Mohon tunggu...
Engelbert Eric
Engelbert Eric Mohon Tunggu... -

Silence, anonymity, shadow, Yin. That's me.\r\nNoisiness, superstar, light, Yang. That's also me.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UAN vs. Pendidikan Bebas ala SMA Kolese De Britto

17 April 2012   12:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:30 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu ini, semua SMA di seluruh Indonesia serentak menyelenggarakan ujian akhir penentuan kelulusan siswa: UAN. Sebegitu pentingnya UAN ini, sampai-sampai banyak siswa yang menghalalkan literally segala cara agar dirinya bisa lulus (bukan lolos) UAN. Oleh karena itu, kejujuran selalu menjadi isu yang (sayangnya hanya)ada di setiap penyelenggaraan UAN. Dan pihak sekolah (maupun siswa) selalu dihadapkan pada persimpangan jalan: lulus 100% atau bersih 100%. Untuk sekolah yang memilih lulus 100%, tentulah amat mudah. Tidak perlulah dibahas di sini. Manusia itu makhluk yang cerdas kok. Apalagi kalau terdesak.

Nah yang ingin dibahas di sini adalah ketika sekolah memilih bersih 100%. Bersih 100% di sini maksudnya adalah benar-benar tidak ada kecurangan.  Ini jauh lebih susah, karena menyangkut nama sekolah juga. Jika angka ketidaklulusan mencapai lebih dari 50%, tentulah nama sekolah akan tercoreng. Di sinilah peran sekolah sebagai lembaga pendidikan yang sebenarnya. Ya, pendidikan, bukan pengajaran. Relakah sekolah mendidik muridnya menjadi orang yang jujur dengan mengorbankan nama baiknya? Jika iya, maka para pendidik yang berkarya di sekolah tersebut adalah sebenar-benarnya pendidik. Dan saya akan mengacungkan – tidak cukup dua – empat jempol saya untuk sekolah itu. Okelah, tiga. Satu jempol terpaksa saya korbankan karena kegagalannya mendidik siswa secara akademis… Hehehe…

Sekolah yang memilih bersih 100% itu bagus. Karena itu memang pilihan yang sulit. Setidaknya ada dua kendala terbesar yang harus dihadapi: ancaman kehilangan nama baik dan bagaimana menjaga supaya tetap bersih 100%. Yap, itulah mengapa dua kata ‘sekolah’ di atas dicetak tebal. Karena walaupun sekolah memilih bersih 100%, belum tentu siswanya juga memilih bersih 100%.

Sekolah-sekolah berusaha menjaga nama baiknya (dalam konteks ‘kebersihan’ UAN) dengan berbagai cara. Salah satu cara yang menurut saya menggelitik adalah menggunakan CCTV untuk mengawasi para siswanya dalam mengerjakan soal UAN. Kenapa menggelitik? Karena sekolah tersebut mem-posting di akun twitternya bahwa mereka “menjunjung tinggi kejujuran” dengan memasang CCTV untuk mengawasi pelaksanaan UAN.

Sebelum pembaca tambah bingung, saya jelaskan dulu satu aspek lain yang terdapat di judul: “Pendidikan bebas ala SMA Kolese de Britto”. Untuk yang belum tahu, SMA Kolese de Britto adalah salah satu SMA (yang dulu) favorit di Yogyakarta. SMA ini (yang notabene salah satu ‘jebolan’nya adalah saya) terkenal dengan ‘kebebasan’nya. Rambut gondrong, urakan, misuhan,seragam cuma hari Senin, sepatu sandal, dan lain sebagainya. Tapi tidak banyak yang tahu apa makna sesungguhnya ‘kebebasan’ itu, bahkan siswanya sendiri.

“Kebebasan” yang terlihat itu adalah sesungguhnya hanyalah ekspresi tampak dari pendidikan bebas yang diterapkan di sana. Apakah pendidikan bebas itu?

Pendidikan bebas didasari pemikiran (oleh J. J. Rousseau) bahwa dalam keadaan alamiah, manusia adalah baik dan bebas (le bon sauvage). Artinya, manusia terlahir bebas. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang tidak bebas, mereka hidup berdasar insting. Manusia bebas, karena manusia memiliki akal budi dan hati nurani. “Bebas” di sini berarti adalah bebas untuk memilih (tanpa adanya tekanan dari luar) dan bukannya bebas dari (sesuatu yang mengekang, misalnya peraturan). Kebebasannya untuk memilih satu dari sekian banyak hal melalui berbagai macam pertimbangan inilah yang membuat orang adalah sungguh-sungguh manusia.

Kebebasan seorang manusia untuk memilih membuatnya harus memberikan pertanggungjawaban atas pilihannya. Sekali lagi, bukan berarti dia “bebas” untuk memberikan atau tidak memberikan pertanggungjawaban. Untuk alasan ini pula, manusia yang tidak bebas tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Kembali ke topik di atas. Saya tergelitik dengan ungkapan “menjunjung tinggi kejujuran” itu. Kenapa? Karena kejujuran itu pilihan. Dan dengan memasang CCTV, para siswa tidak bisa bebas memilih untuk jujur. Mereka memang memilih jujur, tapi tidak dengan bebas. Sekolah telah membatasi kebebasan siswanya. Dan mereka bilang “menjunjung tinggi kejujuran”? Maaf saja, buat saya itu nggak masuk akal.

Memang selalu ada setiap pilihan ada konsekuensinya (ekses, Ing. excess). Tapi justru dengan membiarkan siswa memilih dengan mengerti segala konsekuensinya – segala baik dan buruknya – itulah sekolah memanusiakan siswanya.

Bukan berarti saya anti-CCTV. Itu bagus, setidaknya pada satu tingkat. Tapi untuk tingkat yang lebih tinggi, itu tidak baik. Dan saya maklum kalau memang ada sekolah yang memasang CCTV, karena mereka mungkin memang tidak mengerti makna kebebasan (setidaknya seperti yang saya pahami).

Dan bukannya tidak mungkin nanti saya akan kaget sendiri melihat SMA Kolese De Britto memasang CCTV untuk mengawasi semua bentuk tes/ujian. Toh mungkin tidak semua anggota direksi memahami sungguh apa makna pendidikan bebas itu.

Mungkin sekian dulu celotehan saya. Seperti biasa, bagian komentar terbuka untuk diskusi.
Ad Maiorem Dei Gloriam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun