"Kamu kuliah di mana?"
"Di Universitas Al Azhar Indonesia"
Orang itu menimbang sejenak. Ia memperhatikan wajahku, lalu bertanya lagi, "kamu muslim?"
***
Hari Senin, pukul 07:50 WIB, hari pertama kuliah! Bisa dibilang aku hanya tidur ayam di malam sebelumnya entah karena terlalu antusias atau takut. Mungkin campuran keduanya. Sulit dipercaya hari itu tiba juga mengingat baru beberapa bulan sebelumnya aku didiagnosis oleh ibuku kalau aku tidak bisa kuliah.Â
Kami punya hutang dengan lintah darat yang mengharuskan aku ikhlas bahwa semua uang yang ada dipakai untuk mempertahankan rumah kami yang dijadikan jaminan. Saat itu aku marah, benci sekali pada ibuku yang membiarkan keadaan itu terjadi padaku.
Butuh beberapa bulan untuk benar-benar ikhlas ikut tersenyum mendengar teman-temanku mengobrol tentang kuliah mereka di universitas swasta ternama. Sementara aku berakhir bekerja menjadi kasir di sebuah petshop, lalu menjadi donut girl di J.CO. Saat itu aku merasa tidak memiliki keahlian apapun.Â
Boro-boro deh mikirin cita-cita. Sejak kecil yang kudengar dari kedua orang tuaku hanyalah aku pintar menggambar. Sementara pelajaran sekolah lainnya mah bodoh benar. Ku pikir baiklah aku cari informasi tentang beasiswa di Institut Kesenian Jakarta. Alih-alih mendapat informasi yang ditargetkan, berselancar di google saat itu malah membawa ku ke laman Universitas Al Azhar Indonesia: beasiswa penuh dan parsial untuk studi S1.
Tentu saja, aku skeptis melihatnya. Sangat menarik melihat kesempatan yang terpampang di depan mata. Tapi, Al Azhar! Seharian itu aku bolak-balik membuka halaman website itu dan mempertimbangkan.Â
Akhirnya saat selesai mengepel rumah di tengah hari, aku menelepon ke universitas tersebut. Aku tanyakan apa yang menjadi beban pikiranku berhari-hari: bolehkah mendaftar kalau aku bukan muslim? Tentu boleh. Apakah masih bisa mendaftar kalau aku sudah setahun lulus SMA? Masih bisa.
Suara seorang kakak dari gagang telepon sana terdengar sangat merdu memberikan jawaban yang melegakan hati. Baiklah aku kumpulkan segala berkas yang diminta lalu mendaftar ke jurusan bioteknologi.Â
Aku mengikuti serangkaian tes beberapa hari setelah mendaftar. Berminggu-minggu lewat dan pengumuman pertama datang mengabari kalau aku lolos ke tahap berikutnya: tes wawancara. Aku kegirangan sekali dan memilih kemeja terbaik yang aku punya untuk pergi ke wawancara itu.
Seorang bapak berwajah muram namun menyiratkan aura kejeniusan mempersilahkan aku duduk dan mulai mewawancaraiku dalam bahasa Inggris. Aku tersenyum canggung dan bertanya apakah boleh menjawab dalam bahasa Indonesia saja.Â
Bersyukur bapak yang kemudian menjadi dosen rekayasa genetika-ku itu tersenyum penuh pengertian dan membolehkan. Aku tidak bisa menilai bagaimana performaku hari itu. Yang kutahu sepulang dari sana, aku hanya update status di facebook: "pasraaaaaahhhh..." dengan jumlah huruf "a" yang sepertinya lebih banyak lagi.
Hari yang masih terasa seperti keajaiban itu pun datang. Aku lulus tes wawancara dan mendapat beasiswa penuh untuk delapan semester. Hari itu aku menulis status panjang lebar di facebook layaknya seorang aktor yang memenangkan piala Oscar. Tapi pendapat beberapa orang lalu membuatku terbeban.
Kamu kan bukan muslim, nanti takut didiskriminasi lho.Â
Nanti lulusnya dipersulit ga?Â
Nanti ga punya temen gimana?
Dibekali lebih banyak pandangan yang memberatkan daripada ucapan selamat dan dukungan, aku bertekad menjadi orang yang mandiri saat kuliah. Tidak apa kalau sampai tidak punya teman sama sekali. Aku hanya mau kuliah dengan baik, pikirku saat itu.
Maka di hari pertama kuliah, pukul 07:50 WIB, aku berjalan menuju kelas dalam perasaan campur aduk. Pelajaran pertama di hari itu adalah bahasa Arab. Bahasa Arab! Aku yang 19 tahun hidup tidak pernah bersentuhan dengan bahasa itu, apa iya bisa lulus? Kalau tidak lulus dengan minimal B beasiswaku bisa langsung dicabut.
Pengalamanku mengikuti kuliah bahasa Arab ini terlalu menarik dan ingin ku tulis di lain waktu. Singkat cerita, setelah berbagai drama dan malam yang lewat tanpa tidur sedikitpun, aku bisa lulus dengan nilai B.Â
Beberapa tahun setelahnya, ku dengar dari sahabatku yang bekerja di fakultas sastra kalau sang dosen beberapa kali mengucapkan, "kalah kamu sama Angel" ke mahasiswa lainnya. Sering pula aku iseng menggunakan bahasa Arab di rumah saat bicara dengan ibuku. Ia senang sekali mendegarnya lalu bercerita ke tetangga-tetangga.
Bulan dan tahun berlalu dan aku sadar pendapat orang-orang yang sebelumnya menakutiku tidak terjadi sama sekali. Menjadi satu-satunya keturunan Tionghoa dan beragama Kristen tidak menghalangi aku menjalani persahabatan yang penuh arti. Dosen-dosenku menyenangkan walaupun sesekali terselip pertanyaan yang nyeleneh.
"Angel, kapan kamu masuk Islam?", bapak profesor Chaidir Amin bertanya tiba-tiba disaat semua kepala menunduk dan serius mengerjakan ujian akhir semester. Sontak kami semua tertawa pada pertanyaan yang membuyarkan fokus kami. "Doain aja, Pak", jawabku. Sampai bertahun-tahun kemudian peristiwa itu masih kerap dijadikan bahan guyonan aku dan teman-temanku.
"Angel, kenapa kata orang China 'jangan beli garam malem-malem'?", pertanyaan nyeleneh lainnya yang dilemparkan oleh dosen lainnya, Bapak Hidayat, ahli entomologi.
"Hmm ga tahu, Pak. Warungnya udah tutup kali.", jawabku apa adanya. Aku orang China yang tidak banyak mengetahui tradisi nenek moyangku sendiri.
Namun pertanyaan dan candaan nyeleneh itu tidak kalah mengherankan kalau dibandingkan dengan saat orang-orang tahu aku mahasiswa Al Azhar. Aku tidak bisa menghitung berapa banyak percakapan itu aku alami. Setiap kali, bahkan hingga kini, aku heran terhadap sterotipe yang disematkan padaku.Â
Hanya karena mataku sipit? Kulitku putih pucat? Al Azhar Indonesia itu universitas bukan tempat ibadah. Mengapa aneh? Tidak berlebihan kalau kubilang aku bermimpi kelak hal-hal itu tidak lagi dipertanyakan. Tanyakan sajalah aku sudah menikah atau belum... Belum. Atau tanyakan berat badanku berapa... Aku akan pura-pura tidak mendengar. Aku jengah menjelaskan kenapa aku kuliah di Al Azhar.
Jika ku ingat aku bertekad untuk tidak bersosialisasi, maka kehangatan dari teman-teman lah yang membuatku akhirnya menjadi wakil ketua himpunan mahasiswa di kampus. Meskipun seringnya kalau ikut acara lintas fakultas, aku dikira jurusan sastra China. Demi kemudahan, aku mengangguk saja mengiyakan.
Menjadi seorang minoritas memang menantang tapi ini adalah didikan dan berkat yang terbaik. Tuhan berbaik hati mengarahkan aku pada situasi sulit supaya aku belajar dan kelak aku bisa mengajar... Membagikan kisah ini pun bisa jadi adalah salah satu sebab mengapa aku harus melewati itu semua.Â
Dengan lantang kini aku bisa bercerita tentang keberanian untuk melawan hati yang sudah patah mau menyerah... Tentang mereka yang berbeda keyakinan dan latar belakang dengan kita, namun mau menangis bersama saat kita terluka. Tentang para pendidik yang menginspirasi dan membuatku mencintai belajar... Aku tidak akan mendapatkan itu semua jikalau hatiku sudah kecut melihat informasi beasiswa di laman website Universitas Al Azhar Indonesia.
Aku sadar tidak semua orang memiliki kisah semanis aku sebagai minoritas. Aku bersimpati dan berharap kelak masyarakat bisa lebih terdidik untuk melihat lebih dari sekedar ras dan agama. Teriakan mereka yang tertindas selalu terdengar pilu dan menyayat hati. Namun ada pula kisah manis sebagai seorang minoritas seperti yang ku alami ini.
Terlebih lagi kalau kuingat tentang ospek kampusku. Berhari-hari aku menginap di suatu ruangan lingkungan masjid Al Azhar. Teman-teman dan kakak kelasku menolongku dengan berbagai hal yang sulit kuurus sendiri. Suatu hari mereka ribut mendandaniku menggunakan hijab sebagai ketentuan mengikuti ospek. Sebenarnya mungkin saja aku bisa berargumen untuk menolaknya. Tapi lagi-lagi, memperoleh pengalaman itu lebih penting bagiku. Apa salahnya memang? Aku senang-senang saja.
Bagi kalian yang mungkin saat ini berada di posisiku saat itu, menjadi seorang minoritas, milikilah sikap yang fleksibel dan cerdik beradaptasi. Janganlah memiliki pemikiran yang terlalu mudah tersulut.Â
Kita tidak boleh menerima perlakukan diskriminasi, aku setuju. Tapi sudahkah kita memulai dengan prasangka yang baik dengan saudara kita yang berbeda itu? Aku yang bisa melalui perkuliahan ku dengan penuh makna tidak lepas dari keberuntunganku berada di tengah orang-orang terdidik. Maka, didiklah dirimu sendiri. Bukan gelar yang kubicarakan, tapi nuranimu untuk melihat dan menilai.
Manusia itu seperti halnya dengan gelombang cahaya. Sensor mata manusia terbatas hanya bisa mendeteksi 390 sampai 700 nanometer gelombang cahaya. Namun sejatinya masih begitu kaya dan berwarna apa yang tidak bisa kita lihat. Bukankah terlalu dangkal pikiranmu kalau kau mengira kau bisa mengadili seseorang hanya dengan terbatasnya apa yang bisa ditangkap matamu? Bukankah baik kalau kita semua bisa lebih bijaksana menerima bahwa mereka yang berbeda pun, adalah bagian dari gelombang cahaya yang selama ini belum pernah kita lihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H