Masa depan memang penuh ketidakpastian, begitu pula dengan pandemi COVID-19 yang mulai terjadi di akhir tahun 2019 merupakan peristiwa yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan COVID-19, mulai dari banyaknya korban meninggal, perusahaan gulung tikar, ekonomi lesu, banyak karyawan yang dirumahkan sampai kehilangan pekerjaan, dan lain-lainnya.
Hingga kini pandemi COVID-19 masih merajalela ditambah lagi dengan adanya varian baru. Tak heran, COVID-19 menjadi masalah besar yang dialami semua negara. Per 16 September 2021, total masyarakat Indonesia yang positif COVID-19 mencapai 4.181.309 dengan jumlah yang meninggal dunia sebanyak 139.919 orang  (Sumber : Kemenkes RI).
Pemerintahpun melakukan berbagai upaya selama pandemi ini, mulai dari social distancing, PSBB, new normal, PPKM, bantuan sosial, penerapan 3M, vaksin, dan masih banyak lainnya. Namun, sangat disayangkan bahwa tidak semua masyarakat menaati kebijakan-kebijakan yang ada.
Contoh nyatanya, kita bisa melihat sebagian masyarakat hingga kini ada saja yang suka berkerumun dengan mengabaikan protokol kesehatan, tidak memakai masker, tidak mau divaksin karena percaya berita hoax.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa masyarakat kita memiliki budaya risiko  yang rendah. Padahal, budaya risiko ini merupakan hal penting untuk survive atau bertahan di tengah-tengah ketidakpastian.
Mengenal Budaya Risiko
Budaya risiko adalah istilah yang menggambarkan nilai- nilai, keyakinan, pengetahuan, dan pemahaman tentang risiko secara bersama oleh sekelompok orang dengan memiliki tujuan yang sama. (Prowanta 2019).Â
Dengan adanya budaya risiko artinya orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut memiliki pandangan, pemahaman yang sama terhadap risiko. Budaya risiko ini dapat diterapkan atau berlaku di kelompok apapun, entah itu perusahaan, organisasi nirlaba (non-profit), BUMN, bahkan negara.
Budaya risiko yang kuat akan menjadi fondasi yang kuat untuk mengelola risiko. Sekalipun risiko itu tidak dapat dicegah karena tidak pernah diprediksikan, setidaknya dampak kerugian dari risiko tersebut dapat diminimalisasi.
Seperti  COVID-19  termasuk risiko yang tidak dapat dimitigasi sebelumnya karena pandemi ini sama sekali tidak diprediksikan, tetapi meskipun tidak bisa dimitigasi, pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia harus bekerjasama untuk mengendalikan dampak dari pandemi ini.
Rendahnya budaya risiko masyarakat dipengaruhi berbagai hal. Yang pertama, masyarakat kurang mengetahui COVID-19 dan mudah termakan hoax, sampai saat ini, hal demikian masih terjadi, bahkan ada yang menganggap pandemi ini tidak ada, melainkan itu hanyalah akal-akalan oknum. Ada juga yang ketakutan divaksin karena berita hoax yang membuat vaksin terlihat menakutkan.
Berikutnya, sebagian pihak yang menyadari pandemi ini, tetapi tidak dapat menahan diri untuk menjauhi kerumunan / kumpul-kumpul. Ironisnya, yang melakukan ini ada juga ASN, public figure, influencer, selebgram , yang mana mereka memberikan contoh yang tidak baik untuk ditiru.Â