Mohon tunggu...
angela winda andini
angela winda andini Mohon Tunggu... -

simple.love to writing,reading,listening to music, n singing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Djamaludin Adinegoro

12 Januari 2011   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Djamaludin Adinegoro

Adinegoro tiba di Jerman pada 1926, masa itu adalah masa yang sukar dimana rakyat penduduk Weimar sedang dilanda inflasi akut. Tahun 1926-1930, anak muda ini menuntut ilmu di Berlin, Muenchen dan Wurzburg. Beliau memperdalam ilmu jurnalistik geografim kartografi dan geopolitik. Disana, ia juga menjadi wartawan freelance untuk suratkabar Pewarta Deli. Setelah Jerman, kota selanjutnya adalah Belanda untuk studi bidang Ilmu Sastra dan Jurnalistik. Ketika kembali ke Hindia, ia memimpin Pandji Pustaka tapi hanya 6 bulan. Tahun 1932-1942 ia memimpin Pewarta Deli.

Kenyataannya, Adinegoro bukanlah nama asli beliau. Ia bukan orang Jawa. Nama Sumatranya adalah Datuk Madjo Sutan. Alasannya memiliki nama Adinegoro adalah bermula saat dirinya masuk STOVIA. Sebagai putra orang yang terpandang, ia diijinkan untuk bersekolah di STOVIA, namun STOVIA tidak mengijinkan para siswanya untuk menulis. Padahal sebelum memasuki STOVIA pun, beliau sudah aktif menulis untuk Tjahaja Hindia. Bosnya inilah yang menyarankannya agar memakai nama Jawa. Ia sendiri tidak pernah menjadi dokter karena ketertarikannya dalam dunia jurnalistik.

Ketika Jepang datang ke Indonesia, beliau masih berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Selanjutnya, di jaman revolusi, ia menerbitkan Kedaulatan Rakyat di Bukittinggi.Terakhir ia bekerja di Kantor Berita Nasional (Antara) sebagai kepala bidang penelitian. Ia mengabdi di Antara sampai akhir hayatnya, yaitu pada 8 Januari 1967. Semasa hidupnya, beliau dekat dengan banyak kalangan. Bahkan ketika pascakemerdekaan pun, ia sempat diangkat Presiden Soekarno sebagai Ketua Komite Nasional Sumatera dan Komisaris Besar RI di Bukittinggi.

Sedikit ringkasan dari Buku Tanah Air Bahasa : Seratus Jejak Pers Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun