Malam harinya kami kedatangan tamu dari pihak konsulat yang mengapresiasi kegiatan kami bagi anak-anak TKI di SIJB. Tamu kami yang juga seorang guru di sana menceritakan pengalamannya sendiri selama mengajar. Sampailah ia akhirnya pada maksud kedatangannya itu bahwa kami tidak diperkenankan menyebarluaskan foto maupun informasi yang bisa membahayakan anak-anak di sana.
Pihak konsulat tidak bisa menjamin keselamatan mereka 24 jam. Terlebih lagi para orangtua yang juga tidak bisa bertindak banyak andaikan ada yang terjadi dengan anak-anak mereka. Oleh karena wejangan itu, maka beberapa foto yang dinilai sensitif hanya tersimpan menjadi kenangan.
Beberapa minggu setelahnya, aku mendapat kabar dari salah satu guru kalau beberapa anak terkena masalah dan ditahan di kepolisian lokal. Pihak konsulat turut membantu karena lagi-lagi, status anak-anak yang dipertanyakan legalitasnya.
Di tengah pandemi ini pun, Malaysia yang memberlakukan lockdown akhirnya membuat anak-anak belajar online. Dikarenakan keterbatasan fasilitas yang mereka punya, sebagian hanya belajar via obrolan whatsapp dengan guru-gurunya.
Meskipun kini aku telah kembali kepada pekerjaanku, aku tidak bisa berhenti mengingat anak-anak itu.
"Aku ingin menjadi menteri pendidikan, Ibu."
"Wah, hebat sekali. Kenapa kau mau jadi menteri pendidikan?"
"Supaya bisa sekolahin orang sampai tinggi."
Aku aminkan. Biarlah kau dengan sigap menatap ke depan, nak. Orang-orang seperti kau akan mengharumkan nama bangsa suatu hari nanti. Lalu aku akan menjadi salah satu orang yang beruntung pernah mengenalmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H