Mohon tunggu...
Angelia Ramadhani
Angelia Ramadhani Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar di SMA NEGERI 11 SEMARANG

Nama saya Angelia Ramadhani dan akrab disapa Angel. Lahir di Semarang, 30 September 2006. Saya anak pertama dan tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Memiliki kepercayaan agama Islam. Saat ini, saya masih ber-status "pelajar" di SMA NEGERI 11 SEMARANG. Menulis adalah hal yang sangat saya gemari. Menurut Pramoedya Ananta Toer(1925), menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan menurut saya, meletakkan tinta pena dalam sebuah kata adalah hal paling bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fakta Politik! Nasionalisme Indonesia dalam Menjaga Laut Natuna Utara

25 Mei 2024   19:40 Diperbarui: 25 Mei 2024   19:42 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut China Selatan (LCS) atau akrab disebut Laut Natuna Utara merupakan perairan strategis yang berbatasan langsung dengan Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.  Wilayah ini memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang besar, yaitu sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Ada empat negara pengklaim yang paling ingin memiliki posisi klaimnya di LCS, antara lain China, Filipina, Malaysia dan Vietnam. Menurut Ogi Nanda Raka Ade Candra Nugraha 2021,  secara umum ada dua hal yang menjadi faktor utama konflik perebutan Laut Cina Selatan yakni letak strategis serta potensi ekonomi.  Inti permasalahannya adalah telah terjadi saling klaim kepemilikan :

  • Kepulauan Spartly (Klaim oleh RRT, Taiwan, dan Vietnam)
  • Kepulauan Paracel (Klaim oleh RRT dan Vietnam) Indonesia memang tidak ikut mengklaim kawasan Laut China Selatan, namun karena wilayah tersebut adalah  jalur lintas pelayaran, hak atas wilayah maritim, dan wilayah ZEE Indonesia berada di perlintasan kawasan yang diperebutkan oleh negara pengklaim, posisi Indonesia menjadi berbatasan langsung dengan wilayah kedaulatan Indonesia, hal itu akan berpengaruh bagi Indonesia.

Keterlibatan Indonesia sebagai negara penjaga keamanan kawasan Asia Tenggara dari  ancaman  perang  terbuka  di  Laut  Tiongkok  Selatan diatur dalam pembukaan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 alinea ke-4  menyatakan  "...ikut  melaksanakan  ketertiban  dunia  yang  berdasarkan  kemerdekaan,  perdamaian  abadi  dan keadilan sosial..." Pemerintah   Indonesia   optimis   bahwa   negosiasi   antara   ASEAN   dengan  Tiongkok  soal  kode  etik  di  Laut  Tiongkok  Selatan  bisa  selesai, namun masih terkendala eskalasi dan timbulnya ancaman di  kawasan, karena  :

  • Sisi Kedaulatan, sebagian wilayah ZEE (Zona Ekslusif Ekonomi) Indonesia masuk dalam klaim wilayah Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan perairan Kabupaten Natuna. Hal ini berpotensi ancaman bagi pemerintah Indonesia atas klaim pemilikan China terhadap kepulauan Natuna, karena menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  •  Sisi Keamanan, jika sengketa tersebut tereskalasi menjadi perang, besar kemungkinan meluas ke wilayah Indonesia, sehingga menjadi ancaman militer

Usaha Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Tiongkok Selatan dimulai  tahun 1990 dengan menghadirkan semua negara pengklaim Laut Natuna Utara yang melibatkan sponsor dari Kanada melalui Canadian International Development Agency (CIDA) dan Universitas British Columbia dengan mengadakan Workshop on Managing Potentia Conflict in the South China Sea. Setelah sepuluh tahun, kesepakatan sponsor digantikan oleh Tiongkok dan Taiwan. Dampaknya negara - negara yang tidak bersengketa secara langsung termasuk Indonesia, tidak bisa terlalu jauh terlibat dalam setiap proses perundingan. Namun demikian, salah satu hasil dari upaya pengelolaan sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah tercapainya kesepakatan berupa Declaration of the Conduct of the Parties in South China Sea pada tahun 2002. Setelah 20 tahun, pertemuan rutin diadakan dan hampir tidak pernah terjadi konfrontasi lagi, capaian tersebut terganggu dengan tindakan  provokatif antara Tiongkok, Vietnam, dan Filipina pada tahun 2011.  Dalam tingkat lnternasional, upaya aktif Indonesia juga ditunjukkan di 21st Meeting of States Parties to the 1982 UN Convention on the Law of the Sea. Indonesia, Filipina, Vietnam, Malaysia, Thailand, Laos dan Singapura mencapai sebuah konsensus penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan harus melalui resolusi damai dan berdasarkan pada UNCLOS 42.

 Namun hal ini masih sulit dilakukan, karena Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) berada pada kawasan Kepulauan Natuna dalam peta di-klaim sepihak oleh China. Dalam sengketa Kepulauan Natuna, sebenarnya negara Indonesia  berada dalam posisi kuat daripada China, yang hanya mengandalkan dasar peraturan dari nine dash line. Secara militer, Indonesia memang tidak bisa menyaingi kekuatan militer China. Akan tetapi secara ekonomi, Indonesia  merupakan salah satu mitra dagang yang sangat penting bagi China, terutama dalam kerangka ACFTA. Mengingat jalur ini digunakan untuk lalu lintas energi dan perdagangan negara-negara di sekitar kawasan. Dua faktor ini diharapkan menjadi media bagi pembangunan kepercayaan (trust building) yang dapat digunakan Indonesia untuk melanjutkan proses penyelesaian sengketa. Kini, target yang perlu dicapai Indonesia hanya satu, yaitu mewujudkan aturan (Code of Conduct) yang bermanfaat sebagai peredaan perselisihan di Laut China Selatan. 

Tahun 2022 bulan Agustus hingga awal September, China mengirim surat protes diplomatik yaitu latihan bersama Garuda Shield dan protes keberadaan drilling (pengeboran) itu. "Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum Internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS. Namun harus bersiap untuk kondisi tak terduga dengan mengerahkan kekuatan keamanan laut" (Arie Afriansyah,2022).


Pemerintah serius dan tegas mengambil tindakan mempertahankan wilayah otoritelnya termasuk dalam ZEE (Zona Eksklusif Ekonomi) dengan meningkatkan pendekatan kerjasama regional di mata internasional, memperkuat kehadiran militer di Natuna, partisipasi generasi muda dalam menjaga keamanan nasional diwujudkan dengan kesadaran nasionalisme dan kecintaan Laut Natuna milik bangsa Indonesia, dan penyebaran informasi menggunakan teknologi mengenai sejarah laut natuna.

Sumber :

Arie Afriansyah, Pakar Hukum Laut Internasional Universitas Indonesia, 2022

Bebeb A.K. Nugraha Djundjunan), Indonesia Sebagai Playmaker dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan ,2024, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun