melainkan  sudah sering terjadi, tercatat sejak tahun 1818 -- 1913 (namun tidak terdokumentasi dengan baik, beberapa kali terjadi aktivitas vulkanik dan erupsi juga di tahun 1940an-1990an, sementara di tahun 2000an tepatnya di tahun 2002, 2004, 2005, 2007, dan 2008.
Melihat dari sisi manajemen risiko, risiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu risiko murni (risiko yang dapat dialihkan), risiko spekulatif (risiko yang tidak dapat diahlikan), dan risiko dasar. Kejadian risiko erupsi Gunung Semeru ini tergolong dalam risiko dasar atau risiko catastrophic dimana risiko dasar adalah suatu peristiwa dimana disebabkan dan ditimbulkannya oleh alam dan bersifat catasthropic (dalam skala besar) dimana peristiwa jarang terjadi, namun jika terjadi akan menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Peristiwa ini memang bersifat bencana, namun sungguh ironis mengingat bencana ini sudah berulang kali terjadi, namun jumlah korban yang berjatuhan tetap banyak, belum lagi kerugian material yang cukup besar. Hal ini memperlihatkan "ketidaksiapan" menghadapi bencana ini.
Risk Owner
Berikutnya, saya akan membahas risk owner, yaitu pihak yang bertanggungjawab atss terjadinya risiko. Maka untuk kejadian risiko ini, menurut saya, risk ownernya adalah PVBMG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), dimana mereka yang bertanggungjawab untuk memonitor keadaan Gunung Semeru dan memberikan peringatan dini. Meski demikian, diperlukan juga kesadaran/kepekaan masyarakat.
Identifikasi Risiko
Masuk ke proses identifikasi risiko, tentu saja setiap orang mendambakan tempat tinggal yang nyaman dan aman. Namun, erupsi Gunung Semeru membuat para penduduk harus terpaksa mengungsi, bahkan sebagian dari mereka menjadi korban keganasan semburan asap tebal awan panas. Yang menjadi akar penyebab dari Erupsi Gunung Semeru adalah curah hujan yang tinggi disertai bibir lava yang runtuh.
Berikutnya, hal-hal yang dapat menjadi indikator risiko adalah perubahan hawa yang tiba-tiba menjadi panas, hewan-hewan yang keluar dari hutan, suara bergemuruh, langit yang terang berubah menjadi gelap gulita. Faktor positif atau internal control yang ada saat ini adalah adanya peringatan dini yang dikeluarkan oleh PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Dampak kualitatif dari kejadian risiko ini adalah memakan korban jiwa (entah hilang, luka-luka hingga meninggal), hilangnya harta benda (kerusakan pada rumah, tanah, dan sebagainya).
Analisis Risiko
Selanjutnya, masuk ke proses analisis risiko, dimulai dari probabilitas atau kemungkinan terjadinya, menurut saya adalah sedang (skor 3), memang ini termasuk peristiwa yang jarang terjadi, namun melihat histori sebelum-sebelumnya, Gunung Semeru ini sudah cukup sering terjadi erupsi maupun aktivitas vulkanik.
Dampaknya menurut saya sangat berat (skor 5) karena membuat banyak korban berjatuhan, entah yang luka-luka, hilang, bahkan meninggal. Selain itu, banyak juga penduduk yang harus mengungsi, kehilangan tempat tinggal, hewan ternak, tanah/sawah mereka.