Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mewujudkan Mimpi Masa Kecil Kala Mengisolasi Diri

28 Mei 2020   21:17 Diperbarui: 29 Mei 2020   14:19 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Vinzent Weinbeer dari Pixabay

Alkisah ada seorang gadis muda nan menawan. Ia tinggal sendirian di sebuah flat mungil dan sering sekali kehilangan kunci.

Acap kali kehilangan, ia menghampiri tetangganya, seorang kakek tua yang galak untuk membantunya. Kakek itu jengah dan selalu memarahinya.

Namun setiap kali, kejengkelannya hilang secepat bibir gadis manis itu melengkung tersenyum saat mengucapkan terima kasih.

Setelah berhasil masuk ke dalam flatnya, gadis itu akan duduk di beranda dan membaca buku. Saat waktu sudah cukup larut dan orang-orang terlelap... Ia mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi. Ia memandangi menara Eiffel dari kejauhan dan tersenyum puas akan hidup sederhananya yang indah.

***

Aku sudah lupa judul filmnya, namun aku ingat jelas perasaanku saat menontonnya. Di mata seorang perempuan kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar, hidup sang gadis di film itu seperti sebuah mimpi. 

Aku beranjak remaja dengan keinginan memiliki senyum yang menawan dan kemahiran berbahasa Prancis. Selalu terbayang dalam pikiranku betapa anggun gadis itu setiap kali ia berbicara, bahkan ketika hanya sedang memesan kopi di cafe.

Di cermin kamar ayah ibuku, aku seringkali bergaya dan berceloteh macam-macam seakan sedang berbahasa Prancis. Tidak ada satu kata pun yang keluar, hanya liur-liur.

Tahun-tahun berlalu dan kenyataan menyadarkanku bahwa senyum yang menawan tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan hidup yang menghampiri. 

Di Jakarta yang sesak ini juga tidak mungkin aku akan menemukan flat seindah milik gadis itu. Mahal sekali pula untuk sekedar bisa menyanyi sambil memandangi menara Eiffel dari kejauhan. 

Kegiatan belajar dan pekerjaanku menuntut banyak sekali perhatian, maka aku secara praktis melupakan kekagumanku pada bahasa Prancis. Terlebih lagi, drama-drama Jepang kemudian banyak sekali berseliweran di layar televisi. Aku pun beralih-haluan mempelajari bahasa negeri sakura itu.

Sesekali anak kecil dalam diriku terbangun, terutama saat malam hari sebelum tidur, dan bayangan gadis Prancis itu pun kembali.

Lagi-lagi kenyataan menang dan aku sudah melupakannya saat pagi datang. Hidup berjalan normal hingga kepanikan global terjadi karena pandemi corona. 

Sekolah tempatku bekerja ditutup dan semua guru dirumahkan. Aku beruntung kamar kost-ku nyaman namun berhari-hari diam memandang dinding kamar bukanlah kenyamanan yang aku inginkan. 

Penjelajahanku di media sosial instagram mengantarkan aku pada informasi kelas online belajar bahasa Prancis yang diusung oleh Institut Francais d'Indonesie (IFI).

Aku berpikir sejenak sengaja memberikan ruang bagi kenyataan untuk lagi-lagi mencari dalih untuk tidak belajar. Tetapi kenyataan di hari itu berbeda. Kewajiban mengisolasi diri akhirnya menjadi jalan buntu bagi semua alasanku untuk melakukan sesuatu jikalau aku punya waktu. 

Kini waktulah yang aku punya. Setelah menimbang sebentar bahwa mengikuti kelas itu adalah solusi yang lebih baik dari pada berselancar di media sosial, maka aku mencoba kelas gratis yang ditawarkan institusi tersebut.

Kelas pengenalan gratis diadakan melalui media zoom dan aku kecewa. Aku merasakan rendahnya interaksi antara murid dan guru sehingga materi yang diajarkan menjadi kurang melekat. Apa iya bisa maju diriku dengan kondisi kelas online begini.

Saat itu aku menganalisa terlalu banyak. Akhirnya sebagai seorang guru, kemaklumanku pun muncul. Dalam situasi begini, tidak ada yang siap. 

Tidak satu guru pun, tidak satu sekolah pun. Lagipula aku sendiri mengajar kelas online, masa iya aku berat sekali menilai kelas lain. Bisa jadi anak kecil dalam diriku itu juga yang membuatku yakin bahwa kelas sungguhannya nanti berbeda. Toh seorang guru selalu mampu mengubah kelasnya menjadi lebih baik. Aku pun mendaftar.

