Aku yang bukan siapa-siapa bisa menyusup ke acara seni bergengsi dan bertemu banyak tokoh. Bahkan stan Starbucks pun ada di sana dan melayani para pengunjung dengan kopi gratis. Kapan lagi aku bisa bebas minum kopi dari brand itu, dalam pameran seni pula!Â
Intinya, aku bersyukur sekali ada di tengah tokoh-tokoh penting yang pasti sulit sekali aku temui. Termasuk saat itu kulihat Bapak Ahok yang masih menjabat sebagai gubernur Jakarta datang untuk menggunting pita, meresmikan dibukanya museum Seni Rupa dan Keramik Indonesia.
Sepulang aku dari sana, diiringi dengan suasana Kota Tua di malam hari, lagi-lagi aku banyak merenungkan peran para seniman dalam membantu negara ini menemukan jati dirinya. Banyak lukisan memukau dengan nilai sejarah yang tinggi, namun satu yang membuatku termenung: Potret Diri karya Affandi.
Potret Diri adalah salah satu lukisan yang ternyata cukup menjadi trend di masa paska kemerdekaan. Ini erat pula kaitannya dengan peran para seniman untuk menanggapi Indonesia yang kala itu masih berusaha menentukan jati dirinya. Di samping lukisan Affandi itu, ditampilkan pula sepenggal kata-kata dari sang perupa yang melatar-belakangi karya beliau:
"Saya punya perasaan yang kuat terhadap kemanusiaan, 'kemanusiaan' mungkin bukan kata yang tepat, yang saya maksudkan adalah apa yang baik dan benar untuk semua makhluk hidup. ... Tapi, jika saya bukan seorang pelukis, misalnya seorang pengemudi taksi, maka saya ingin mengekspresikan perasaan saya terhadap kemanusiaan dengan mengemudi taksi."
Aku terhenyak membacanya. Hingga saat ini aku menulisnya pun aku masih bergidik. Ketika pulang dari pameran itu, aku dan kawanku mampir di salah satu cafe di Kota Tua. Ia menggambar dan aku ngopi. Kami diam sibuk dalam pikiran kami masing-masing. Aku sejenak menjadi awas dengan sekelilingku dan memperhatikan semua orang di sana.
Aku lihat seorang barista, bagaimana ia mengekspresikan kemanusiaan melalui membuat kopi?Â
Aku lihat temanku yang membawa buku sketsanya kemana-mana dan menggambar di tempat umum. Aku lihat seorang bapak tua yang menyapu jalanan Kota Tua. Aku mendengar seorang perempuan muda dengan uletnya mengelap meja di sebelahku.Â
Bagaimana jika aku berada di sepatu mereka dan mengusahakan apa yang terbaik bagi semua makhluk hidup? Bagaimana dengan diriku sendiri? Saat itu aku belum menjadi guru, melainkan masih sebagai asisten peneliti honorer di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi milik pemerintah.
Yang aku baca memang hanyalah sepenggal pidato dari Affandi yang mengiringi lukisan Potret Diri karyanya, tetapi perenunganku selanjutnya membuat aku bertekad meluangkan waktu untuk menjadi relawan pendidik. Bukan karena aku sudah paham apa itu kemanusiaan, apa itu yang baik dan benar dan adil bagi semua makhluk hidup...Â