Menjelang kelas pertama, aku antusias sekali. Bayangan gadis Prancis yang manis itu kembali menari-nari di kepalaku. Seharian itu dinding kamar kost-ku melihatku sumringah layaknya murid yang semangat kembali ke sekolah. 

Pemberitahuan yang datang dari whatsapp tentang grup belajar khusus untuk kelasku pun membuatku tambah girang. Kulihat hanya 10 saja total muridnya dan aku mulai optimis. Kelas online memang baiknya tidak terlalu banyak muridnya supaya berjalan optimal.

Aku mendaftar kelas yang berlangsung pukul 7 malam karena pagi hingga sorenya aku masih harus bekerja. Waktu yang ditunggu pun datang dan di kelas pertama itu aku lalui dengan perasaan gembira. Benar dugaanku kalau kelas sungguhannya jauh berbeda dengan kelas pengenalan gratis itu. 

Aku bersyukur anak kecil dalam diriku yang sudah lama aku abaikan membuat aku sadar bahwa aku terlalu cepat menilai sesuatu. Jika makhluk bernama guru itu terlibat tidak perlu diragukan bahwa ia akan berusaha yang terbaik. Malam itu pertama kalinya aku bersyukur akan adanya kegiatan isolasi diri yang sempat menjemukan.

Kelas online itu berlangsung selama empat minggu dari senin hingga jumat. Jika kebetulan terpotong hari libur, maka akan diganti ke hari sabtu atau minggu. Hebat juga komitmen institusi ini padahal harga kursusnya pun tidak terbilang mahal. Selain dari kelas online, guruku, monsieur Iwan, juga hampir setiap hari memberikan PR melalui google classroom. 

Awalnya aku khawatir tidak bisa mengikuti ritme kelas yang cukup intensif ini karena pekerjaanku terkadang sangat menyita waktu.

Namun aku sudah berjanji tidak akan menidurkan lagi mimpi masa kecilku, jadi setiap hari aku bangun lebih pagi untuk mengerjakan PR dan mengulas pelajaran.

Menjelang akhir kelas level dasar itu, kami kedatangan tamu seorang guru orang Prancis asli. Monsieur Iwan dengan sumringah mewejangi kami dengan kata-kata motivasi. Kami juga diwajibkan untuk mengobrol dengan Carolle, guru asing itu. Aduh aku bisa tidak ya? Aku yang sebelumnya benar-benar seperti bayi dalam bahasa ini mulai merasa gugup. 

Namun malam itu berakhir dengan aku bisa bertanya-tanya pada Carolle, bisa mengerti apa yang ia katakan dan bisa tertawa juga dengan gurauannya. Tentu itu semua tidak lepas dari kebaikan Carolle yang berbicara dengan sangat jelas dan pelan.

Aku cukup sedih saat empat minggu kelas ini selesai. Rasanya tidak rela meninggalkan kebiasaan baru yang terbentuk dari dorongan untuk menekuni kelas ini. Di kelas terakhir kami, monsieur Iwan memasangkan kami berkelompok dan meminta kami berdialog layaknya dua orang yang baru kenal. 

Perasaanku sudah jauh lebih nyaman dan aku bisa menjalankan ujian terakhir itu dengan percaya diri. Tentulah aku masih kagok dan berjeda-jeda saat berbicara, namun jika kuingat belum genap sebulan lalu aku belum bisa apapun, ini sangat membanggakan!

Kami akhiri kelas kami dengan tradisi foto kelas yang hanya bisa berupa hasil tangkapan layar. Aku dan sebagian besar teman-temanku berjanji untuk melanjutkan kelas kami ke tingkatan berikutnya.

Bahkan kami ingin meminta juga supaya diajari guru yang sama. Monsieur Iwan memang orang Indonesia tapi bahasa Prancisnya mahir benar! Aku senang sekali mendengar cerita-cerita beliau yang pernah lama tinggal di negara nan indah itu. 

Betul memang belajar bahasa asing itu tidak cukup hanya bahasanya saja, kita pun harus mendalami juga budaya dan cara berpikir para penutur aslinya. Itulah yang diajarkan oleh guru kami yang berpengalaman ini. Kelas ini komplit 360 derajat. Aku senang belajar di sini walaupun nyaris urung mendaftar.

Kelas tingkat berikutnya akan dimulai kira-kira dua minggu lagi dan aku tidak sabar menanti. Di suatu ruang yang dalam di kepalaku, seorang anak perempuan sedang menari-nari di depan cermin. Ia memakai gaun kebesaran milik ibunya dan berceloteh macam-macam sampai liurnya mucrat keluar. Kali ini, semua celotehannya itu bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun